Presiden Ebrahim Raisi Dikonfirmasi Tewas dalam Kecelakaan Helikopter, Media Iran: Dia Menjadi Martir

Kecelakaan helikopter yang ditumpangi Presiden Ebrahim Raisi terjadi pada Minggu (19/5/2024).

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Mei 2024, 16:08 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2024, 12:41 WIB
Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi.
Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Teheran - Ebrahim Raisi, presiden kedelapan Iran, menjadi martir setelah sebuah helikopter yang membawanya dan rombongannya jatuh di wilayah Varzaqan, Provinsi Azerbaijan Timur pada hari Minggu (19/5/2024). Demikian pernyataan kantor berita Iran, IRNA, Senin (20/5).

Helikopter Raisi, bersama dua helikopter lainnya, sedang dalam perjalanan ke Kota Tabriz pada hari Minggu setelah dia meresmikan Bendungan Qiz Qalasi di perbatasan dengan Republik Azerbaijan pada hari yang sama.

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian; Gubernur Provinsi Azerbaijan Timur Malek Rahmati; kepala tim pengawal Raisi, Mehdi Mousavi; dan perwakilan pemimpin tertinggi di Provinsi Azerbaijan Timur Mohammad Ali Al-e-Hashem dilaporkan berada dalam helikopter yang sama.

Pejabat lokal yang hadir di lokasi kecelakaan turut mengonfirmasi kematian Raisi dan tim pendampingnya.

Pemerintah Iran akan segera mengeluarkan pernyataan resmi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Calon Kuat Penerus Khamenei

Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi.
Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi. (Dok. AP Photo/Vahid Salemi)

Presiden Raisi yang berusia 63 tahun telah lama dianggap sebagai penerus Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, otoritas tertinggi di Iran. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera.

Sosoknya yang dilabeli politikus garis keras dan konservatif secara agama, pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2017, namun gagal. Dia akhirnya terpilih pada tahun 2021.

Presiden Raisi mulai belajar di sekolah keagamaan Qom yang terkenal pada usia 15 tahun dan melanjutkan belajar di bawah bimbingan beberapa cendekiawan muslim pada saat itu.

Pada tahun 1983, dia menikah dengan Jamileh Alamolhoda, putri Imam Masyhad Ahmad Alamolhoda. Mereka dikaruniai dua anak perempuan.

Selama lima bulan pada tahun 1988, Raisi menjadi bagian dari sebuah komite yang mengawasi serangkaian eksekusi tahanan politik, sebuah masa lalu yang membuatnya tidak populer di kalangan oposisi Iran dan menyebabkan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadapnya. Pada tahun 1989, Raisi diangkat menjadi jaksa di Teheran setelah kematian Pemimpin Tertinggi pertama Iran Ayatullah Ruhollah Khomeini.

Raisi terus naik pangkat di bawah pengganti Khomeini, Ayatullah Khamenei, dan menjadi ketua Astan Quds Razavi, lembaga keagamaan terbesar di Masyhad, pada 7 Maret 2016, yang mengukuhkan statusnya dalam pemerintahan Iran.

Seorang kritikus terhadap kesepakatan nuklir tahun 2015 – yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – Raisi berasal dari blok yang lebih garis keras dibandingkan Hassan Rouhani (presiden Iran 2013-2021), yang dipandang sebagai seorang moderat dalam sistem politik Iran.

Pada saat itu, JCPOA berada dalam kondisi kacau setelah AS – di bawah kepemimpinan mantan Presiden Donald Trump – secara sepihak menarik diri dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran, sehingga berdampak buruk terhadap perekonomian Iran.

Pandemi COVID-19 memperburuk keadaan Iran, dengan angka kematian melebihi 97.000 pada Agustus 2021.

Kredensial Raisi di lembaga keagamaan dilaporkan sangat kuat, di mana dia menjalin hubungan yang solid dengan mendiang Khomeini serta dengan Khamenei, yang telah menunjuknya ke beberapa posisi senior.

Raisi disebut berhasil pula menjaga hubungan baik dengan semua cabang pemerintahan, militer, dan legislatif serta kelas penguasa teokratis yang kuat.


Sorotan atas Kepemimpinan Raisi

Iran pada 21 September 2022, di mana rakyat memprotes kematian Mahsa Amini.
Iran pada 21 September 2022, di mana rakyat memprotes kematian Mahsa Amini. Dok: AP Photo

Raisi telah memimpin Iran pada saat rakyat negara itu marah atas memburuknya standar hidup, sebagian karena sanksi dan apa yang dikatakan para kritikus sebagai prioritas pertahanan dibandingkan masalah-masalah dalam negeri.

Pada akhir tahun 2022, kemarahan publik meletus atas kematian Mahsa Amini. Polisi moral Iran menangkap perempuan berusia 22 tahun itu ketika dia meninggalkan stasiun metro di Teheran bersama anggota keluarganya atas dugaan ketidakpatuhan terhadap peraturan wajib jilbab.

Protes mengguncang Iran selama berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, di mana para perempuan melepas atau membakar jilbab dan memotong rambut mereka sebagai protes.

Menurut organisasi hak asasi manusia asing, unjuk rasa tersebut berakhir pada pertengahan tahun 2023 setelah sekitar 500 orang tewas ketika pasukan keamanan bergerak membubarkan protes tersebut. Tujuh orang dilaporkan dieksekusi karena peran mereka dalam aksi protes.

Misi pencari fakta PBB menyimpulkan pada bulan Maret 2024 bahwa Iran melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam tindakan keras membubarkan unjuk rasa, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan.

 


Eskalasi Konflik dengan Israel

Warga Iran Turun ke Jalan Dukung Serangan ke Israel
Garda Revolusi Iran mengonfirmasi pada 14 April 2024 bahwa serangan pesawat tak berawak dan rudal sedang berlangsung terhadap Israel. (ATTA KENARE/AFP)

Kepemimpinan Raisi juga ditandai dengan perselisihan yang memanas dengan Israel ketika kedua negara saling serang terkait perang di Jalur Gaza.

Iran terang-terangan mengutuk serangan brutal Israel terhadap warga sipil Palestina di wilayah itu. Pada awal April, gedung konsulat Iran di Damaskus, Suriah, diserang oleh Israel.

Peristiwa itu menewaskan tujuh orang termasuk seorang komandan utama dan wakilnya.

Selama hampir dua minggu sejak serangan tersebut, setiap ucapan Raisi diawasi dengan ketat sementara dunia menunggu respons Iran. Pada 15 April, Iran melancarkan serangan balasan yang menurut juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, melibatkan lebih dari 120 rudal balistik, 170 drone, dan lebih dari 30 rudal jelajah yang sebagian besar dicegat di luar perbatasan Israel.

Kerusakan kecil dilaporkan terjadi di beberapa wilayah Israel dan serangan tersebut membuahkan tanggapan yang tidak berarti.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya