, Washington D.C - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menandatangani perintah eksekutif untuk menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris. Keputusan ini menjadi kedua kalinya AS keluar dari perjanjian internasional yang bertujuan membatasi pemanasan global di bawah dua derajat Celcius, setelah sebelumnya dilakukan pada masa jabatan pertama Trump.
Dalam pidatonya, Donald Trump menyebut perjanjian tersebut sebagai "tipuan yang tidak adil dan sepihak" yang hanya akan merugikan industri dalam negeri AS. Ia juga mengkritik China sebagai negara penghasil emisi terbesar yang dianggap tidak cukup bertanggung jawab terhadap lingkungan.Â
Advertisement
Menutip DW Indonesia, Jumat (24/1/2025), keputusan ini memicu kekhawatiran global, termasuk dari China yang menegaskan komitmennya dalam mempromosikan transisi menuju teknologi rendah karbon.
Advertisement
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menyatakan akan terus aktif dalam menanggapi perubahan iklim di tengah langkah mundur AS.
Langkah Trump ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk para aktivis lingkungan.
Laura Schäfer dari Germanwatch menyebut kebijakan ini berpotensi fatal dalam dekade yang dianggap krusial untuk mitigasi perubahan iklim.
"Ini bisa menjadi sinyal buruk bagi negara lain untuk menurunkan komitmen mereka terhadap aksi iklim," ujar Schäfer.
Â
Peran AS dalam Perangi Perubahan Iklim
Amerika Serikat merupakan penyumbang sekitar 11 persen emisi gas rumah kaca global, menjadikannya salah satu pemain kunci dalam keberhasilan Perjanjian Iklim Paris. Berdasarkan perjanjian tersebut, setiap negara diwajibkan mencatat dan menyerahkan target pengurangan emisi setiap lima tahun. Namun, dengan penarikan ini, target yang sebelumnya telah ditetapkan pemerintahan Joe Biden berpotensi dihapus.
Keputusan Trump juga diperkirakan akan memengaruhi keterlibatan AS dalam KTT Iklim COP mendatang. Meskipun secara teknis perintah eksekutif ini membutuhkan waktu satu tahun untuk berlaku penuh, peran AS dalam perundingan iklim internasional dipastikan akan berkurang.
Di sisi lain, Uni Eropa dan China, sebagai penghasil emisi terbesar, diprediksi akan mengambil peran lebih besar dalam memimpin upaya global melawan perubahan iklim.
Sebanyak 90 persen emisi global masih diwakili oleh negara-negara yang tetap tergabung dalam perjanjian tersebut, sehingga harapan untuk aksi iklim kolektif tetap ada meskipun tanpa kehadiran AS.
Keputusan ini menjadi sorotan internasional karena langkah mundur AS dinilai sebagai ancaman besar bagi target global dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Sementara itu, dunia terus memantau dampak kebijakan ini terhadap diplomasi dan mitigasi iklim di masa depan.
Advertisement