Liputan6.com, Jakarta - Ratapan duka bergema di Majdal Shams, sebuah kota di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Ribuan pelayat memadati jalan-jalan sempit dan alun-alun, beberapa di antara mereka mengusung peti mati sederhana yang ditutupi kain kafan ke tempat peristirahatan terakhir pada Minggu (28/7/2024).
Pada Sabtu (27/7) sore, tepatnya sekitar pukul 18.18 waktu setempat, sebuah lapangan sepak bola di Majdal Shams dihantam sebuah roket. Tragedi itu membunuh 12 anak dan melukai 44 orang.
Advertisement
"Kami mendengar sirene (peringatan) dan serangan langsung terjadi. Rumah kami berguncang," ujar Tawfiq Sayed Ahmed, seorang agen asuransi di Majdal Shams, seperti dilansir The Guardian, Rabu (31/7).
Advertisement
Sontak Tawfiq langsung teringat ketiga putrinya, yang senang bermain di lapangan sepak bola, terutama pada sore akhir pekan saat lapangan ramai dikunjungi. Anak-anak itu, kata dia, telah dibagi menjadi beberapa tim untuk bertanding.
"Saya bergegas ke lapangan dan pemandangan yang saya lihat sungguh sulit dijelaskan; belum pernah saya saksikan seumur hidup saya. Jasad anak-anak terpotong-potong. Sungguh menakutkan, mengerikan," tutur Tawfiq.
Alma Ayman Fakher Eldin, putri dari salah satu teman Tawfiq, tewas dalam serangan itu.
"Dia hanya bermain di sana," kata Tawfiq tentang Alma, yang berusia 13 tahun. "Dia seperti bidadari, secantik sinar matahari. Apa yang telah dilakukannya hingga pantas menerima kematian yang begitu mengerikan?"
Seantero Majdal Shams, sebut Tawfiq, dalam keadaan sangat terkejut.
"Tidak seorang pun dapat memahami apa yang telah terjadi. Kami belum pernah melihat yang seperti ini," ungkap dia.
"Kami tidak ingin tragedi seperti ini terjadi pada anak-anak, tidak di sini di utara, di selatan, di Gaza atau di mana pun. Kami tidak ingin seorang anak pun terbunuh. Sudahi membunuh anak-anak."
Bocah laki-laki usia 11 tahun Gevara Ebraheem merupakan salah satu korban tewas. Menurut harian Haaretz, pada 15 Oktober 2023, beberapa hari setelah perang di Jalur Gaza Meletus dia menulis di akun Facebook-nya, "Kami tidak ingin perang, kami ingin hidup dalam damai."
Semula, Ebraheem dianggap hilang selama sekitar 24 jam. Seorang kerabatnya menuturkan pada Channel 12 bahwa pihak keluarga sempat diberitahu Ebraheem dibawa ke Pusat Medis Ziv di Safed, namun ternyata informasi itu tidak benar.
The Times of Israel melaporkan misteri seputar keberadaan Ebraheem diperparah oleh fakta bahwa kamera di lapangan sepak bola musnah dalam ledakan. Beberapa menduga tubuh kecil Ebraheem pun hancur, sehingga sulit diidentifikasi.
"Roket itu mungkin mengenainya secara langsung," kata seorang anggota dewan setempat kepada Ynet. "Instruktur sepak bola memastikan bahwa dia bersama seluruh kelompok anak-anak yang terkena ledakan."
Adapun 12 anak yang tewas dalam tragedi di Majdal Shams antara lain Ameer Rabeea Abu Saleh (16); Iseel Nasha’at Ayoub (12); Hazem Akram Abu Saleh (15); Milad Muadad Alsha’ar (10); Alma Ayman Fakher Eldin (11); Naji Taher Alhalabi (11); Johnny Wadeea Ibrahim (13); Yazan Nayeif Abu Saleh (12); Fajer Laith Abu Saleh (16); Vinees Adham Alsafadi (11); Nathem Fakher Saeb (16); dan Gevara Ebraheem (11).
Dari 11 korban tewas yang dimakamkan pada Minggu, 10 di antaranya dikebumikan di lereng selatan Gunung Hermon dan satu lainnya di dekat Ein Qiniyye.
Kota Majdal Shams sendiri dihuni oleh kelompok etnis dan agama berbahasa Arab, Druze, serta terletak di bagian daerah pegunungan yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Enam Hari tahun 1967 dan kemudian dianeksasi pada tahun 1981. Israel telah menawarkan orang-orang Druze kewarganegaraan, namun mayoritas menolak.
Dan tidak seorang pun korban tewas dalam serangan roket adalah warga negara Israel.
Penduduk Majdal Shams disebut sudah terbiasa dengan kesedihan. Kota itu dikenal dengan bukit terpencilnya, yang biasa dijadikan tempat berteriak oleh mereka yang merindukan anggota keluarganya di Suriah, di seberang lembah.
Â
Tuduhan Israel dan Bantahan Hizbullah
Pada hari yang sama saat serangan terjadi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tanpa basa-basi langsung menyalahkan Hizbullah.
"Hizbullah akan membayar dengan harga yang sangat mahal, yang belum pernah dibayarnya hingga saat ini," kata Netanyahu, seperti dilansir The Times of Israel.
Tidak mau kalah, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant turut mengancam akan memberikan respons kuat.
"Hizbullah bertanggung jawab atas ini dan mereka akan membayar harganya," tutur Gallant.
Menurut juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Daniel Hagari serangan dilakukan oleh roket Falaq-1 buatan Iran dengan hulu ledak seberat 45 kg dan hanya Hizbullah yang memiliki roket semacam itu di Lebanon.
Kemudian pada Minggu malam, Israel mengaku pesawat tempurnya melakukan serangan udara terhadap serangkaian target Hizbullah jauh di dalam wilayah Lebanon dan di sepanjang perbatasan. Tidak disebutkan jumlah korban akibat serangan tersebut.
Dalam perkembangannya, Kabinet Keamanan Israel pada hari Minggu memberi wewenang kepada Netanyahu dan Gallant untuk memutuskan "cara dan waktu" merespons serangan roket ke Majdal Shams.
Pada Selasa (30/7), militer Israel mengaku menyerang 10 target Hizbullah di tujuh area berbeda di Lebanon selatan dan menewaskan satu anggota kelompok itu. Hari yang sama, militer Israel menuturkan pula bahwa serangan dari Lebanon menewaskan satu warga sipil.
Di lain sisi, Hizbullah tegas membantah berada di balik serangan roket.
"Perlawanan Islam di Lebanon dengan tegas membantah tuduhan yang dilaporkan oleh beberapa media Israel dan berbagai platform media lainnya tentang penargetan wilayah Majdal Shams. Hizbullah menegaskan bahwa kami tidak memiliki hubungan apa pun dengan insiden tersebut dan dengan tegas membantah semua klaim palsu dalam hal ini," demikian pernyataan yang dikeluarkan Hizbullah pada Sabtu malam, seperti dikutip dari Mehr News.
Seperti dikutip dari Axios, pejabat Hizbullah mengaku kepada PBB bahwa apa yang terjadi pada Sabtu disebabkan oleh rudal pencegat Israel. Namun, IDF membantahnya.
Advertisement
Potensi Perang Terbuka Israel Vs Hizbullah?
Eskalasi yang terjadi, serta merta memicu kekhawatiran akan pecahnya perang baru di Timur Tengah. Israel versus Hizbullah. Namun, seberapa besar kemungkinan itu terjadi?
"Kendati kecil, potensi perang skala penuh Hizbullah-Israel tetap terbuka. Kecilnya kemungkinan itu berdasarkan fakta bahwa Israel dan Hizbullah tidak ingin hal ini terjadi. Juga komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat (AS), sekutu Barat, dan negara-negara di kawasan, termasuk Iran yang merupakan pendukung utama Hizbullah. Pasalnya, kalau itu terjadi seluruh Timur Tengah dapat terseret ke dalam perang regional menyeluruh yang sulit dikontrol dan diprediksi," demikian pandangan Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar saat dihubungi Liputan6.com.
Soal bantahan keterlibatan Hizbullah, Smith menyatakan Hizbullah tidak punya kepentingan menyerang anak-anak yang sedang bermain bola.
"Terlebih, yang menjadi korban bukan warga negara Israel melainkan kaum Druze, komunitas etnoreligius keturunan Arab, yang masih sebagai warga negara Suriah," jelas Smith.
"Sangat mungkin apa yang dilaporkan Hizbullah ke PBB benar adanya. Pasalnya, selama perang terbatas Israel-Hizbullah yang dimulai pada 8 Oktober 2023, pola Hizbullah kerap menyerang instalasi militer Israel di Golan. Mungkin saja kengototan Israel bahwa itu rudal Hizbullah buatan Iran merupakan pengalihan isu untuk menarik dukungan AS dan Barat ke pihak Israel, yang sekarang makin terisolasi dari dunia internasional akibat kejahatan perangnya di Gaza."
Sementara itu, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, "Saya belum melihat adanya potensi ekskalasi ke perang terbuka meskipun riak-riak secara bertahap dan terbatas sudah muncul sejak serangan Israel ke Gaza. Potensi ekskalasi terhadap perang terbuka lebih besar jika sudah ada bentuk serangan yang masuk ke wilayah kedaulatan atau serangan darat dan bukan roket."
Agung menekankan bahwa wilayah Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah sengketa, sehingga penyelesaiannya tidak cukup diserahkan ke Hizbullah ataupun Israel.
"Adanya tim pencari fakta diperlukan untuk mendapatkan kejelasan. Peran PBB diperlukan khususnya keberadaan UNIFIL," sebut Agung.
Dalam pernyataannya di X, Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bou Habib telah menyerukan penyelidikan internasional atau pertemuan komite tripartit yang diadakan melalui UNIFIL untuk mengetahui kebenaran tentang siapa yang bertanggung jawab atas serangan di Majdal Shams.
Bou Habib juga memperingatkan terhadap pembalasan besar-besaran Israel, yang dia garis bawahi hal itu dapat menyebabkan perang regional.
Â
Israel Vs Hizbullah, Siapa Kuat?
Smith meyakini bahwa sekalipun terjadi serangan balasan oleh Israel maka sifatnya akan terbatas.
"Saat ini militer Israel tidak siap untuk membuka front baru menghadapi Hizbullah. IDF telah jenuh dengan perang yang sangat berat di Gaza, yang menguras sumber daya ekonomi, politik, dan militer Israel. Di pihak lain, AS dan Barat tidak mendukung perang baru Israel dengan Hizbullah," tegas Smith.
AS sejauh ini memang menyuarakan kekhawatirannya tentang perang terbuka Israel Vs Hizbullah.
"Tidak seorang pun menginginkan perang yang lebih luas dan saya yakin bahwa kita akan dapat menghindarinya," ujar juru bicara Dewan Keamanan Gedung Putih John Kirby pada Senin seperti dilansir Anadolu.
"Kami melanjutkan pembicaraan diplomatik (via Lebanon) dengan kedua belah pihak dan akan mencoba meredakan ketegangan."
Agung melontarkan keyakinan serupa dengan Smith.
"Serangan akan dilakukan secara terbatas dan tidak dalam skala penuh karena front utama perang bagi Israel masih di Gaza," ujarnya.
Lantas, apakah Israel dan Hizbullah adalah lawan sepadan?
"Meskipun Israel jauh lebih kuat daripada Hizbullah, perlu digarisbawahi bahwa Hizbullah jauh lebih kuat daripada Hamas, baik dari sisi persenjataan maupun personel militer. Pada tahun 2006, Israel-Hizbullah terlibat perang besar. Perang 34 hari itu berakhir dengan gencatan senjata tanpa pemenang. Israel harus kehilangan 130-an tank Merkava, tank yang disebut-sebut sebagai yang terhebat di dunia," kata Smith.
"Saat ini, persenjataan Hizbullah lebih beragam, banyak, dan canggih, ketimbang tahun 2006. Demikian juga personel militernya. Ini juga yang menjelaskan mengapa Israel enggan melancarkan perang skala penuh ke Lebanon yang bisa jadi berbahaya bagi eksistensi Israel. Perlu ditambahkan bahwa sejak pecah perang saudara di Suriah pada tahun 2011, Hizbullah ikut membantu rezim Bashar al-Assad menghadapi pemberontak. Keterlibatan perang panjang di Suriah menambah pengalaman, keterampilan, dan ilmu perang Hizbullah. Israel harus berhitung seribu kali untuk membuka front denga Hizbullah saat kekuatan IDF telah tergerus di Gaza."
Pandangan selaras disampaikan Agung.
"Jika perang terbuka terjadi, tentu repetisi terhadap Perang Lebanon 2006. Kekuatannya tidak sepenuhnya sepadan. Namun, jika dibandingkan dengan Hamas, kemampuan Hizbullah jauh lebih besar," kata Agung.
Advertisement