Liputan6.com, Mogadishu - Dalam sebuah langkah yang sangat kontroversial, presiden Somalia telah memperpanjang masa jabatannya sendiri selama dua tahun.
Keputusan ini pun menarik kecaman dari Amerika Serikat dan sekutu lainnya yang memandangnya sebagai perebutan kekuasaan yang dapat membalikkan upaya goyah untuk mendirikan negara dan mengalahkan pemberontakan oleh kelompok ekstremis Al Shabab.
Mengutip New York Times, Kamis (15/4/2021), Presiden Mohamed Abdullahi Mohamed, seorang warga negara Amerika yang pernah dikenal dengan nama Farmaajo, mengumumkan bahwa ia menandatangani undang-undang yang memperpanjang mandatnya pada Rabu pagi, dua hari setelah disetujui oleh Parlemen Somalia di tengah tuduhan bahwa kantor presiden telah merekayasa pemungutan suara.
Advertisement
Langkah tersebut mewakili skenario terburuk bagi PBB dan pejabat Barat, yang telah berbulan-bulan antara Mohamed dan para pemimpin daerah Somalia terkunci dalam perselisihan pahit mengenai kapan dan bagaimana mengadakan pemilihan parlemen dan presiden yang dijadwalkan berlangsung pada awal Februari.
Amerika Serikat, yang telah memberikan bantuan ke Somalia sebanyak miliaran dolar dan melakukan banyak serangan udara hingga serangan militer terhadap Al Shabab, secara pribadi mengancam Mohamed dan pejabat tingginya dengan sanksi dan pembatasan visa jika mereka mengabaikan tabel waktu pemilihan.
Saksikan Video Berikut Ini:
Kekecewaan AS
Sekretaris Negara Amerika Serikat, Antony J. Blinken, mengumumkan ancaman tersebut pada Selasa (14/4) dalam sebuah pernyataan yang memperingatkan Mohamed, yang masa jabatannya secara teknis berakhir pada bulan Februari.
AS mengatakan bahwa setiap upaya untuk memperpanjangnya secara sepihak akan ditentang keras oleh Amerika Serikat.
"Amerika Serikat sangat kecewa dengan keputusan pemerintah federal Somalia untuk menyetujui RUU legislatif yang memperpanjang mandat presiden dan Parlemen selama dua tahun," kata Blinken.
Menggarisbawahi pesan keras, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan komunitas internasional "dalam keadaan apa pun" tidak akan menerima perpanjangan sepihak.
Proses pemilihan telah menemui jalan buntu sejak musim gugur lalu ketika para pemimpin Puntland dan Jubaland, dua dari lima negara bagian semi-otonom Somalia, pertama kali menuduh Mohamed menggunakan badan intelijen nasional untuk mencurangi sistem pemungutan suara.Â
Pada bulan Maret, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan donor asing menekan kedua belah pihak agar melakukan pembicaraan di ibukota, Mogadishu, yang terbukti tidak meyakinkan. Dengan perpanjangan kekuasaan Mohamed, negosiasi tersebut sekarang telah runtuh.
Kritikus mengatakan Mohamed tampaknya mengambil isyarat dari presiden otokratis Eritrea, Isaias Afwerki, yang telah menjadi sekutu dekat dalam beberapa bulan terakhir.Â
Kedua pemimpin secara teratur berbicara di telepon, menurut beberapa pejabat Barat dan mantan pejabat senior pemerintah Somalia, dan militer Afwerki baru-baru ini melatih kontingen sekitar 3.000 tentara Somalia yang diperkirakan akan pulang baru-baru ini.
Advertisement