Mantan Menkes China Tolak Hidup Berdampingan dengan COVID-19

Media pemerintah China, People's Daily, menerbitkan tulisan mantan menkes yang mengkritik gagasan hidup berdampingan dengan COVID-19.

diperbarui 13 Agu 2021, 18:15 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2021, 18:00 WIB
FOTO: Kemeriahan Peringatan 100 Tahun Partai Komunis China
Penampil berpakaian sebagai responden pertama dalam perang melawan pandemi COVID-19 saat pertunjukan gala menjelang peringatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China di Beijing, China, 28 Juni 2021. Partai Komunis China akan merayakan HUT ke-100 pada 1 Juli 2021. (AP Photo/Ng Han Guan)

Beijing - Mantan Menteri Kesehatan China, Gao Qiang, menuliskan kritik terhadap gagasan hidup berdampingan dengan COVID-19. Tindakan pelonggaran pembatasan juga dianggap kesalahan yang memperburuk perlawan global melawan pandemi. 

Melalui media pemerintah, People's Daily, Gao Qiang menyindir pakar kesehatan China yang mendukung pelonggaran. 

"Ini adalah keputusan salah saat mencegah epidemi yang disebabkan karena buruknya sistem politik di Inggris, Amerika Serikat dan negara lain," tulisnya seperti dikutip ABC Australia, Jumat (13/8/2021).

Gao Qiang adalah Menkes China di era Hu Jintao. Ia pun berkata pelonggaran kebijakan COVID-19 adalah kebijakan yang cenderung individualis. 

Tanpa menyebut nama, ia seraya membalas argumen Zhang Wenhong, direktur penyakit menular di sebuah rumah sakit besar di Shanghai. Dr. Zhang memberi analisis bahwa makin banyak orang yang berpikir pandemi tak kunjung selesai. 

Ia lantas menyorot bahwa mulai banyak pakar penyakit di dunia yang mewacanakan agar hidup berdampingan dengan virus. 

"Semakin banyak orang yang merasa pandemi tidak akan berakhir dalam waktu dekat dan juga mungkin tidak akan berakhir dalam jangka panjang," tulisnya.

"Banyak pakar penyakit menular di seluruh dunia percaya sekarang virus corona sudah menetap dan dunia harus belajar hidup berdampingan dengannya."

Unggahan itu muncul di saat China menghadapi penularan varian Delta, yang menyebar dari Nanjing ke 12 kota lainnya dalam beberapa pekan terakhir. 

Dr. Zhang bukanlah satu-satunya suara yang menyarankan agar China melonggarkan dan keluar dari pembatasan aturan terkait COVID-19.

Mantan pakar penanggulangan penyakit Feng Zijian mengatakan minggu lalu jika China bisa kembali ke kehidupan normal ketika tingkat vaksinasi dicapai pada titik tertentu.

Komentarnya kemudian menghilang dari internet.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Dukung Pelonggaran, Dijemput Polisi

Potret Warga Wuhan Antre Tes COVID-19 Sampai Malam
Warga mengantre untuk tes virus corona Covid-19 di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (3/8/2021).Langkah tersebut dilakukan setelah sejumlah kota di China melaporkan infeksi lokal pertamanya setelah lebih dari setahu. (AFP/STR)

Polisi di provinsi Jiangxi bahkan menahan seorang pria yang memberikan komentar mendukung pelonggaran pembatasan, menurut media lokal.

Sensor terhadap komentar Dr Feng ditambah dengan tajuk Menteri Gao tampaknya menunjukkan sikap yang masih dianut China untuk berusaha menghentikan penyebaran virus dengan segala cara, berbeda dengan apa yang dilakukan negara-negara lain.

Ini menjadi menarik melihat bahwa dalam enam bulan mendatang China akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin.

Pihak berwenang belum mengeluarkan rencana bagaimana pengaturan atlet yang datang dari negara-negara yang memiliki banyak kasus COVID-19.

Di saat negara yang mengandalkan pariwisata mengalami keterpurukan ekonomi karena penutupan perbatasan, China tidak mengalaminya.

Warga juga tidak menunjukkan rasa ketidakpuasan karena tidak bisa ke luar negeri, karena hanya sekitar 10 persen penduduk China yang memiliki paspor.

Walau susah mengukur pendapat publik di sana, namun terisolasinya China saat ini tidak akan meningkatkan tekanan politik di dalam negeri, seperti yang terjadi di Australia.

Ingin Menang Lawan Pandemi

FOTO: Kemeriahan Peringatan 100 Tahun Partai Komunis China
Penampil berpakaian sebagai responden pertama dalam perang melawan pandemi COVID-19 saat pertunjukan gala menjelang peringatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China di Beijing, China, 28 Juni 2021. Partai Komunis China akan merayakan HUT ke-100 pada 1 Juli 2021. (AP Photo/Ng Han Guan)

Retorika Gao mengenai kelemahan sistem politik negara-negara Barat adalah hal yang sudah biasa di China, di mana pimpinan Partai Komunis Xi Jinping digambarkan berhasil menangani penularan COVID.

Ini sekaligus upaya China untuk membuktikan mereka memiliki sistem yang lebih hebat ketimbang dunia barat.

"Mereka menciptakan gambaran bahwa dengan adanya nol kasus sebagai keberhasilan, jadi beralih dari kebijakan itu akan memerlukan perubahan pandangan publik," kata Ian Chong, pengamat politik dari National University Singapore.

"Dengan dengan adanya varian Delta dan mungkin juga dengan varian berikutnya, menekan kasus hingga nol mungkin lebih susah. Jadi diperlukan indikator kesuksesan bagi partai dan kepemimpinan."

Untuk sementara, paling tidak dari pandangan mantan menteri kesehatan Gao, China masih berusaha memastikan virus tidak akan menyebar luas di sana.

"Sejarah keberhasilan manusia untuk berkembang adalah sejarah memerangi virus sampai mati," tulisnya.

"Pilihannya manusia menghilangkan virus atau manusia yang ditelan oleh virus," jelasnya. "Manusia tidak pernah hidup 'berdampingan' dengan virus dalam waktu yang lama."

Strategi Nol Kasus

Mengintip Kesibukan Teknisi Laboraturium Pengujian COVID-19 di Wuhan
Seorang teknisi laboratorium yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bekerja pada sampel yang akan diuji untuk virus corona Covid-19 di laboratorium Mata Api, fasilitas pengujian Covid-19, di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (5/8/2021). (AFP/STR)

Yanzhong Huang, peneliti masalah kesehatan global di lembaga pemikir Council on Foreign Relations di Amerika Serikat mengatakan pendekatan nol kasus virus masih sangat populer di China saat ini.

Namun dia mengatakan alasan mengapa kebijakan itu dianut, adalah mungkin kekhawatiran pemimpin China mengenai vaksin negara mereka.

"Saya kira mereka tidak sepenuhnya percaya dengan tingkat efektivitas vaksin mereka dalam mencegah penularan varian Delta," katanya kepada ABC.China sudah melakukan 1,7 miliar dosis vaksinasi, dengan menggunakan dua vaksin buatan sendiri Sinopharm dan Sinovac.

Berarti sekitar 60 persen dari jumlah penduduk di China sudah mendapat vaksinasi dua dosis. 

"Vaksin itu masih efektif, saya kira, untuk mencegah kasus yang parah. Namun untuk sebuah negara yang mengejar nol kasus, adanya kasus berapa saja masih tidak bisa diterima," kata Dr Huang.

Ia mengatakan saat ini China akan tetap mempertahankan kebijakan untuk menekan kasus ke titik terendah.

"Pendekatan ini membuat orang tidak ingin berubah dan itu juga terjadi di Australia juga," katanya.Walau ini memberikan rasa aman karena adanya penutupan perbatasan, namun menurut Dr Huang ini bisa juga  membahayakan.

"Akhirnya ketika sebuah negara menutup diri dari luar dan tidak ada pertukaran secara epidemiologis, maka akan muncul apa yang disebut kesenjangan imunitas," katanya.

"Kecuali kita terus memperbarui vaksin, maka kita akan melihat negara yang menutup diri akan rentan terhadap varian virus yang baru, yang berpotensi lebih membahayakan."

Infografis COVID-19:

Infografis Yuk Hindari 9 Kesalahan Ketika Gunakan Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Yuk Hindari 9 Kesalahan Ketika Gunakan Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya