Liputan6.com, Sydney - Lebih dari 13 juta warga Australia -- sekitar setengah dari populasi -- harus berada di dalam rumah setelah diberlakukannya pembatasan untuk mengekang COVID-19 Varian Delta. Australia Selatan, rumah bagi 1,7 juta orang, bergabung dengan Victoria dan sebagian New South Wales dalam lockdown pada Selasa 20Â Juli.
Kemarahan di Australia meningkat atas strategi penguncian di masa lockdown, dengan dua kota terbesar Sydney dan Melbourne menghadapi ketidakpastian kapan wilayah tersebut akan dibuka. Lockdown sangat diawasi untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan, seperti dikutip dari laman BBC, Rabu (21/7/2021).
Baca Juga
Namun, baru-baru ini Australia sebagian besar dipuji karena strategi penutupan perbatasan, program karantina, dan penguncian cepat. Lantaran negara ini memiliki kurang dari 1.000 kematian akibat COVID-19.
Advertisement
Tetapi penyebaran cepat varian Delta yang sangat menular telah menciptakan tantangan baru dan memaparkan tingkat vaksinasi Australia yang buruk. Meskipun telah memasuki penguncian akhir bulan lalu, Sydney melaporkan 110 kasus baru pada Rabu, menjadikan lebih dari 1.300 kasus secara total.
Warga tidak boleh meninggalkan rumah mereka kecuali untuk berbelanja bahan makanan, berolahraga, dan alasan penting lainnya. Situs konstruksi dan toko ritel juga telah ditutup.
Ada kekhawatiran penutupan Sydney, Australia dapat diperpanjang hingga September, sampai kasus mendekati angka nol.
Bentuk Kegagalan Pemerintah?
Banyak orang Australia telah membandingkan situasi mereka dengan pembukaan kembali yang terjadi di Inggris dan AS, memberikan tekanan pada pemerintah federal.
Pihak berwenang Australia telah berkomitmen untuk menghilangkan kasus lokal sama sekali sampai lebih banyak orang divaksinasi.
Kurang dari 14 persen warga Australia telah divaksinasi - tingkat paling lambat di antara negara-negara OECD.
Pemerintah Perdana Menteri Scott Morrison dikritik keras, setelah dia mengatakan awal tahun ini bahwa peluncuran vaksin "bukan perlombaan".
Penyerapan vaksin yang lambat telah disalahkan pada kegagalan pemerintah untuk mengamankan pasokan Pfizer dan kekhawatiran publik tentang kasus pembekuan darah yang sangat langka dari vaksin produksi AstraZeneca.
Advertisement