Liputan6.com, Jakarta - Otoritas kesehatan Jalur Gaza pada Senin, 7 Oktober 2024, menyatakan sedikitnya 41.909 orang tewas dan 97.303 lainnya terluka akibat serangan Israel ke wilayah kantong itu sejak 7 Oktober 2023.
Agresi Israel memang merupakan balasan atas serangan kelompok militan Palestina yang dipimpin Hamas pada hari yang sama, yang diklaim Israel menewaskan 1.189 orang, melukai 7.500 orang, dan menyandera 251 lainnya. Serangan Hamas Cs itu tercatat sebagai sebagai hari paling mematikan bagi Israel.
Baca Juga
Angka-angka tersebut jelas menggambarkan kehancuran dalam skala tidak terbayangkan sekaligus menoreh tanya, benarkah bencana bermula pada 7 Oktober 2023?
Advertisement
Apa yang terjadi pada November 2022 ikut berperan besar dalam eskalasi konflik Israel dan Palestina saat ini, yaitu berkuasanya koalisi nasionalis Yahudi yang dipimpin Benjamin Netanyahu dengan Partai Likud-nya. Peristiwa itu sontak membentuk pemerintahan "paling kanan" dalam sejarah Israel, di mana sejumlah kursi kabinet Netanyahu diisi oleh sosok beraliran ultranasionalis seperti Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.
Pada 26 Februari 2023, pemukim Yahudi melakukan sedikitnya 300 serangan, termasuk penembakan dan pembakaran terhadap desa-desa Palestina di Nablus, Tepi Barat yang diduduki. Seorang pria Palestina tewas ditembak dan sedikitnya 390 lainnya terluka akibat kekerasan para pemukim Yahudi, yang dilindungi militer Israel.
Perilaku barbar pemukim Yahudi terjadi setelah otoritas Israel menyatakan seorang pria Palestina menembak mati dua warga Israel saat mereka berkendara melintasi Desa Huwara. Situasi yang sudah panas disirami bensin oleh Smotrich, yang pada 1 Maret 2023 menyatakan dukungannya terhadap penghapusan Desa Huwara. Adapun Ben-Gvir menunjukkan pembelaannya terhadap pemukim Yahudi yang melakukan penyerangan
Juni 2023, pemerintah Israel memutuskan mempercepat prosedur birokrasi yang diperlukan untuk membangun lebih dari 4.500 unit perumahan di Tepi Barat, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pada 28 Juni 2023, pemukim Yahudi dengan pengawalan militer menyerang warga Palestina di Tepi Barat dan menyerbu Kompleks Masjid Al-Aqsa setelah salat Iduladha.
Pada 3-5 Juli 2023, Israel melancarkan operasi militer berskala terbesar dalam lebih dari 20 tahun ke Kota Jenin di Tepi Barat, menewaskan 12 orang dan melukai sekitar 100 lainnya. Menurut laporan Reuters, mayoritas korban tewas adalah anggota kelompok militan.
Melampaui peristiwa-peristiwa yang telah disebutkan di atas dan banyak lainnya, Israel telah memblokade Jalur Gaza selama lebih dari 17 tahun. Blokade ilegal Israel membatasi pergerakan orang dan barang, menjadi penyebab utama krisis sosial-ekonomi dan psikososial.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mencatat bahwa blokade mengikis ketahanan yang masih dimiliki warga Jalur Gaza. Menurut PBB, blokade Israel telah membuat 80 persen penduduk Jalur Gaza bergantung pada bantuan internasional.
Lantas, tidak bisakah PBB selaku organisasi internasional yang didirikan untuk mencegah perang menghentikan kekejian Israel terhadap Palestina?
"Pada prinsipnya, perang di Jalur Gaza bisa dihentikan asal di Dewan Keamanan (DK) PBB tidak ada negara yang memveto resolusi yang menghentikan perang. Kuncinya adalah di Amerika Serikat (AS). Jika AS tidak berubah sikapnya, mendukung Israel, maka sulit membayangkan perang bisa dihentikan," demikian penjelasan mantan Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Austria dan PBB di Wina 2017-2021 Darmansjah Djumala kepada Liputan6.com, Selasa (8/10).
"Namun, ada satu harapan, yaitu jika desakan internasional sudah begitu kuat dan salah satu capres AS ingin menjaga popularitas berusaha menekan pemerintah AS saat ini untuk tidak memveto resolusi PBB, sehingga gencatan senjata bisa dilakukan."
Belakangan, seruan reformasi PBB kembali menguat lantaran dinilai tidak efektif dalam penyelesaian konflik. Di antara pemimpin dan tokoh yang menggaungkan isu ini adalah Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi.
"Kita memerlukan tata kelola global yang lebih adaptif, responsif, dan efektif, termasuk dengan mereformasi DK PBB dan arsitektur keuangan internasional ... Reformasi yang mendengarkan suara negara-negara berkembang dan merespons kekhawatiran mereka," tutur Menlu Retno di hadapan forum Summit of The Future pada Sidang ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Senin (23/9).
Terkait reformasi PBB, Darmansjah menuturkan bahwa hal ini erat sekali kaitannya dengan konstelasi politik dan sistem voting di DK PBB.
"Selagi masih ada hak veto dalam DK PBB, sulit sekali mengharapkan lima negara pemegang veto untuk setuju lakukan reformasi," kata Darmansjah.
Resolusi DK PBB Mengikat tapi Tidak Efektif
DK PBB sendiri memiliki peran sangat penting karena dapat melahirkan resolusi yang mengikat (legally binding). Resolusi DK PBB baru dinyatakan lolos bila mendapat dukungan sembilan dari 15 anggota DK PBB tanpa veto dari anggota tetap, yakni AS, Inggris, Prancis, China, dan Rusia.
Secara teori, bila tidak mematuhi resolusi DK PBB maka dapat dijatuhkan sanksi. Namun, dengan sokongan AS, sanksi terhadap Israel juga sulit diterapkan.
Sejak 7 Oktober 2023, DK PBB telah mengeluarkan empat resolusi terkait eskalasi di Jalur Gaza, yaitu:
- 15 November: Resolusi 2712 menyerukan pembebasan segera semua sandera dan koridor kemanusiaan yang mendesak serta diperluas di Jalur Gaza. Rusia, Inggris, dan AS abstain dalam resolusi ini.
- 22 Desember: Resolusi 2720 menuntut peningkatan bantuan kemanusiaan. Rusia dan AS abstain.
- 25 Maret: Resolusi 2728 menuntut gencatan senjata segera selama Ramadan dan pembebasan segera para sandera. AS abstain dan mengatakan bahwa meskipun resolusi ini harus dilaksanakan, namun tidak mengikat. Adapun Inggris menegaskan resolusi mengikat dan harus segera dilaksanakan.
- 10 Juni: Resolusi 2735 menyerukan Hamas untuk menerima usulan kesepakatan tiga fase terkait pembebasan sandera dan gencatan senjata, yang menurut AS telah diterima Israel. Usulan ini diajukan oleh AS. Rusia memilih abstain.
Israel mengkritik resolusi-resolusi tersebut dan berpendapat bahwa resolusi yang disahkan pada bulan Maret memberikan Hamas harapan bahwa DK PBB akan memungkinkan gencatan senjata tanpa pembebasan sandera.
Mengutip Reuters, Hamas menyetujui kesepakatan yang disodorkan AS, sementara seorang pejabat Israel menegaskan itu tidak dapat diterima karena persyaratannya telah "dilunakkan".
Negosiasi yang dimediasi oleh AS bersama Qatar dan Mesir pun masih buntu hingga saat ini.
Advertisement
Perang Gaza dan Ambisi Netanyahu
Sikap Israel yang terus mengulur-ulur waktu dan menghindari terikat dalam kesepakatan memunculkan tanya, apakah pembebasan sandera masih menjadi fokus pemerintahan Netanyahu mengingat saat ini Israel juga disibukkan dengan perang melawan Hizbullah di Lebanon?
"Netanyahu ditekan oleh partai koalisi pimpinan Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich untuk tidak deal dengan Hamas sampai kelompok itu menyerah dan sandera dibebaskan. Memang kalau kesepakatan dicapai dengan Hamas maka pemerintahan Netanyahu akan bubar dan karier politiknya berakhir di penjara," kata penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar kepada Liputan6.com, Selasa.
Pernyataan Smith merujuk pada sejumlah kasus hukum termasuk penipuan dan pelanggaran kepercayaan yang menyandera Netanyahu. Proses hukum terkait kasus-kasus tersebut mengalami penundaan menyusul pecahnya perang di Jalur Gaza.
"Memang sebagian masyarakat Israel menekan Netanyahu untuk secepatnya deal dengan Hamas demi pembebasan sandera. Tapi warga yang mendukung pemerintahan Netanyahu lebih besar lagi. Terpecahnya masyarakat Israel saat mereka menghadapi musuh eksternal justru menguntungkan Netanyahu dalam mempertahankan kekuasaan," beber Smith.
Senada dengan Smith, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo menilai perang di Jalur Gaza berorientasi personal.
"Netanyahu tetap berusaha keras untuk bertahan sebagai pemimpin Israel. Menarik mundur pasukan itu pertanda kalah dalam perang. Netanyahu seperti tidak ingin bernasib sama seperti yang dilakukan PM Israel Ehud Olmert yang menarik mundur pasukan dari Jalur Gaza pada Operasi Cast Lead tahun 2008-2009," ungkap Agung saat dihubungi Liputan6.com.
"Pamor 'kalah' ini dianggap akan menjadi blunder Netanyahu yang secara karier politik akan selesai, sehingga apa yang dilakukan Israel adalah memperpanjang dan memperluas konflik/perang."
Pakar Timur Tengah lainnya, Yon Machmudi, mengatakan kepada Liputan6.com, "Apabila Netanyahu menarik pasukannya maka tentu dianggap dia telah kalah dalam peperangan dan kemenangan ada di tangan Hamas. Ini jelas tidak diinginkan Netanyahu karena dengan begitu kariernya akan selesai."
"Cara terbaik adalah memperluas front ke Lebanon dan juga ke Iran dengan harapan akan mendapatkan dukungan yang penuh dari AS karena Israel menganggap Iran dan Hizbullah itu kan musuh utama AS. Namun, realitanya AS hanya akan membantu dalam hal pertahanan keamanan Israel dan tidak membantu dari sisi serangan ke Iran maupun juga ke Lebanon."
AS Tidak Lagi Powerful?
Semakin ke sini Israel semakin menggila, mengabaikan seruan sekutu utamanya, AS, untuk menahan diri, baik di Jalur Gaza maupun di Lebanon. Sikap Israel tersebut sekaligus mempertontonkan melemahnya pengaruh AS.
"AS dalam hal ini terbelenggu dengan kuatnya lobi zionis di dalam negerinya. Pengaruh kuat ini menjadi salah satu faktor yang mendorong AS selalu konsisten berikan dukungan terhadap apa yang dilakukan Israel. Di titik ini, kita makin melihat standar ganda yang dilakukan oleh AS dalam isu Palestina padahal ada gelombang dukungan yang juga luar biasa terhadap nilai kemanusiaan dan dukungan terhadap bangsa Palestina di dalam negeri AS," tutur Agung.
Smith memiliki pandangan serupa dengan mengatakan, "Biden tidak bisa menyakiti Netanyahu karena terkait dengan Pilpres AS 5 November, mengingat lobi Yahudi dan komunitas pro-Israel sangat strategis."
Yon menambahkan, "Kita lihat sebagian besar yang disampaikan oleh AS melalui Biden ke Netanyahu itu kan tidak dilaksanakan dan dia terus berperang di Gaza termasuk juga semakin banyak mengorbankan rakyat sipil."
"Dengan semakin banyak front yang dihadapi oleh Israel, saya kira ini akan memperlemah posisi Israel. Ditambah lagi dukungan dari AS juga tidak cukup kuat. Bantuan keuangan dan persenjataan juga tidak seperti diawal-awal karena negara-negara industri senjata pada akhirnya mulai berpikir untuk tidak menggunakan senjata-senjata mereka dalam membunuh masyarakat sipil."
Advertisement
Perang di Gaza Sampai Kapan?
Hamas kini berada di bawah kepemimpinan Yahya Sinwar setelah Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran, Iran, pada 31 Juli. Dengan serangan Israel yang telah meluluhlantakkan Jalur Gaza dan menewaskan sejumlah tokoh seniornya, apakah Hamas tengah goyah?
Smith menilai bahwa memang kemampuan Hamas menurun.
"Namun, Hamas tidak mati dan tidak akan mati karena itu adalah ideologi. Bisa juga Hamas sedang menghemat amunisi demi perang panjang dengan Israel," tutur Smith.
Agung mengatakan bahwa gebrakan besar memang belum terlihat dari Hamas pada masa Sinwar.
"Namun, kita juga melihat bahwa Hamas masih ada dengan kemampuan kelompok ini untuk bertahan dalam pertempuran," ujarnya.
Smith menggarisbawahi bahwa Hamas juga melakukan kejahatan perang ketika menerobos teritorial Israel dalam serangannya pada 7 Oktober 2023.
"Bagaimanapun, perlu diingat serangan Hamas tidak terjadi dalam ruang hampa. Sekitar 73 persen populasi Jalur Gaza adalah pengungsi dan keturunannya yang terusir dari kampung halaman mereka di Israel, yang dikenal sebagai peristiwa 'Nakba' atau 'malapetaka' ketika Israel berdiri pada 1948. Lalu, sejak itu, Palestina hidup di bawah represi Israel berdasarkan sistem apartheid," beber Smith.
"Sesuai semangat Piagam PBB, pihak terjajah berhak mengangkat senjata atau instrumen apapun untuk membebaskan diri dari penjajah. Dengan kata lain, lepas dari kita suka atau tidak, perjuangan bersenjata Hamas untuk melawan Israel sah secara hukum. Apalagi, dengan senjata seadanya, Hamas harus melawan negara dengan kekuatan militer terbesar di Timur Tengah. Belum lagi dia (Israel) dilindungi AS dan Barat."
"Tragedi kemanusiaan Palestina ini masih akan berlangsung entah sampai kapan. Pasalnya, Israel menyatakan akan terus berperang, lebih tepat menghancurkan peradaban Palestina, sampai tujuan perangnya tercapai, yaitu mengalahkan Hamas secara total, membebaskan sandera secara militer, dan menduduki kembali Jalur Gaza. Target ini tidak mungkin tercapai, apalagi Israel sudah membuka front baru menghadapi Hizbullah di Lebanon. Dengan demikian Israel kian terisolasi, ekonominya terpukul hebat, dan sumber daya militernya ikut tergerus. Semua kebiadaban Israel ini hanya mungkin berhenti bila AS mau menekan Israel dengan cara menghentikan bantuan senjata dan impunitas yang diberikan kepada Israel dicabut," imbuhnya.
Tidak sedikit pula yang meyakini pelaksanaan solusi dua negara atau two state solution adalah kunci dari penyelesaian konflik Israel-Palestina sekaligus perdamaian Timur Tengah.