, Ahaus - Di Ahaus, kota berpenduduk 40.000 jiwa di wilayah Münsterland di negara bagian Nordrhein Westfalen, Jerman, satu hal yang langsung menarik perhatian pengunjung adalah stiker bundar berwarna biru dan putih. Di tengahnya terdapat kode QR, dengan kata chayns tertulis di sekitarnya.
Stiker ini tertempel hampir di mana-mana: di meja restoran dan pintu hotel, perahu dan sepeda, rak supermarket dan lemari permainan di taman. Digunakan untuk membuka, meminjam, membeli, dan memesan sesuatu.
Advertisement
DW Indonesia yang dikutip Senin (2/1/2025) menyebut Ahaus dinobatkan sebagai kotamadya terpintar di daerah pedesaan dalam kompetisi nasional 'Digital Places 2024' oleh inisiatif Deutschland - Land der Ideen pada akhir 2024.
Advertisement
Juri sangat menghargai fakta bahwa semua aplikasi tersedia pada platform terpusat dengan satu aplikasi setelah hanya satu kali pendaftaran dengan rincian kontak dan rincian bank. Ini menyediakan akses ke penawaran komersial dan layanan serta informasi yang disediakan oleh administrasi kota dan pemasaran kota. Dokumen, voucher, dan tiket disimpan di profil pengguna pribadi.
Sebagai contoh di kota bertabur QR code, di sebuah hotel pintar atau Smartel di Ahaus, seorang tamu yang tiba dengan menjinjing koper langsung memindai QR code di pintu masuk hotel dengan telepon pintar untuk menuju kamarnya.
Di hotel tanpa resepsionis ini, telepon pintar berfungsi sebagai kunci, sekaligus pengontrol pemanas dan pencahayaan. Bahkan tidak ada saklar lampu di dalamnya. Di lorong, suara robot penyedot debu tengah bekerja di lantai. Satu-satunya waktu melihat staf adalah ketika sarapan.
"Dulunya ini adalah Ratshotel Residenz, yang terbesar di kota ini," kata Peter Sommer, yang sedang memandu tur Smart City Ahaus. Sampai suatu ketika, penyewa lama itu tidak ingin melanjutkannya - dan begitu pula orang lain. "Properti kosong di tepi zona pejalan kaki: Itu tidak baik!"
Pada 2017, produsen perangkat lunak Tobit membeli gedung tersebut dan memodernisasinya. Saat ini, Smartel dengan 44 kamarnya hampir selalu penuh.
Tobit menjalankan pameran di kantor pusatnya di Ahaus untuk menunjukkan platform jaringan chayns miliknya. Sekali sebulan, Tobit juga menawarkan tur terbuka bagi siapa saja yang berminat.
Bahkan jika hanya ada dua peminat pada suatu hari Desember yang suram, tidak masalah. Peter Sommer dengan senang hati mengajak kita berkeliling.
Â
Â
Beginikah Wujud Kota Masa Depan?
Di Ahaus, lebih mudah menguji sesuatu dalam mode beta karena pemerintah kota dan penduduk ikut terlibat. "Kami terlibat di laboratorium yang sesungguhnya. Kami adalah kelinci percobaan, tetapi kami memiliki hal-hal yang tidak dimiliki orang lain," kata pimpinan Ahaus Marketing & Tourismus GmbH, Benedikt Hommöle.
Konsep yang sering ditiru sebagai pintu masuk digitalisasi adalah voucher kota. Menurut Tobit, lebih dari 70 kota madya telah memperkenalkan 'mata uang lokal digital' semacam itu. Di Ahaus, pendatang baru dan pemenang kuis mingguan diberi hadiah dan hari ulang tahun mereka dirayakan. Pengusaha membayar subsidi bulanan dalam bentuk ini.
Akan tetapi, uang itu hanya dapat dibelanjakan di dalam kota dan hanya untuk jangka waktu yang singkat. Ada sekitar 200 titik penerimaan. "Dengan ini Anda dapat membeli makanan anjing, memesan roti gulung, dan memasang ban baru. Uangnya tetap berada di kota," kata Benedikt Hommöle. Kota ini menghasilkan hampir 800.000 euro dengan cara ini setiap tahunnya.
Tidak heran jika hampir semua orang di Ahaus memiliki chaynsID. Pandemi Covid turut mendorong digitalisasi, termasuk di sini. Selain itu, kota ini dekat dengan perbatasan Belanda, dan pembayaran digital jauh lebih umum di negara tetangga itu.
"Ini masa depan, ya?" Di akhir tur, Margarete mengatakan ia ingin mengajak anak-anaknya ke sini.
Bagi sebagian besar pengunjung, Ahaus tekesan seperti fiksi ilmiah belaka. Tapi baru-baru ini, Sommer kedatangan sepuluh wali kota dari Belanda. "Buat Jerman, ini lumayan!" simpulnya.
Advertisement
Pengalaman Menggunakan Voucher Lokal Sebagai Mata Uang
Margarete berasal dari Velen, sebuah kota kecil yang terletak tidak jauh dari Ahaus. Ia guru kebutuhan khusus dan ingin tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak ada lagi supermarket di kota kecilnya dan jika ingin makan di luar di malam hari, Anda harus membuat reservasi beberapa hari sebelumnya, katanya.
Ahaus berukuran sedang dan, seperti banyak kota lainnya, harus berjuang karena ditinggalkan penduduknya. Toko-toko kecil dan bioskop menghilang. Pub, bar, klub, restoran, dan kafe tidak dapat lagi menemukan staf, dan pemilik lama tidak dapat menemukan pengganti. Saat ini, digitalisasi dianggap sebagai jawaban masalah itu.
Gastronomi terasa kurang personal
"Di mana kalian, Colin, Elisana?" tertulis dengan huruf besar pada display toko kebab digital TKWY. Burger dan kentang goreng yang dipesan Colin dan Elisana melalui chayns sudah siap. Begitu sampai, mereka mengautentikasi diri lewat aplikasi. Bungkusan berisi kebab akan langsung dimasukkan ke dalam kompartemen.
"Agak kurang personal," kata Margarete. Dia akan merasa kangen mengobrol dengan penjual kebab di sana. "Tetapi efisien," jawab Sommer. Para staf hanya sibuk memasak. Tidak masalah apakah mereka bisa berbahasa Jerman dengan baik atau tidak.
Pub "Offsite" di alun-alun pusat masih gelap dan sepi di sore hari. Pemandu Tobit memindai kode QR di pintu masuk. Tiba-tiba tempat itu menjadi hidup. Lampu menyala, tenda terbentang, logo merek bir besar berkedip, pintu terbuka dan layar besar menayangkan video sepak bola dan musik.
Kota tanpa uang tunai, tanpa ada obrolan
Sistem di bar ini juga berjalan dengan sedikit staf: bartender hanya menyerahkan minuman apa yang telah dibayar terlebih dahulu oleh tamu secara online. Tidak perlu membahas apa yang tertulis di tatakan gelas bir atau siapa yang boleh minum alkohol, karena data pribadi tentang usia sudah disimpan di akun chayns.
Pada malam harinya, pemilik bar pulang tanpa harus menyetorkan uang tunai ke bank. Sementara itu, toko secara otomatis memesan stok persediaan.
Pertanian, klub olahraga, dan lain-lain menggunakan rantai untuk menjual produk mereka tanpa uang tunai atau untuk menyediakan akses ke tempat mereka. Namun fokusnya adalah pada industri katering, yang tengah menderita kekurangan pekerja terampil. Menurut Tobit, hampir 80 persen pemilik restoran bekerja dengan chayn: dari toko kebab hingga hotel. Para tamu melakukan hampir semuanya sendiri.
Â
Â