Liputan6.com, Jakarta - Cuaca ekstrem menyambut kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih.
Pelantikan Trump pada Senin (20/1/2025), yang semula akan berlangsung di luar Gedung Capitol di Washington DC terpaksa dipindah ke rotunda; ruangan yang merupakan pusat simbolis dan fisik kantor Kongres Amerika Serikat (AS).
Advertisement
Baca Juga
"Prakiraan cuaca untuk Washington DC, dengan faktor angin dingin, dapat membawa suhu turun ke tingkat terendah yang ekstrem," tulis Trump di platform media sosial Truth Social beberapa hari lalu. "Gelombang udara Arktik melanda. Saya tidak ingin melihat orang terluka, atau cedera, dengan cara apa pun."
Advertisement
Dikutip dari kantor berita AP, Layanan Cuaca Nasional AS menyebutkan suhu mencapai sekitar minus 6 derajat Celsius selama upacara pengambilan sumpah Trump sebagai presiden ke-47 AS, tercatat yang terdingin sejak pelantikan Ronald Reagan untuk masa jabatan kedua pada 1985, di mana suhu terjun hingga minus 14 derajat Celsius. Reagan pun mengambil sumpah di rotunda saat itu.
Mengikuti tradisi, Trump memulai rangkaian agenda pada hari pelantikannya dengan menghadiri kebaktian di Gereja Episkopal St. John yang terletak dekat Gedung Putih, bersama dengan wakil presidennya, James David (JD) Vance, dan istrinya, Usha Vance.
Selain keluarga inti Trump seperti Barron Trump; Donald Trump Jr dan keluarga; Ivanka Trump dan suami; Eric Trump dan istri; Tiffany Trump dan suami; sejumlah eksekutif teknologi terpenting di dunia turut hadir dalam kebaktian tersebut. Di antaranya adalah orang terkaya di dunia yang juga CEO Tesla, SpaceX, pemilik platform media sosial X sekaligus sosok yang akan memimpin departemen efisiensi di pemerintah Trump, Elon Musk; CEO Meta Mark Zuckerberg; pendiri Amazon Jeff Bezos; CEO Apple Tim Cook; dan CEO Google Sundar Pichai.
Presiden Argentina Javier Milei, yang berhaluan ekstrem kanan, tidak ketinggalan berpartisipasi dalam kebaktian. Melansir Al Jazeera, Trump pernah memuji Milei sebagai sosok yang dapat "Menjadikan Argentina Kembali Hebat".
Dari kebaktian, Trump dan istrinya, Melania Trump, menuju Gedung Putih untuk minum teh bersama. Pasangan itu disambut oleh Joe Biden dan Jill Biden.
Tradisi minum teh antara presiden yang akan segera lengser dan penerusnya pada hari pelantikan adalah tradisi yang melambangkan pergantian kekuasaan yang damai dan penghargaan terhadap ikatan yang terjalin antara mereka sebagai pasangan yang memegang peran paling penting di AS.
Pelantikan Trump dan JD Vance menorehkan sejarah baru bagi Negeri Paman Sam, yakni pertama kalinya inaugurasi presiden/wakil presiden dihadiri oleh pemimpin asing. Mengutip Al Jazeera, beberapa yang diundang adalah Presiden China Xi Jinping, Presiden Milei, Perdana Menteri India Narendra Modi, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, Presiden Ekuador Daniel Noboa, Presiden Hongaria Viktor Orban, mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, mantan Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawieck.
Lazimnya, para pemimpin asing diwakili oleh duta besar atau menteri luar negeri.
Tidak semua pemimpin yang diundang Trump hadir. Xi Jinping, misalnya, dia memilih mengutus wakil presidennya, Han Zheng, sementara Modi mendelegasikan kehadirannya pada Menteri Luar Negeri S. Jaishankar.
Ancaman Kebijakan Tarif hingga Laut China Selatan
Trump berencana memulai masa jabatan keduanya di Gedung Putih dengan sejumlah perintah eksekutif dan arahan yang dinilai akan membawa perubahan besar. Dalam konteks kebijakan luar negeri, yang paling menonjol adalah janji Trump untuk mengenakan tarif baru yang besar pada impor dari Kanada, Meksiko, dan China di hari pertama masa jabatannya.
Tiga pekan setelah kemenangannya dalam Pilpres AS 2024, Trump mengungkapkan bahwa salah satu perintah eksekutif pertama yang akan ditandatangani adalah pengenaan tarif 25 persen pada semua produk impor dari Kanada dan Meksiko.
Selain itu, Trump juga berencana menambah tarif 10 persen pada barang-barang China yang masuk ke AS.
Trump menyatakan bahwa tarif ini dikenakan sebagai respons terhadap masuknya ribuan orang melalui Meksiko dan Kanada, yang membawa kejahatan dan narkoba dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Dalam beberapa jam setelah saya dilantik, saya akan menandatangani hampir 100 perintah eksekutif — banyak di antaranya akan saya jelaskan dalam pidato saya besok," kata Trump kepada sekelompok donor dan sekutu dalam acara makan malam pra-pelantikan pada Minggu (19/1).
Dia menambahkan, "Dengan tanda tangan saya, saya akan mencabut puluhan perintah eksekutif dan tindakan merusak dari pemerintahan Biden, dan dalam 24 jam, semuanya akan batal dan tidak berlaku lagi."
Pengamat hubungan internasional dan pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja merespons ancaman kebijakan tarif Trump terhadap China dengan mengatakan, "Merujuk dari pernyataan calon menteri luar negeri Trump, Marco Rubio, saat dia di fit and proper test di Senat, di situ disampaikan bahwa dengan China, fokus mereka adalah melepas ketergantungan AS dari China."
"Jadi, dia paham betul AS bahwa dari segi supply chain, ternyata tidak semudah itu menjatuhkan sanksi kepada China karena ada ketergantungan juga di beberapa aspek AS terhadap China," tutur Dinna kepada Liputan6.com pada Senin.
"Ketika berhadapan dengan China, dia akan memikirkan berbagai macam dimensi yang entah itu lewat tarif, entah itu lewat mekanisme diplomasi yang lain, untuk memastikan AS lebih kuat secara ekonomi."
Dalam isu China dan kaitannya dengan Taiwan, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM Rochdi Mohan Nazala atau yang akrab disapa Awang menilai, "Pemerintahan Trump cenderung mempertahankan kebijakan ambiguitas AS untuk masalah Taiwan. Namun, berbeda dengan kebijakan di masa lampau, di mana ambiguitas diartikan sebagai strategi untuk mencegah China menyerang Taiwan dengan cara merahasiakan respons taktis AS dalam membantu Taiwan, ambiguitas AS di masa Trump lebih cenderung disebabkan karena keengganan Trump untuk terlibat konflik militer dengan China."
"Meski secara ekonomi Trump cenderung keras (hawkish) terhadap China, tetapi hal yang sama tidak akan dilakukan untuk bidang keamanan dan militer. Banyak anggota dalam kabinet seperti Musk yang memiliki kepentingan besar secara bisnis di China. Salah satu opsi yang masuk akal bagi AS adalah mendorong penguatan kapabilitas Taiwan untuk mempertahankan diri dan mendorong terciptanya kerja sama keamanan di Pasifik dalam rangka mencengah manuver China yang dapat merusak stabilitas keamanan di Asia Timur dan Pasifik," ungkap Awang kepada Liputan6.com pada Senin.
Sementara itu, komitmen AS dalam isu Laut China Selatan dinilai Awang akan terbatas. Pasalnya, AS tidak berkepentingan langsung dengan konflik teritorial di Laut China Selatan.
"Meski demikian, kehadiran AS di Laut China Selatan akan tetap dipertahankan guna mendukung komitmen kerja sama terutama dengan negara sekutu seperti Filipina dan menjaga keamanan jalur perdagangan di Laut China Selatan. Secara umum, empat tahun ke depan Trum akan mengakselerasi penerapan Strategi Indo-Pasifik di Laut China Selatan dan Asia Tenggara. Strategi ini memfokuskan penguatan aliansi dan kerja sama dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik di Laut China Selatan," terang Awan.
Advertisement
Perang Ukraina Vs Rusia
Dalam kampanyenya pada Pilpres AS 2024, Trump berjanji akan mengakhiri perang Ukraina-Rusia. Dia mengatakan akan melakukannya dalam "24 jam" setelah dilantik atau bahkan sebelum pelantikannya.
Pada 7 Januari 2025, Trump ditanya bagaimana dia akan mengakhiri perang. Bukannya menjelaskan, Trump justru menarik kembali pernyataannya selama kampanye dengan menyebut negosiasinya "sulit".
Kemudian pada 8 Januari 2025, utusan khusus Trump untuk Ukraina, pensiunan Jenderal AS Keith Kellogg, menyatakan bahwa mengakhiri perang merupakan salah satu prioritas utama pemerintahan Trump.
"Secara pribadi dan profesional, saya akan menetapkan tujuan, saya rasa kita bisa menyelesaikannya dalam 100 hari," kata Kellogg kepada Fox News.
Awang mengutip pernyataan Rubio yang mengakui pula bahwa negosiasi untuk menghentikan perang Ukraina Vs Rusia adalah sesuatu yang sulit.
"Opsi yang kemungkinan besar diambil adalah pemerintahan Trump akan mendorong anggota NATO dari Eropa untuk mengambil keterlibatan semakin besar dan mengurangi porsi bantuan AS. Bagi Trump, ini adalah persoalan Eropa dan harus diselesaikan oleh Eropa. Selain itu, Trump akan mencegah adanya eskalasi perang dengan cara melarang penggunaan rudak jarak jauh," jelas Awang.
"Sementara untuk menekan Rusia, AS akan meneruskan komitmen bahwa bantuan AS tetap akan dijalankan jika Rusia bersikukuh mepertahankan kebijakan ofensifnya."
Pembahasan terkait perang Ukraina-Rusia pada hari-hari terakhir ini turut melibatkan Korea Utara, yang telah menandatangani pakta pertahanan dengan Rusia. Klausul paling menonjol dalam pakta tersebut adalah keduanya akan saling membantu jika salah satunya diserang.
Ukraina, Korea Selatan, dan Barat sendiri mengungkapkan bahwa Korea Utara telah mengirimkan setidaknya 10.000 pasukannya untuk membantu upaya perang Rusia.
"Pemerintahan Trump periode kedua akan menemukan realitas Korea Utara yang lebih assertive tidak saja terhadap AS, namun juga dunia internasional dibanding saat periode pertama Trump. Korea Utara perlahan namun pasti mulai meninggalkan kultur tradisional yang menekankan pada doktrin Juche- yang berarti self-defense dan self reliance. Hal ini terutama ditunjukkan melalui keterlibatan aktif Korea Utara untuk membantu Rusia dalam perang Rusia-Ukraina," beber Awang.
"Relasi erat Rusia-Ukraina yang semakin erat ini melengkapi kebijakan nuklir Korea Utara yang cenderung aggresif utamanya terhadap Jepang dan Korea Selatan. Trump dalam periode pertama memiliki hubung langsung dengan Kim Jong Un. Investasi pribadi berpeluang untuk dikembangkan dalam periode kedua guna membangun komunikasi dan melunakkan sikap Korea Utara terhadap Jepang serta Korea Selatan."
Konflik Israel-Palestina
Kebijakan luar negeri Trump lainnya yang disoroti adalah soal konflik Israel-Palestina.
"Dalam wawancaranya dengan majalah Time akhir tahun 2024, Trump mengatakan bahwa dia menginginkan 'a lasting peace' di Timur Tengah. Dia menginginkan perdamaian yang abadi di sana dan tidak ingin melihat orang-orang terbunuh. Meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dicapai, kita harus melihatnya sebagai tujuan strategis yang ingin dicapai oleh Trump dalam masa kepemimpinannya," tutur pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM Irfan Ardhani kepada Liputan6.com pada Senin.
"Lantas, apa cara yang dia tempuh untuk mencapai tujuan tersebut? Trump adalah seorang pemimpin yang transaksional dan cenderung pragmatis. Dalam wawancara yang sama, Trump mengatakan fia terbuka dengan berbagai opsi selama itu bisa membawa perdamaian abadi di Timur Tengah. Oleh karena itu, pendekatan Trump kemungkinan akan menyesuaikan dengan keadaan di lapangan. Keberhasilan utusan khusus Trump, Steve Witkoff, untuk mengajak bicara (Benjamin) Netanyahu mengenai gencatan senjata di hari suci umat Yahudi harusnya menjadi tanda bahwa Trump tidak segan menekan pihak mana pun, termasuk sekutunya, agar tujuan strategisnya tercapai."
Lebih lanjut, Irfan mengungkapkan bahwa dinamika regional di Timur Tengah hari ini jauh berbeda dibanding masa kepemimpinan Trump yang pertama.
"Perang yang terjadi setahun terakhir tidak hanya melemahkan Hamas, namun juga Hizbullah, Iran, dan juga Suriah. Dengan kata lain, AS dan sekutunya memiliki leverage terhadap 'axis of resistance' yang selama ini menjadi musuh mereka di Timur Tengah. Dalam posisi ini, AS lebih bisa menekan pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai titik temu dalam perdamaian yang diidam-idamkan oleh Trump," sebut Irfan.
Terkait Iran, kata Irfan, Trump pernah mengatakan dia menginginkan Iran menjadi negara yang sukses.
"Hanya saja dia tidak ingin Iran memiliki senjata nuklir yang dapat mengancam stabilitas regional dan global. Oleh karena itu, kebijakan Trump kemungkinan besar akan ditujukan untuk menghentikan program nuklir Iran sembari melemahkan dukungan Iran terhadap 'axis of resistance' yang dalam kalkulasi AS menjadi ancaman bagi perdamaian di Timur Tengah," ujar Irfan.
Khusus terkait Timur Tengah, Irfan menyatakan isu lainnya yang perlu dicermati adalah bagaimana hubungan AS dan Arab Saudi di bawah Trump.
"Dalam hal ini, Trump ingin agar Arab Saudi bisa tergabung ke dalam Abrahamic Accord yang menjadi wadah utama Trump di masa kepemimpinannya yang pertama untuk mencapai damai di Timur Tengah. Hal ini akan tergantung dengan negosiasi antara AS dan Arab Saudi mengenai nasib Palestina di masa mendatang dan dukungan AS bagi penguatan kapabilitas militer Arab Saudi," beber Irfan.
Apakah normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel ini akan terwujud dalam waktu dekat?
"Hal ini agak sulit diprediksi. Karena Arab Saudi akan meminta konsesi yg besar ke AS untuk sampai pada kesepakatan tersebut. Ada beberapa sumber yang menyebut Arab Saudi ingin Palestinian Statehood dan dukungan AS bagi program nuklir untuk tujuan sipil Arab Saudi sebagai prasyarat bagi normalisasi (hubungan dengan Israel)," kata Irfan.
"Meskipun dukungan global menguat, pembentukan Negara Palestina justru tidak mudah. Di masa pertama pemerintahan Trump, AS mendorong two state-solution (solusi dua negara). Belakangan, Trump tidak tegas menyebut solusi itu lagi karena yang penting terciptanya perdamaian apapun caranya. Di sisi lain, publik Israel semakin banyak yang menentang ide two state-solution karena peristiwa 7 Oktober 2023. Sementara itu, legitimasi Otoritas Palestina di bawah Mahmoud Abbas juga lemah."
Advertisement