Liputan6.com, Cochamo - Arkeolog menemukan fosil Gomphothere (sejenis gajah purba) di Chile. Tinggi fosil itu mencapai tiga meter.Â
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (13/10/2022), para ilmuwan Chile berhipotesis bahwa, Gomphothere, yaitu spesies gajah purba yang telah punah, pernah berkeliaran di Chile bagian selatan ribuan tahun yang lalu dan mungkin menjadi sasaran sekelompok pemburu yang tinggal di daerah tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Para ilmuwan baru-baru ini menemukan beberapa fosil peninggalan Gomphothere yang berusia 12.000 tahun di dekat Danau Tagua Tagua, sebuah danau glasial di Chile selatan.
Makhluk serupa gajah yang beratnya mencapai 4 ton dan bisa mencapai tinggi 3 meter atau 9,8 kaki ini membuat para ilmuwan percaya bahwa mereka adalah target perburuan kelompok dari penduduk di wilayah tersebut.
Arkeolog, Carlos Tornero yang meneliti lokasi tempat penemuan fosil tersebut mengatakan hipotesis yang tengah dikerjakan berkaitan dengan berbagai aksi berburu.
"Gomphothere adalah hewan yang sangat besar dan berbahaya, dan mungkin membutuhkan beberapa orang untuk memburunya," tambah Tornero kepada kantor berita Reuters.
Para ilmuwan mengatakan penemuan itu juga akan memungkinkan mereka untuk mempelajari dampak manusia yang lebih luas terhadap wilayah tersebut dan bagaimana perubahan iklim memengaruhi hewan di daerah tersebut pada waktu itu.
"Kami bisa mendapatkan banyak informasi dari sini, misalnya tentang perubahan iklim, bagaimana hal itu memengaruhi hewan," kata Elisa Calas, seorang arkeolog lain yang juga bekerja di lokasi tersebut.
Calas menambahkan pengaruh manusia terhadap lingkungan sangat sejalan dengan apa yang terjadi sekarang dalam hal lingkungan.
Lubang Misterius Ditemukan di Tulang Rahang Fosil T-rex, Fenomena Apa?
Sebelumnya dilaporkan, ilmuwan juga berhasil menemukan penyakit dari sebuah dinosaurus yang diberi nama Sue. Fosil Sue adalah salah satu spesimen Tyrannosaurus rex ini yang paling lengkap dan diawetkan dengan baik yang pernah ditemukan.
Pengawetan tersebut membantu mengungkap detail tentang kehidupan Sue. Misalnya, Sue hidup sampai usia sekitar 33 tahun, dan pada tahun-tahun itu, menderita luka-luka yang cukup parah.
Penyakit Sue yang paling misterius mungkin adalah lubang-lubang di tulang rahang.
Mengutip Phys, Jumat (7/10/2022), lubang-lubang ini, beberapa berdiameter seperti bola golf, menghiasi bagian belakang rahang kiri bawah.
Tidak jelas apa penyebabnya, tetapi luka serupa telah ditemukan pada fosil T. rex lainnya.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Cretaceous Research, para ilmuwan menunjukkan bahwa salah satu teori populer -bahwa Sue telah menderita infeksi dari parasit protozoa- mungkin tidak benar.
"Lubang-lubang di rahang Sue ini telah menjadi misteri selama beberapa dekade," kata Jingmai O'Connor, kurator asosiasi fosil reptil di Field Museum Chicago dan rekan penulis studi ini.
"Tidak ada yang tahu bagaimana mereka terbentuk, dan ada banyak tebakan." lanjutnya.
Salah satu hipotesis awal adalah Sue menderita infeksi bakteri seperti jamur, tetapi itu kemudian terbukti tidak mungkin.
Kemudian kembali dihipotesiskan bahwa Sue memiliki infeksi protozoa. Protozoa adalah mikroba dengan struktur sel yang lebih kompleks daripada bakteri.
Advertisement
Perbandingan Lubang Rahang
Bruce Rothschild, seorang dokter medis yang penerapan pendekatan medis ilmiahnya pada paleontologi membuatnya mendapatkan peran sebagai rekan peneliti di Carnegie Museum, meminta bantuan O'Connor dalam menganalisis cedera Sue.
Pada Maret 2021, O'Connor mengambil foto resolusi tinggi dari lubang di rahang Sue, dan para peneliti menganalisisnya untuk mencari tanda-tanda pertumbuhan kembali tulang.
"Ini adalah pertama kalinya saya mengerjakan T. rex. Saya biasanya mengerjakan fosil burung yang lebih kecil, dan harus saya akui, saya sangat bersemangat," ungkap O'Connor.
"Ini benar-benar hewan yang luar biasa." sambungnya.
Para peneliti membandingkan lubang di rahang Sue dengan patahan yang disembuhkan pada kerangka fosil lainnya.
Bekerja sama dengan ahli biokimia Field Museum Stacy Drake dan rekan penulis antropolog MarÃa Cecilia Lozada dari University of Chicago, O'Connor dan Rothschild juga memeriksa tulang yang sembuh di sekitar lubang trepanasi yang dibuat dalam tengkorak oleh ahli bedah dan penyembuh Inca di Peru kuno.
"Kami menemukan bahwa cedera Sue konsisten dengan contoh-contoh cedera dan penyembuhan tulang lainnya. Ada taji-taji kecil yang serupa dari tulang yang terbentuk kembali," tutur O'Connor.
"Apa pun yang menyebabkan lubang-lubang ini tidak membunuh Sue, dan hewan itu bertahan cukup lama agar tulang-tulangnya mulai memperbaiki diri." tambahnya.
Bekas Luka
O'Connor kemudian bekerja sama dengan asisten manajer koleksi burung di Field Museum, Mary Hennen, untuk menemukan kerangka burung dalam koleksi Field yang memiliki riwayat trikomoniasis.
"Dia menemukan saya satu, dan Anda tidak melihat lubang rahang," ucap O'Connor.
"Anda memang melihat tanda-tanda infeksi, dan mereka berada di belakang tenggorokan, tetapi tidak ada lubang yang menembus rahang seperti yang kita lihat di Sue." Trichomonas, atau protozoa serupa, tampaknya tidak cocok.
Jadi apa yang menyebabkan lubang-lubang ini, jika bukan infeksi?
"Kami masih belum tahu. Rekan penulis saya Bruce Rothschild berpikir bahwa itu adalah gigitan atau lebih mungkin bekas cakar, tapi saya rasa itu tidak masuk akal," terang O'Connor.
"Lubang-lubang itu hanya ditemukan di bagian belakang rahang. Jadi jika itu adalah bekas gigitan, mengapa tidak ada juga lubang di bagian depan rahang? Dan Anda tidak melihat deretan lubang, atau lekukan, seperti yang Anda lihat dari deretan gigi, bahkan deretan di mana giginya memiliki ketinggian yang berbeda. Mereka hanya acak, di semua tempat." jelasnya.
Advertisement