Liputan6.com, Jakarta - Tes PCR masih merupakan tes paling akurat untuk mendeteksi COVID-19. Itu berbeda dengan tingkat akurasi tes antigen dengan swab hidung atau tenggorokan yang tidak bisa langsung dipercaya.
Artikel dari Universitas Harvard mengingatkan bahwa tingkat negatif palsu (false negative) dari tes Antigen cukup tinggi dibandingkan PCR. Artinya, hasil tes negatif belum tentu benar negatif.
Advertisement
Baca Juga
"Hasil tingkat negatif palsu dilaporkan bisa mencapai 50 persen, itu menunjukan mengapa tes Antigen tak disukai oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai tes tunggal untuk infeksi aktif," tulis Harvard Health Publishing seperti dikutip Senin (28/9/2020).
Harvard mengutip laporan di situs jurnal Science. Sebagai contoh, bila 2 orang ikut tes Antigen, maka salah satunya bisa mendapat hasil negatif palsu, alias sebenarnya terinfeksi.
Perlu diingat bahwa hasil negatif palsu berbeda dengan positif palsu (false positive). FDA menyebut bila tes Antigen mendeteksi positif, maka hasilnya kemungkinan besar memang benar positif dan bukan positif palsu.
"Hasil positif dari tes antigen sangatlah akurat, tetapi ada peluang negatif palsu yang lebih tinggi, jadi hasil negatif bukan berarti tak ada infeksi," tulis FDA.
Tes antigen menjadi pilihan karena hasil tesnya lebih cepat dari PCR, selain itu biaya Antigen lebih murah. Ada rekomendasi strategi supaya tes Antigen dilakukan secara berulang saja agar virus bisa terdeteksi.
Turut diingatkan juga bahwa hasil negatif palsu dan positif palsu disebut sama-sama memberi dampak buruk bagi masyarakat.
"Tes negatif palsu bisa memberikan ketenangan palsu, dan dapat menyebabkan tertundanya pengobatan dan melonggarkan pembatasan meski masih menular. Positif palsu, yang lebih jarang, bisa mengakibatkan kecemasan tak beralasan dan membuat orang-orang melakukan karantina tanpa diperlukan," tulis artikel Harvard.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Menko Luhut Minta Tes Antigen Sebelum Masuk Bali
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah tidak ingin membuka pariwisata Bali tanpa batas, terlebih kasus COVID-19 di Pulau Dewata terus meningkat.
"Saya pikir kita juga tidak ingin buka turis Bali itu langsung tanpa batas. Tadi saya barusan telepon dengan Gubernur Bali, jadi memang kita akan batasi," katanya dalam jumpa pers virtual penanganan COVID-19, Jumat 18 September 2020 petang.
Luhut yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) mengatakan pembatasan yang dilakukan itu misalnya dengan mengharuskan pengunjung Bali yang menggunakan mobil untuk bisa melakukan rapid test antigen.
"Misal dari Jakarta, sekarang mobil yang masuk harus dapat rapid test antigen buatan dalam negeri sehingga industri jalan juga. Kalau itu kita jalankan, nanti saya pikir akan juga mengurangi penyebaran itu," katanya seperti dikutip dari Antara.
Bali menjadi salah satu provinsi penyumbang kasus terbesar COVID-19, di mana Luhut diminta untuk melakukan pengawasan ketat dalam penanganan penyebarannya. Selain Bali, ada DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Papua yang jadi wilayah fokus penanganan COVID-19.
Menyusul upaya untuk menekan kasus COVID-19 di provinsi tersebut, pemerintah akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan membatasi sejumlah kegiatan masyarakat meski tidak seekstrem sebelumnya agar ekonomi tetap bisa berputar.
"Sekarang di Bali itu acara keagamaan dikurangi, sesajen itu sementara dikurangi, perkantoran juga dikurangi. Turis pun sementara dua minggu ini agak mereka kurangi, mungkin tidak ditutup seperti yang lalu (total) sehingga ekonomi masih bergerak," katanya.
Advertisement