Liputan6.com, Jakarta - 36 tahun lalu, keluarga diktator Ferdinand Marcos Sr digulingkan dari kekuasaan dan diusir dari Filipina. Tapi kini, Ferdinand Marcos Jr segera membawa keluarga yang dituduh memiliki keserakahan dan kebrutalan yang spektakuler itu, kembali ke Malacañang, istana kepresidenan Filipina.
Marcos Jr yang akrab dipanggil Bongbong berhasil unggul dalam Pemilu Presiden (Pilpres) Filipina. Dengan lebih dari 95% suara dihitung, Marcos Jr memiliki sekitar 30 juta suara, lebih dari dua kali lipat saingan terdekatnya, Wakil Presiden Leni Robredo, yang memiliki sekitar 14 juta suara, menurut penghitungan parsial dan tidak resmi dari Komisi Pemilihan Umum (Comelec), seperti dikutip dari laman CNN, Rabu (11/5/2022).Â
Kemenangan Marcos Jr tak terlepas dari kampanye media sosial untuk mengubah citra era Marcos lama - bukan sebagai periode darurat militer, dengan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan, korupsi, dan hampir keruntuhan ekonomi - tetapi sebagai zaman keemasan, kemakmuran, dan bebas kejahatan.
Advertisement
Ini dimulai setidaknya satu dekade yang lalu, dengan ratusan video yang diedit secara menipu diunggah ke Youtube, yang kemudian diposting ulang di halaman Facebook yang simpatik. Ini meyakinkan jutaan orang Filipina bahwa fitnah terhadap keluarga Marcos setelah kejatuhan mereka tidak adil, bahwa kisah-kisah keserakahan yang tak tertandingi itu tidak benar.
"Ada spektrum kebohongan dan distorsi dalam video-video ini," kata Fatima Gaw dari Departemen Riset Komunikasi Universitas Filipina, seperti dilansir BBC.
"Ada penyangkalan langsung terhadap kekejaman era perang. Ada juga banyak distorsi, klaim kemajuan ekonomi selama apa yang disebut tahun-tahun emas Filipina, dengan memilih detail tertentu."
Dan kemudian ada mitos, yang dipercaya secara luas di bagian Filipina yang lebih miskin, bahwa keluarga Marcos memang menyimpan kekayaan besar di rekening luar negeri atau simpanan emas batangan yang tersembunyi, tetapi ini disimpan untuk memberi manfaat bagi orang-orang Filipina begitu kekuatan mereka dipulihkan.
Usaha pengecekan fakta kolaboratif Tsek.ph menemukan bahwa hingga akhir April, 92% disinformasi online tentang kampanye Marcos menguntungkannya, sedangkan 96% tentang saingan utamanya, Wakil Presiden Leni Robredo, adalah negatif - termasuk beberapa fitnah hal buruk terhadapnya.
Selain itu, kampanye di media sosial TikTok yang digandrungi pemilih milenial Filipina - yang tidak tahu pemerintahan diktator Marcos - juga punya andil besar. Dilaporkan Time, Selasa (10/5/2022), salah satu video paling populer diposting oleh pemuda bernama Joey Toledo. Milenial itu membagikan video percakapan antara mantan menteri pertahanan Juan Ponce Enrile dan Ferdinand Marcos Jr.
Enrile memuji-muji keamanan Filipina di masa kepresidenan Marcos Sr. Ia berkata rakyat Filipina bisa meninggalkan rumah tanpa menguncinya dan masih tetap aman. Video itu meraih 92 ribu view.
"Saya tidak yakin jika ceritanya 100 persen akurat karena ia sudah tua," Toledo mengakui. Namun ia percaya Enrile karena ia mengalami zaman itu.
Kebanyakan kreator konten TikTok yang pro-Marcos menolak untuk angkat bicara, namun Toledo berkata banyak orang-orang sebayanya tidak percaya dengan pelanggaran HAM dan korupsi yang dilakukan Marcos.
Toledo yang bekerja sebagai staff support IT mengaku bukan pendukung Marcos. Meski demikian, Time menyorot banyak misinformasi yang ia sebar kepada 22 ribu pengikutnya di TikTok.
Salah satu misinformasi itu menyebut bahwa sumber kekayaan Marcos berasal dari pekerjaannya sebagai pengacara, padahal Bank Dunia, PBB, dan pengadilan di Filipina telah mengakui korupsi rezim Marcos. Bank Dunia dan United Nations Office on Drugs and Crime melaporkan bahwa ada US$ 10 miliar uang hasil korupsi yang dicuri Marcos.
Kampanye disinformasi pro-Marcos juga mendapat keuntungan dari kekecewaan publik yang meluas atas kegagalan pemerintahan pasca 1986, untuk membawa perbaikan yang signifikan bagi kehidupan orang Filipina yang lebih miskin.
Bongbong pun telah berhasil menggambarkan dirinya sebagai kandidat untuk perubahan, menjanjikan kebahagiaan dan persatuan ke negara yang lelah selama bertahun-tahun polarisasi politik dan kesulitan pandemi, dan haus akan cerita yang lebih baik. Padahal, Marcos Jr hanya berbicara sedikit tentang detail platform kebijakannya saat berkampanye, yang bagaimanapun juga merupakan daftar janji yang biasa-biasa saja, sebagian besar untuk melanjutkan kebijakan Presiden Duterte.
Dengan menjauh dari semua debat presiden dan menolak wawancara media, dia menghindari sejarah keluarganya diulas, dan mampu mempertahankan ilusi harmoni, meskipun jutaan orang tetap menentang kepresidenannya.
Fakta bahwa ia menghadapi begitu banyak saingan juga merupakan keuntungan yang signifikan. Suara anti-Marcos dibagi di antara sembilan kandidat Pilpres Filipina, dan yang terkuat di antara mereka, Leni Robredo, menyatakan terlambat, memberikan sedikit waktu bagi kampanyenya yang bersemangat untuk melawan narasi Marcos yang kuat.
Satu kekhawatiran yang jelas adalah apa yang terjadi pada upaya untuk memulihkan uang yang diduga dicuri oleh keluarga Marcos ketika mereka terakhir berkuasa.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Evi Fitriani, menilai kemenangan Marcos Jr ini bisa terjadi lantaran sistem demokrasi yang belum matang. Menurutnya, demokratisasi di Filipina sama mentahnya dengan di Indonesia sehingga banyak unsur yang tidak sempurna.
"Mungkin bedanya satu dekade dengan Indonesia, jadi banyak unsur-unsur yang tidak sempurna dan kemangan ini bagian dari ketidaksempurnaan itu," kata Evi kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu, (11/5/2022).
Evi mengatakan, budaya politik di Filipina belum menunjang sistem demokrasi, hal ini terlihat dari adanya pattern client. "Jadi orang memilih karena uang atau mungkin karena hubungan pribadi karena persona pribadi si kandidatnya," ujarnya.
Di Filipina, kata dia, dikuasai klan-klan keluarga yang kaya dan mendominasi kongres serta parpol sejak jaman dulu seperti keluarga Acquino dan Marcos.
"Jadi walau pun Marcos sudah dijatuhkan, namun proses hukumnya kan tidak tuntas. Malahan dalam waktu lima tahun, keluarganya bisa come back dan anaknya bisa memulai karir politik lagi, mulai dari gubernur, kemudian anggota senat. Sebab mereka punya pengikut yang dulu diuntungkan sejak zamannya Marcos berkuasa," kata dia.
Ditambah lagi, banyak masyarakat miskin dan tingkat pendidikan belum merata, sehingga rakyat mudah dibohongi. Terlebih dengan pemberitaan medsos yang memutar balik sejarah.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana keluarga Cendana tengah berusaha membersihkan nama Presiden Soeharto.
"Nah itu kan yang dilakukan Bongbong ini kan? Seakan-akan jaman si ayahnya Bongbong ini jaman keemasan Filipina. Nah ini mirip dengan yang di Indonesia, tapi di sana mereka mulai dari bawah, dari gubernur dan anggota senat, Marcos Junior ini aktif tapi kan beda dengan di Indonesia yang keluarga Cendana tiba-tiba mau jadi ke kancah nasional," kata Evi.
Sehingga, kata Evi, tidak menutup kemungkinan pilpres yang terjadi di Filipina juga bisa terjadi di Indonesia. "Bisa jadi, Amerika kan jaman Trump juga begitu karena mereka hire PR yang begitu bagus dan mau melakukan pembohongan politik seperti itu. Pada Indonesia sendiri juga sudah mulai terjadi dari pemilu beberapa pemilu sebelumnya, hoaks banyak sekali," ujarnya.
Untuk itu, dia meminta masyarakat Indonesia lebih cerdas serta peran media yang tidak disetir oleh kelompok-kelompok tertentu.Â
"Karena kasus di Filipina ini yang banyak main ini media alterinatif yang disebar kelompoknya Bongbong dengan kekuatan uang mereka melakukan itu. Jadi media ini diperkuat, kelompok sipil diperkuat untuk membuat counter narasi," Evi memungkasi.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Buzzer TikTok
Konten-konten TikTok menyebar ilusi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dalam rezim Marcos yang korup. Para pemilih pun terbuai dengan "keindahan" zaman tersebut.
Faktor usia pun menjadi sorotan, sebab para milenial dan generasi Z di Filipina tidak paham rezim Ferdinand Marcos. Akan tetapi, 72 persen pemilih dari kalangan milenial dan generasi Z adalah pendukung Marcos.
56 persen dari seluruh pemilih juga berusia di bawah 40 tahun. Alhasil, mereka belum lahir atau terlalu kecil untuk paham korupsi pemerintahan Marcos yang berkuasa antara 1965-1986.
"Mereka tidak punya pengalaman atau memori atau pengetahuan tentang rezim Marcos," ujar pakar politik dari De La Salle University, Julio C. Teehankee.
Pengaruh politik keluarga Marcos tak terlepas dari narasi media sosial. Teehankee berkata Bongbong menggunakan jaringan dari Marcos Sr dan kekayaannya untuk kampanye media sosial yang tertata.
Pemerintah yang tak kunjung menerapkan kebijakan melawan kemiskinan juga menjadi faktor ketidakpuasan. Lebih dari seperlima orang Filipina hidup di bawah garis kemiskinan, sementara kekayaan terfokus pada pebisnis dan politisi.
Investigasi Rappler dan Vera Files menunjukkan bahwa Marcos mendapat untung dari kampanye disinformasi yang terkoordinasi dari media sosial, terutama dalam bentuk video.
Alan German, ahli strategi kampanye di Agents International, menyebut bahwa kreator konten politik dibayar hingga US$ 4.700 (Rp 68 juta) per bulan. Angka itu fantastis mengingat upah minimum per bulan di Filipina hanya US$ 170 (Rp 2,4 juta).Â
Ketika diwawancara CNN, Bongbong membantah menggunakan buzzer seperti itu.Â
Peneliti disinformasi dari Universitas Harvard, Jonathan Corpus Ong, menjelaskan bahwa algoritmen TikTok bisa mempercepat popularits seseorang dibandingkan Facebook, Twitter, dan Instagram. Alhasil, misinformasi bisa lebih mudah tersebar di TikTok.
"Potensi konten misinformasi untuk meraih dinamika 'sensasi viral' lebih tinggi di TikTok ketimbang di platform-platform lain," ucapnya.
Kristoffer Rada, kepala kebijakan publik TikTok, berkata apabila ada konten yang ditandai sebagai disinformasi, maka kontennya tak akan diprioritaskan.Â
Kreator konten seperti Toledo menilai tuduhan korupsi Marcos adalah kebohongan yang disebar rival politiknya, yakni keluarga Aquino. Namun, Mahkamah Agung Filipina telah menegaskan di tahun 2003 bahwa US$ 658 juta deposit dari Ferdinand Marcos dan istrinya di bank Swiss merupakan uang yang didapatkan secara tidak sah.
Advertisement
Strategi Kampanye Marcos Jr
Ferdinand Marcos Jr, putra dan senama mendiang diktator, berada di ambang kemenangan dalam pemilihan presiden Filipina dengan telak, menurut hasil awal dan tidak resmi. Menurut laman TIME, berikut ini adalah strategi kampanye Marcos Jr:
1. Punya Tim yang Kuat
Dia telah bekerja sama dengan putri mantan presiden populis Rodrigo Duterte, Sara Duterte, yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Mereka membuat tim yang tangguh, dan menuju kemenangan telak dalam jajak pendapat 9 Mei. Ferdinand Marcos Jr. telah mendapatkan 30 juta suara dalam penghitungan awal, lebih dari dua kali lipat saingan terdekatnya—wakil presiden saat ini Leni Robredo.
2. Kampanye di Media Sosial
Jajak pendapat awal menunjukkan satu titik data penting: Mayoritas pendukung Marcos adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun, pemilih yang tidak lahir ketika ayahnya memberlakukan darurat militer nasional dan memimpin pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan perlambatan ekonomi besar-besaran.
Marcos Jr juga tahu di mana harus bertemu dengan para pendukung ini: timnya terlibat dengan jutaan pengguna di platform sosial—terutama TikTok dan Facebook—baik di dalam maupun di luar Filipina.
"Dia adalah orang yang berhati-hati," kata Reian Azcune, pemilih berusia 20 tahun di provinsi Rizal.
"Dalam semua kampanye dan aksi unjuk rasa, dia tidak pernah benar-benar bermaksud mengolok-olok orang lain, atau dia tidak pernah memfitnah siapa pun."
3. Usung Persatuan
Kampanye presiden tahun 2022 Marcos Jr. mengusung narasi "persatuan" sebagai sarana untuk mengangkat negara dari kelesuan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Terlepas dari pesan ini, ia telah menjadi kandidat yang paling memecah belah dalam perlombaan. Lawan politik mengutuk pelanggaran hak asasi manusia selama kediktatoran ayahnya, miliaran dolar dalam kekayaan haram, dan pajak keluarga yang belum dibayar.
Mereka juga menunjukkan bahwa ibunya, Imelda Marcos telah berhasil menghindari hukuman penjara, meskipun dihukum karena korupsi.
4. Jadi Pilihan Segar untuk Kaum Muda
Pekerja luar negeri Filipina, Sherina Erno tidak berencana memilih Bongbong Marcos dalam jajak pendapat. Keluarga Marcos, katanya, telah "memerintah dengan darurat militer begitu lama. Jadi mengapa Filipina masih berantakan?"
Kritikus mengatakan kemenangan Bongbong Marcos akan menimbulkan ancaman besar bagi demokrasi Filipina.Â
Negara Asia Tenggara berpenduduk 110 juta orang ini telah mengalami perang narkoba berdarah Duterte dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, yang sangat mengingatkan pada tahun-tahun brutal Marcos Sr berkuasa.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami rezim ayahnya, Marcos Jr tampaknya menawarkan pilihan yang menyegarkan—terutama setelah presiden-presiden sebelumnya gagal mengatasi kemiskinan yang parah, infrastruktur yang lemah, dan korupsi yang mengakar yang mendominasi kehidupan sehari-hari begitu banyak orang Filipina.
"Anda memiliki suksesi administrasi yang benar-benar gagal memenuhi cita-cita dan aspirasi fundamental rakyat Filipina, yang diungkapkan dalam revolusi 1986," kata Richard Heydarian, seorang profesor ilmu politik dan pakar geopolitik Asia yang berbasis di Manila.
Fakta di Balik Sosok Marcos Jr
Nama Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr sebetulnya tidak asing di dunia politik Filipina. Pada 1981, ia bahkan berhasil menjadi wakil gubernur di Ilata Norte. Usia saat itu masih 23 tahun.
Berikut ini fakta-fakta di balik sosok Marcos Jr:
1. Karier PolitikÂ
Mungkin tidak mengejutkan untuk mengetahui bahwa Ferdinand Marcos masih berkuasa ketika Bongbong jadi gubernur. Sekitar lima tahun kemudian, revolusi pecah di Filipina dan akhirnya Marcos senior lengser. Dan berikut fakta menarik dari Presiden Bongbong.
Berdasarkan data di situs Senat Filipina, Bombong Marcos (BBM) lahir pada 13 September 1956 di Manila. Ia menikah dengan wanita bernama Louise pada 1993.
Pasangan itu memiliki tiga putra: Ferdinand Alexander, Joseph Simon, dan William Vincent. Ferdinand Alexander sudah berusia 28 tahun, sementara yang termuda akan berusia 25 tahun pada Mei 2022.
Usai menjabat sebagai wakil gubernur di provinsi Ilocos Norte, karier Bongbong berlanjut sebagai gubernur provinsi tersebut pada 1983-1986.
Karier Bongbong tersendat karena keluarga Marcos sempat menjadi eksil hingga 1992. Sepulangnya dari pengasingan, Bongbong kembali masuk ke dunia politik sebagai anggota Kongres pada 1992-1995.
Pria yang pernah kuliah di Wharton School of Business itu kembali menjadi gubernur Ilocos Norte pada 1998-2007, kemudian kembali menjadi anggota Kongres pada 2007-2010, dan akhirnya menjadi Senator di 2010.
Pada situs resminya, pihak Bongbong mengakui sukses mengubah Ilocos Norte menjadi "provinsi kelas satu."
Ia pernah bekerja di berbagai komite, mulai dari komite pemerintahan lokal, pekerjaan umum, hubungan luar negeri, agrikultur, ekonomi, pendidikan, energi, keuangan, lingkungan, dan lain sebagainya.
2. Tidak Lulus Kuliah?
Bongbong adalah satu-satunya anak lelaki Marcos senior dari pernikahannya dengan Imelda. Ia adalah anak kedua dari pernikahan Ferdinand Marcos dengan Imelda. Kakaknya yang bernama Maria Imelda Josefa Remedios Romualdez Marcos (Imee) juga terjun ke bidang politik.
Imee juga pernah menjadi gubernur di Ilocos Norte, setelah itu ia lanjut sebagai senator. Hingga kini, Imee masih menjabat sebagai senator.Â
Adik Bongbong dan Imee, yakni Irene, adalah satu-satunya dari trio Marcos yang tidak memegang jabatan publik.
Bongbong menerima pendidikan di luar negeri. Ia pernah bersekolah di Worth School, Sussex. Ia kemudian melanjutkan S2 di Universitas Oxford dan mendapat diploma khusus di bidang Ilmu Sosial.Â
Namun, BBC menyebut Bongbong sebetulnya gagal lulus dari Oxford.Â
Bongbong juga tak menyelesaikan kuliahnya di Wharton dengan dalih pekerjaan politiknya.Â
3. Korupsi Jadi Sorotan
Komisi Kepresidenan untuk Tata Kelola yang Baik (PCGG), yang dibentuk setelah pemberontakan 1986, telah memulihkan sekitar sepertiga dari $10-15Â miliar dari apa yang disebut "kekayaan haram" - termasuk perhiasan, lukisan berharga dan sepatu terkenal Imelda - tetapi secara resmi masih mengejar sisanya.
Bongbong kemudian menyarankan bahwa dia akan memperluas kewenangan PCGG untuk memasukkan keluarga lain, tetapi mengingat kemajuan yang terbatas dalam meminta pertanggungjawaban keluarga Marcos saat mereka tidak berkuasa, sulit untuk membayangkan banyak kemajuan sekarang saat mereka kembali.
Sementara itu masih ada masalah pajak yang belum dibayar di perkebunan Marcos - Bongbong dinyatakan bersalah karena gagal mengajukan pengembalian pajak pada tahun 1995.
Lalu ada putusan di Amerika Serikat bahwa dia menghina pengadilan karena gagal membayar ganti rugi kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia ayahnya, yang akan membuat setiap kunjungan resmi ke AS, sekutu perjanjian Filipina, menjadi rumit.
4. Terlalu Santai dan Malas
Media Inggris, BBC, menyorot bahwa Bongbong sebagai sosok yang berusaha membangkitkan politik dinasti. Nama "Marcos" juga masih sinonim dengan kasus korupsi.Â
BBCÂ juga menyorot bahwa meski ada yang menganggap pemerintahan Marcos senior sebagai zaman yang baik, akan tetapi faktanya ekonomi Filipina justru anjlok, serta banyak utang ke bank-bank luar negeri.Â
Sejak dulu, Ferdinand Marcos ternyata pernah dibuat khawatir oleh Bongbong. Putranya disebut terlalu santai dan malas.Â
Â
Advertisement