Ilmuwan: Banjir Mematikan di Libya 50 Kali Lebih Mungkin Terjadi Akibat Pemanasan Global

Polusi udara telah memicu hujan lebat dan banjir besar di Yunani dan Libya bulan ini, namun menurut ilmuwan, faktor manusia lainnya juga bertanggung jawab untuk mengubah cuaca ekstrem menjadi bencana kemanusiaan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Sep 2023, 17:33 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2023, 17:33 WIB
Banjir Libya
Amerika Serikat, Jerman, Iran, Italia, Qatar, dan Turki termasuk di antara negara-negara yang menyatakan telah mengirimkan atau siap mengirimkan bantuan. (AP Photo/Jamal Alkomaty)

Liputan6.com, Inisiatif Atribusi Cuaca Dunia (World Weather Attribution/WWA), tim ilmuwan yang menganalisis peran perubahan iklim sebagai akibat dari cuaca ekstrem, menemukan bahwa polusi udara yang menyebabkan pemanasan global hingga memicu curah hujan mematikan di Libya, 50 kali lebih mungkin terjadi dan 50 persen lebih intens. Demikian menurut analisis mereka yang dirilis Selasa (19/9/2023), seperti dilansir CNN, Rabu (20/9).

Kehancuran akibat curah hujan diperburuk oleh berbagai faktor lain, termasuk infrastruktur yang tidak memadai dan pembangunan di daerah rawan banjir.

Curah hujan ekstrem telah melanda sebagian besar wilayah Mediterania sejak awal bulan ini.

Pada 3 September, Spanyol mengalami hujan lebat dalam jumlah besar hanya dalam beberapa jam, menyebabkan banjir yang menewaskan sedikitnya enam orang. Kemudian Badai Daniel terbentuk, memicu banjir besar selama empat hari di Yunani, Turki, dan Bulgaria.

Setidaknya 17 orang tewas di Yunani dan sebagian besar lahan pertanian di bagian tengah negara itu terendam, menyebabkan kerusakan yang menurut para ahli memerlukan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Badai Daniel juga mengakibatkan sedikitnya tujuh kematian di Turki dan empat di Bulgaria.

Namun, sejauh ini dampak terparah terjadi di Libya.

Mendapatkan energi dari air hangat yang luar biasa di Mediterania, Badai Daniel menyebabkan curah hujan mencapai rekor tertinggi di bagian timur laut Libya, memicu runtuhnya dua bendungan dan mengakibatkan gelombang air setinggi tujuh meter menghantam Kota Derna, menyapu manusia dan bangunan ke laut.

Dalam keterangan yang dipublikasikan di situs web PBB pada 18 September disebutkan bahwa korban tewas banjir bandang Libya mencapai lebih dari 11.000 dan 10.100 lainnya hilang.

"Mediterania adalah pusat bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim," kata Friederike Otto, ilmuwan iklim di Imperial College London dan salah satu penulis laporan tersebut, seperti dikutip dari The Guardian.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Perubahan Iklim dan Curah Hujan

Banjir Yunani
Air banjir juga menutupi rumah-rumah dan lahan pertanian setelah hujan badai dengan rekor tertinggi di negara itu di desa Kastro, dekat Larissa, wilayah Thessaly, Yunani tengah, Kamis, 7 September 2023. (AP Photo/Vaggelis Kousioras)

Untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap kemungkinan dan intensitas curah hujan lebat, para ilmuwan WWA menganalisis data iklim dan model iklim yang memungkinkan mereka membandingkan iklim saat ini -sekitar 1,2 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan era pra-industri- dengan dunia tanpa perubahan iklim.

Mereka menemukan bahwa di Libya, perubahan iklim tidak hanya meningkatkan kemungkinan terjadinya curah hujan ekstrem hingga 50 kali lipat, namun juga meningkatkan intensitas curah hujan hingga 50 persen.

Laporan tersebut mendapati bahwa peristiwa separah yang dialami Libya adalah kejadian yang tidak biasa, bahkan pada iklim yang lebih panas sekarang ini.

Bagi Yunani, Turki, dan Bulgaria, perubahan iklim membuat curah hujan 10 kali lebih mungkin terjadi dengan 40 persen lebih intens.

Para ilmuwan WWA mengakui bahwa masih ada ketidakpastian mengenai temuan ini.

Namun, mereka menambahkan, "Ada berbagai alasan mengapa kita bisa yakin bahwa perubahan iklim memang membuat kejadian tersebut lebih mungkin terjadi."

Penelitian ilmiah telah lama menghubungkan perubahan iklim dengan curah hujan yang lebih tinggi dengan temuan bahwa untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius, udara dapat menahan kelembapan sekitar tujuh persen lebih banyak.

Karsten Haustein, peneliti iklim di Universitas Leipzig di Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan temuan WWA menunjukkan betapa jarangnya curah hujan ekstrem terjadi di dunia tanpa perubahan iklim.

"Ini adalah hasil yang luar biasa," katanya kepada CNN.

Jasper Knight, ahli geosains di Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, yang juga tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa hasil penelitian ini menyoroti bagaimana perubahan iklim memengaruhi peristiwa ekstrem di Mediterania, wilayah yang cenderung kurang mendapat perhatian.

"Namun, kita juga memerlukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan catatan yang lebih panjang dan akurat," imbuhnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya