Liputan6.com, Denpasar - Kepresidenan G20 di tangan Indonesia memang berada di posisi yang sangat sulit. Ini karena dunia tengah mengalami berbagai masalah global secara bertubi-tubi, mulai dari pemulihan pasca pandemi yang belum usai, masalah ketahanan pangan, ancaman resesi ekonomi hingga masalah geopolitik yang semakin panas.
Bahkan, Presiden Jokowi juga mengakui bahwa diskusi para pemimpin G20 terkait perang antara Rusia dan Ukraina berlangsung alot.
Baca Juga
"Diskusi mengenai hal ini berlangsung sangat-sangat alot sekali dan akhirnya para pemimpin G20 menyepakati isi deklarasi. Yaitu, condemnation perang di Ukraina karena telah melanggar batas wilayah, melanggar integritas wilayah," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (16/11/2022).
Advertisement
Menurut dia, perang tersebut telah mengakibatkan penderitaan masyarakat. Selain itu, perang juga memperberat ekonomi global yang masih rapuh akibat pandemi sehingga menimbulkan risiko krisis pangan, energi, dan potensi krisis finansial.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi pun mengatakan bahwa kepresidenan Indonesia sempat sangat diragukan sebelumnya.
"Di awal, hampir semua orang pesimis. Kita lihat semua orang mengatakan pasti nggak bisa, dan di pertemuan internasional lainnya, semua gagal," ujarnya.
"Jadi, dengan capaian bahwa kita bisa mewujudkan adanya deklarasi yang merupakan kesepakatan semua pihak dalam G20 itu, menurut saya adalah sesuatu yang luar biasa," tambahnya kemudian.
Perbedaan Tetap Ada
Kendati demikian, Menlu Retno Marsudi mengakui bahwa perbedaan pendapat antara pemimpin G20 tetap ada. Namun dari perbedaan itu, ia menegaskan bahwa masih ada yang bisa dikerjasamakan.
"Tadi disebut oleh Pak Menko, Bu Menkeu, pada saat di awal-awal kita keketuaan, setelah bulan Februari, kita selalu berkomunikasi dengan mereka apakah kita masih akan bekerja sama, dan jawabannya adalah 'Iya'," papar Menlu.
Berangkat dari komitmen tersebut, Indonesia mencoba kapitalisasi hingga menghasilkan deklarasi KTT G20.
"Sekali lagi, Presidensi, negosiasi, kata yang paling penting di sini adalah trust. Dan alhamdullilah, kita memiliki trust dari semua," tambahnya kemudian.
Advertisement
Apa Saja Isi Leaders' Declaration?
Terdapat 52 poin yang tertuang dalam deklarasi tersebut. Poin-poin tersebut mencakup permasalahan mengenai ketegangan geopolitik global, isu krisis pangan, perubahan iklim, kesehatan global, hingga transformasi digital.
Deklarasi ini juga memunculkan sikap yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. "Sebagian besar anggota sangat mengutuk perang di Ukraina dan menekankan hal itu menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk keadaan yang ada kerentanan dalam ekonomi global,” dalam poin ketiga Leaders' Declaration di KTT G20 Bali.
Deklarasi ini juga mendorong jalur diplomasi dalam penyelesaian konflik.
"Penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Penyelesaian konflik secara damai, upaya penanganan krisis, serta diplomasi dan dialog, sangat penting. Zaman sekarang tidak boleh perang.”
Selain itu, isu krisis pangan juga menjadi perhatian yang tertuang dalam beberapa poin deklarasi, "Kami mendukung upaya internasional untuk menjaga agar rantai pasokan makanan tetap berfungsi di bawah tantangan keadaan. Kami berkomitmen untuk mengatasi kerawanan pangan dengan memastikan aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan pangan dan produk pangan bagi mereka yang membutuhkan, khususnya di negara berkembang dan negara kurang berkembang.”
India Presiden G20 2023
Munculnya Leaders' Declaration tersebut juga menjadi puncak dari KTT G20 di Bali. Dalam penutupnya, Presiden Jokowi menyerahkan estafet kepemimpinan G20 untuk 2023 ke Perdana Menteri India, Narendra Modi.
“Saya juga meminta kepada semua pimpinan G20 yang hadir untuk mendukung India tahun depan. Menandai berakhirnya presidensi Indonesia di G20 secara resmi saya menyerahterimakan tampuk kepemimpinan kepada India selaku presidensi G20 berikutnya," ujar Jokowi.
Setelah Indonesia, India akan memegang presidensi G20, disusul Brasil pada 2024. Troika kepemimpinan G20 ini menjadi peluang bagi negara-negara berkembang untuk dapat berkontribusi sebagai jembatan penghubung antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju.
Advertisement