Putra Mahkota Arab Saudi Dituduh Palsukan Tanda Tangan Raja Salman pada Dekrit Perang Yaman

Arab Saudi bergeming atas tuduhan tersebut.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Agu 2024, 08:16 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2024, 08:16 WIB
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman atau kerap dikenal pula dengan sebutan MBS. (Dok. AP Photo/Cliff Owen)

Liputan6.com, Ottawa - Seorang mantan pejabat Arab Saudi menuduh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) memalsukan tanda tangan ayahnya pada dekrit kerajaan yang menandai perang melawan pemberontak Houthi di Yaman.

Arab Saudi tidak menanggapi pertanyaan atas tuduhan yang dibuat tanpa bukti pendukung oleh Saad al-Jabri, mantan kepala staf mantan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Nayef, dalam wawancara dengan BBC yang pertama kali diterbitkan pada hari Senin (19/8/2024).

Al-Jabri mengulang tuduhannya dalam pernyataan kepada kantor berita The Associated Press (AP).

Kerajaan Arab Saudi menggambarkan al-Jabri sebagai mantan pejabat yang tidak dapat dipercaya. Al-Jabri, seorang mantan mayor jenderal dan pejabat intelijen yang tinggal di pengasingan di Kanada, telah lama berselisih dengan kerajaan saat kedua anaknya dipenjara atas kasus pencucian uang.

Dia menggambarkan penahanan kedua buah hatinya sebagai upaya untuk membuatnya kembali ke Arab Saudi. 

"Saya bukan seorang pembangkang, saya juga tidak menempatkan diri saya dalam situasi ini karena pilihan," kata al-Jabri seperti dikutip dari AP, Rabu (21/8). "Saya adalah pejabat tinggi Arab Saudi yang mengabdikan dirinya untuk menjaga negaranya, dikenal karena menyelamatkan ribuan nyawa warga Arab Saudi dan Barat. Sekarang saya adalah seorang ayah yang melakukan segala yang mungkin untuk mengamankan pembebasan anak-anaknya."

Tuduhannya muncul saat MBS menjabat sebagai pemimpin de facto Arab Saudi, di mana dia sering bertemu dengan para pemimpin dunia untuk menggantikan ayahnya, Raja Salman, yang berusia 88 tahun.

Perilaku tegas MBS, terutama masa awal kenaikannya ke tampuk kekuasaan sekitar awal perang Yaman pada tahun 2015, telah meluas ke tindakan keras yang lebih luas terhadap setiap perbedaan pendapat atau basis kekuatan yang dianggap dapat menantang kekuasaannya.

Kepada BBC, al-Jabri mengatakan bahwa seorang pejabat kredibel dan dapat diandalkan yang terkait dengan Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengonfirmasi kepadanya bahwa MBS memalsukan tanda tangan Raja Salman di dekrit yang menyatakan perang di Yaman. MBS adalah menteri pertahanan saat itu.

Sementara itu, kepada AP al-Jabri mengisahkan bahwa dia telah mencapai kesepakatan dengan sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Barack Obama saat itu agar Arab Saudi meluncurkan serangan udara untuk melenyapkan ancaman Houthi, membangun pencegahan, dan mendorong proses politik tanpa intervensi darat.

Pangeran Mohammed bin Nayef yang juga menjabat sebagai menteri dalam negeri Arab Saudi saat itu lantas memimpin pertemuan di Arab Saudi untuk meresmikan rencana tersebut. Namun, klaim al-Jabri, MBS meresponsnya dengan tidak senang dan mengatakan dia dapat mengalahkan Houthi dalam dua bulan dengan serangan darat.

"Anehnya, perintah kerajaan kemudian dikeluarkan, mengesampingkan rencana yang disepakati dan mengesahkan operasi darat — tanpa sepengetahuan raja dan dengan tanda tangan palsu," kata al-Jabri kepada AP.

Kementerian Luar Negeri AS menolak mengomentari klaim al-Jabri.

Al Jabri: MBS Ingin Saya Mati

Anak-anak di Yaman yang dilanda perang mengantre untuk mendapatkan air, bukan sekolah
Penderitaan remaja tersebut merupakan hal yang umum terjadi di Yaman, yang telah menduduki peringkat teratas di antara negara-negara yang mengalami kekurangan air di dunia bahkan sebelum konflik meletus pada tahun 2015. (AHMAD AL-BASHA / AFP)

Perang melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran, yang diluncurkan dengan janji publik oleh MBS bahwa perang akan berakhir dengan cepat, telah berlangsung selama hampir satu dekade. Perang Yaman telah menewaskan lebih dari 150.000 orang dan menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.

Adapun Raja Salman menempatkan MBS sebagai putra mahkota menggantikan Mohammed bin Nayef pada tahun 2017. Pangeran Mohammed bin Nayef, yang "disingkirkan" hingga kini tidak pernah lagi terlihat di muka publik.

Al-Jabri menggugat MBS di pengadilan federal AS, menuduh sang putra mahkota berusaha membunuhnya setelah dia melarikan diri ke luar negeri.

"Dia merencanakan pembunuhan saya," kata al-Jabri kepada BBC.

"Dia tidak akan berhenti sampai dia melihat saya mati. Saya tidak meragukannya."

Al-Jabri menggambarkan ketakutannya bahwa MBS masih menginginkannya dibunuh sementara anak-anaknya, Sarah dan Omar, dipenjara di Arab Saudi.

"Berdiam diri hanya memperburuk keadaan, jadi saya tidak punya pilihan selain berbicara demi kesejahteraan anak-anak saya dan negara saya," kata al-Jabri kepada AP.

"Putra Mahkota Mohammed bin Salman memulai perseteruan yang tidak perlu ini dan memiliki kekuatan untuk mengakhirinya seketika."

Melansir BBC, Arab Saudi telah meminta Interpol mengekstradisi al-Jabri dari Kanada, namun upaya itu belum berhasil.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya