Pertemuan Netanyahu-Trump Ungkap Perbedaan Tajam soal 4 Isu Strategis, Mulai dari Iran hingga Gaza

Netanyahu terpaksa menelan kecewa karena sekalipun dijuluki sekutu utama AS, namun Israel tidak mendapat pengecualian dari kebijakan kontroversial Trump.

oleh Khairisa Ferida Diperbarui 11 Apr 2025, 09:03 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 09:03 WIB
Donald Trump dan Benjamin Netanyahu
Presiden Amerika Serikat (AS) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Senin (7/4/2025). (Dok. Pool via AP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Washington, DC - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu melakukan kunjungan mendadak ke Amerika Serikat (AS) untuk bertemu dengan Donald Trump di Gedung Putih. Dia membawa sejumlah kekhawatiran penting: program nuklir Iran, tarif impor yang dihadirkan Trump, meningkatnya pengaruh Turki di Suriah, serta perang yang telah berlangsung 18 bulan di Jalur Gaza.

Namun, Netanyahu diyakini tidak mendapatkan hasil yang diharapkan dari pertemuan pada Senin (7/4/2025) itu — sangat berbeda dengan kunjungannya yang penuh kemenangan dua bulan sebelumnya. Dalam pertemuan selama satu jam di Ruang Oval, menurut AP, Trump justru terkesan menolak, menyangkal, atau memperumit setiap prioritas kebijakan Netanyahu.

Pada Selasa (8/4), Netanyahu tetap menyebut pertemuan itu sebagai kunjungan yang sukses. Dia menggarisbawahinya sebagai "kunjungan yang sangat baik" dan mengklaim telah meraih keberhasilan di semua isu. Namun, secara pribadi, delegasi Israel merasa pertemuan itu cukup sulit, menurut seorang sumber yang mengetahui situasi namun enggan disebutkan namanya sesuai aturan yang berlaku.

"Netanyahu tidak mendengar apa yang ingin dia dengar, jadi dia pulang ke negaranya dengan hasil yang sangat sedikit," kata Nadav Eyal, seorang komentator dari harian Yediot Ahronot, yang menambahkan bahwa meskipun ada perbedaan, pertemuan tetap berlangsung dengan suasana bersahabat.

Kunjungan Netanyahu yang kedua ke Washington selama masa jabatan kedua Trump ini diatur dalam waktu singkat dan secara resmi bertujuan membahas kebijakan tarif baru dari AS. Namun, kunjungan ini juga terjadi di momen penting dalam geopolitik Timur Tengah. Israel baru saja melanjutkan perang di Jalur Gaza bulan lalu, mengakhiri gencatan senjata yang sebelumnya didukung oleh Trump, sementara ketegangan dengan Iran terkait program nuklirnya terus meningkat.

Netanyahu dan para pendukungnya sangat antusias dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, mengingat dukungan kuat Trump terhadap Israel selama masa jabatan pertamanya.

Dalam masa jabatan keduanya kali ini, Trump menunjukkan dukungan kuat terhadap Israel, tidak hanya dengan menunjuk tokoh-tokoh yang pro-Israel untuk posisi penting dalam pemerintahannya, namun juga menghentikan kritik yang sebelumnya dilontarkan oleh pemerintahan Joe Biden terhadap Israel.

Pertemuan pada Senin dilaporkan menunjukkan bahwa meskipun Trump masih bersimpati terhadap Israel, hubungan pribadi dan politik antara Trump-Netanyahu dinilai lebih rumit dan tak terduga dibanding yang diperkirakan sebelumnya.

Berikut adalah beberapa titik strategis di mana diyakini terjadi perbedaan pandangan antara Trump dan Netanyahu:

1. Soal Iran

Ilustrasi nuklir Iran
Ilustrasi nuklir Iran (AFP)... Selengkapnya

Atas dorongan kuat dari Netanyahu, pada tahun 2018 Trump secara sepihak menarik AS keluar dari perjanjian internasional antara negara-negara besar dan Iran mengenai program nuklirnya.

Kesepakatan, yang dinegosiasikan pada masa pemerintahan Barack Obama ini, bertujuan membatasi program nuklir Iran. Namun, Netanyahu mengkritiknya karena menurutnya perjanjian itu tidak cukup keras dalam membatasi ancaman Iran dan tidak menangani dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok militan di kawasan.

Netanyahu berkeyakinan bahwa tekanan militer adalah cara paling efektif untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir. Tahun lalu, Israel bahkan melancarkan serangan terhadap Iran — konflik langsung pertama yang pernah terjadi antara kedua negara. Namun, serangan itu tidak menyasar fasilitas nuklir Iran, yang sebagian besar berada jauh di bawah tanah dan kemungkinan hanya bisa dihancurkan dengan bantuan militer dari AS.

Trump sendiri sempat menyatakan, termasuk pada Senin, bahwa AS bisa saja mengambil tindakan militer jika Iran menolak bernegosiasi. Namun, pengumuman Trump pada Senin bahwa akan ada pembicaraan antara AS dan Iran pada akhir pekan ini bertentangan dengan sikap keras Netanyahu yang lebih memilih pendekatan militer.

Netanyahu memberikan dukungan yang agak "dingin" atau setengah hati atas langkah tersebut. Dia menekankan bahwa kedua pemimpin sama-sama sepakat bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Dia menyatakan pula akan mendukung kesepakatan diplomatik — dengan syarat — yang mirip dengan kesepakatan Libya tahun 2003, di mana Libya menghancurkan fasilitas nuklirnya dan mengizinkan akses penuh bagi para inspeksi internasional. Hingga saat ini, masih belum jelas apakah Trump bersedia menetapkan syarat seketat itu dalam pembicaraan dengan Iran.

Menurut Nadav Eyal, pengumuman Trump yang disampaikan di hadapan Netanyahu itu dimaksudkan untuk menunjukkan keterbukaan antara kepemimpinan kedua negara.

2. Kebijakan Tarif

Ilustrasi kebijakan tarif Donald Trump
Ilustrasi kebijakan tarif Donald Trump. (Dok. Pixabay/viarami)... Selengkapnya

Sehari sebelum "Hari Pembebasan" yang diumumkan Trump, yang memicu penerapan tarif global minggu lalu, Israel mengumumkan secara preemptif bahwa mereka akan menghapus semua bea masuk untuk barang-barang AS. Namun, langkah ini tidak menghindarkan produk-produk Israel dari tarif sebesar 17 persen yang dikenakan oleh mitra dagang terbesar mereka.

Netanyahu kemudian ke Washington dengan tujuan untuk membela Israel dari kebijakan tarif Trump. Dia menjadi pemimpin internasional pertama yang melakukan hal ini, yang mungkin akan menjadi contoh bagi bagaimana pemimpin dunia lain menghadapi kebijakan tarif tersebut.

Meskipun memuji Netanyahu beberapa kali, Trump tetap teguh pada keputusan untuk tidak mengurangi beban tarif bagi Israel. Ketika ditanya apakah ada kemungkinan dia akan mengubah keputusan, Trump menjawab, "Mungkin tidak."

Dia menyinggung bantuan militer AS kepada Israel yang mencapai miliaran dolar setiap tahun—pendanaan yang dianggap sebagai pondasi hubungan AS-Israel dan jaminan bagi kepentingan AS di kawasan tersebut.

"Kami memberikan Israel USD 4 miliar setiap tahun. Itu jumlah yang banyak," katanya, seakan-akan menunjukkan bahwa Israel sudah cukup menerima bantuan dari AS, sambil mengucapkan selamat kepada Netanyahu atas 'pencapaian' itu.

3. Soal Turki dan Suriah

Pasukan Israel di Dataran Tinggi Golan dekat perbatasan dengan Suriah pada 7 Desember 2024.
Pasukan Israel di Dataran Tinggi Golan dekat perbatasan dengan Suriah pada 7 Desember 2024. (Jalaa Marey/AFP)... Selengkapnya

Sejak jatuhnya dinasti Assad di Suriah pada akhir tahun lalu, Israel dan Turki telah bersaing di Suriah demi kepentingan masing-masing.

Israel khawatir kepemimpinan baru Suriah, yang memiliki latar belakang Islamis, akan menjadi ancaman di sepanjang perbatasannya. Untuk itu, Israel telah mengambil alih zona penyangga di wilayah Suriah dan menyatakan akan tetap berada di sana hingga pengaturan keamanan baru tercapai.

Turki, yang kini menjadi pemain utama di Suriah, menimbulkan kekhawatiran di Israel tentang kemungkinan ekspansi kehadiran militer Turki di negara tersebut. Netanyahu mengatakan pada Selasa (8/4) bahwa pangkalan militer Turki di Suriah akan menjadi "ancaman bagi Israel".

Dulunya, Israel dan Turki adalah mitra regional yang kuat, namun hubungan keduanya semakin memburuk, terutama setelah perang di Jalur Gaza. Presiden Recep Tayyip Erdogan menjadi pengkritik utama perang tersebut, yang memicu reaksi keras dari pejabat Israel.

Netanyahu berharap mendapat dukungan dari sekutunya yang setia, Trump, terkait Turki yang kini semakin dipandang sebagai negara yang bermusuhan. Namun, Trump justru memuji Erdogan atas keberhasilannya "menguasai Suriah", memosisikan dirinya sebagai mediator yang mungkin antara kedua negara dan mendorong Netanyahu untuk lebih "bijak" dalam berurusan dengan Turki.

"Israel tidak diberi cek kosong di sini," kata Udi Sommer, seorang ahli hubungan AS-Israel di Universitas Tel Aviv. "Tidak ada cinta tanpa syarat di sini. Semua itu bersyarat, tergantung bagaimana Israel bersikap."

4. Perang di Jalur Gaza

Tak Peduli Kerusakan Masif, Israel Terus Bombardir Wilayah Gaza
Anak-anak berdiri di luar gedung keluarga Sabah yang terkena serangan udara Israel di Deir el-Balah, Jalur Gaza tengah pada 8 April 2025. (Eyad BABA/AFP)... Selengkapnya

Trump dan Netanyahu turut membahas perang di Jalur Gaza serta nasib para sandera Israel yang masih ditahan dalam pertemuan mereka. Namun, isu ini dinilai bukan menjadi fokus utama dalam pertemuan mereka karena tergeser oleh berbagai persoalan lainnya.

Netanyahu sendiri menyinggung penderitaan para sandera dan munculnya kemungkinan kesepakatan baru untuk membebaskan mereka. Dia menekankan pentingnya mengakhiri apa yang disebutnya sebagai "tirani jahat Hamas".

Sementara itu, Trump menyampaikan simpati terhadap para sandera dan kembali mengajukan rencananya untuk "menguasai" Jalur Gaza serta memindahkan penduduk Palestina dari wilayah tersebut—sebuah gagasan yang dulunya dianggap ekstrem dalam wacana politik Israel, namun kini mulai diterima oleh banyak politikus arus utama, termasuk Netanyahu sendiri.

Namun, perbedaan sikap antara keduanya disebut mulai terlihat.

Bulan lalu, Netanyahu membatalkan gencatan senjata dan kini berada di bawah tekanan besar dari sekutu-sekutu politiknya agar terus melanjutkan perang hingga Hamas benar-benar dihancurkan. Dia pun terlihat tidak terburu-buru mengakhiri konflik atau memulangkan para sandera yang tersisa.

Di sisi lain, Trump secara jelas menyatakan bahwa dia ingin melihat para sandera segera dibebaskan dan perang segera diakhiri.

"Dan saya pikir perang ini akan berhenti dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya