Liputan6.com, Jakarta - Mata Sahara atau dikenal juga sebagai Struktur Richat merupakan salah satu fenomena alam yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Mata Sahara adalah sebuah struktur geologis untuk berbentuk melingkar dengan diameter 40 kilometer, yang disebut seperti kubah.
Struktur ini terletak di Dataran Tinggi Adrar, Mauritania, bagian barat laut benua Afrika. Melansir laman Space pada Selasa (24/09/2024) mata Sahara pertama kali diabadikan dari luar angkasa melalui wahana Apollo 9 pada 10 Maret 1969 atau 54 tahun silam.
Namun, diakui oleh para ilmuwan bahwa keindahannya tetap memukau mata hingga saat ini. Termasuk juga bagi para angkasawan yang berkesempatan menyaksikannya dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Advertisement
Baca Juga
Fenomena Mata Sahara dengan struktur melingkar berdiameter 40 km ini diduga terbentuk sejak 98 juta tahun lalu berdasarkan penanggalan Argon. Penanggalan Argon merupakan salah satu penanggalan geologis yang berdasarkan peluruhan kadar Argon di dalam batuan.
Hal ini artinya, misteri Mata Sahara sudah muncul sejak periode Kapur (cretaceous) akhir. Ketika benua besar Pangea terpisah menjadi benua yang ada seperti saat ini, kecuali India yang belum menyatu dengan Asia dan Australia yang masih menyatu dengan Antartika.
Fenomena Mata Sahara ini juga sempat disebut-sebut terbentuk dari hasil jatuhnya asteorid ke permukaan bumi. Namun, dengan keunikan yang luar biasa itu membuat para ilmuwan tertarik mencari tahu lebih lanjut hingga ditemukan beberapa teori terkait terbentuknya Mata Sahara ini.
Berdasarkan hasil penelitian Guillaume Matton pada 2005 dan 2008 mengonfirmasi kesimpulan pada penelitian terdahulu bahwa selama dekade 1950-an hingga 1960-an, struktur Mata Sahara ini bukan merupakan bekas tabrakan meteorit. Penelitian ini juga menunjukkan, Mata Sahara tidak terbentuk dari deformasi atau perubahan bentuk muka bumi yang berasal dari benda luar yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, dan menabrak permukaan bumi.
Tabrakan Meteorit
Pada dasarnya ada ciri khas atau indikator terjadinya tabrakan meteorit ke permukaan Bumi, yaitu adanya mineral koesit (silisium oksida). Pada lokasi di mana Mata Sahara ini berada awalnya dilaporkan adanya sampel kandungan mineral koesit pada batuan dari Mata Sahara ini.
Akan tetapi, ternyata dalam penelitian lebih lanjut sampel batuan tersebut mengandung mineral barit (barium sulfat) yang salah identifikasi sebagai koesit. Sebuah makalah ilmiah yang terbit di Journal of African Earth Sciences pada 2014 menyebutkan penemuan batuan vulkanik di formasi Mata Sahara menunjukkan bukti batuan cair yang didorong ke permukaan, menyebabkan bentuk kubah, sebelum akhirnya terkikis menjadi cincin yang terlihat saat ini.
Jurnal itu juga menyebutkan pemisahan benua super Pangea kemungkinan berperan dalam formasi vulkanik dan pergeseran tektonik ini. Struktur Mata Sahara sendiri terdiri dari campuran batuan sedimen dan batuan beku.
Erosi di seluruh permukaan struktur mengungkapkan batuan riolit halus dan gabro kristal kasar yang telah mengalami perubahan hidrotermal. Jenis batuan yang ditemukan di seluruh cincin terkikis dengan kecepatan berbeda, menciptakan pola warna berbeda di seluruh permukaan.
Fragmen besar batuan sedimen bersudut tajam yang disebut megabreccia menambah ketidakteraturan warna-warni yang berputar-putar yang membentuk formasi. Sementara itu, pusat kubah berisi paparan batu kapur-dolomit dengan breksi selebar satu kilometer, tanggul cincin, dan batuan vulkanik alkali.
Struktur geologis yang kompleks dari Mata Sahara ini telah membingungkan dan menarik perhatian para ahli geologi sejak ditemukan. Mata Sahara masih dianggap sebagai salah satu fitur geologis yang paling mengesankan di dunia.
Advertisement
Warisan Geologi
Mata Sahara menjadi salah satu dari 100 situs warisan geologi pertama yang diakui oleh International Union of Geological Science (IUGS) per 2022. Sayangnya, Mata Sahara yang memiliki struktur unik ini telah menghilang saat ini.
Kubah pada Mata Sahara saat ini sudah lenyap akibat terkikis oleh angin dan air. Proses ini disebut juga sebagai alterasi hidrotermal, sehingga hanya menyisakan lapisan batuan yang rata.
Ketika era Pleistosen hingga pertengahan Holosen yakni sekitar 15000 hingga 8000 tahun lalu, lipatan pada lapisan ini membentuk kedalaman antara 3-4 meter sebelum akhirnya terkikis. Bagian tengah Mata Sahara merupakan lapisan tertua dikarenakan magma telah naik lebih dahulu kemudian mengeras.
Sedangkan, semakin ke tepi, lapisan tersebut semakin berumur muda. Tempat yang mendapatkan julukan mata Afrika ini juga pernah disebut-sebut sebagai lokasi Atlantis yang telah hilang.
Namun, selama ini belum ada bukti-bukti yang kuat untuk mengungkapkan fakta Mata Sahara sebagai lokasi Atlantis ini.
(Tifani)