Liputan6.com, Jakarta - Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Timur Tengah pada Selasa (25/2/2025) memperingatkan bahwa peluang tercapainya solusi dua negara bagi warga Israel dan Palestina semakin kecil.
"Masyarakat di wilayah ini dapat keluar dari periode ini dengan damai, aman dan bermartabat," ujar Sigrid Kaag, koordinator khusus untuk proses perdamaian Timur Tengah, dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB.
Advertisement
Baca Juga
"Namun, ini mungkin merupakan kesempatan terakhir kita untuk mencapai solusi dua negara," tambahnya, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (27/2/2025).
Advertisement
Menanggapi hal ini, Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja menyebut bahwa faktor penyebab sulitnya tercapai solusi dua negara bagi Israel dan Palestina didasari oleh faktor Trump jilid 1 yang memilih untuk makin melemahkan Palestina dengan mengambil paksa Yerusalem.
"Faktor penyebab kebuntuan konflik Israel-Palestina yang kali ini berbeda sedikit dengan penyebab yang ada selama bertahun-tahun yang lalu. Kalau biasanya disebabkan melulu karena Israel yang tidak niat memberikan kedaulatan atas tanah atau wilayah yang harusnya menjadi hak Palestina, dan hal ini dibiarkan saja oleh Amerika Serikat yang terus mendukung Israel, bahkan memberlakukan pengambilan lahan-lahan Palestina di dekat Gaza dan sekitar Tepi Barat untuk dijadikan pemukiman-pemukiman mewah untuk orang-orang Yahudi yang melakukan emigrasi," kata Dinna kepada Liputan6.com, Jumat (28/2).
"Kini ada faktor Trump jilid 1 yang memilih untuk makin melemahkan Palestina dengan mengambil paksa Jerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedubes AS ke sana, lalu membuat deal-deal Abrahamic dengan tetangga-tetangga Israel sehingga Palestina makin tak bisa berkutik."
"Lalu Hamas yang memilih untuk melawan dengan keras sehingga terjadi 7 Oktober 2023 dan kini disusul lagi dengan pemerintahan Trump yang kembali lagi menghantam Palestina dengan melucuti sama-sekali Palestina dari hak-haknya."
AS Masih Berpengaruh?
Dinna juga menyebut bahwa AS masih sangat punya pengaruh besar dalam terwujudnya solusi dua negara.
"AS adalah sekutu Israel dan selain melakukan pembiaran atas kolonialisme Israel. AS era Trump jilid 2 bahkan memberi jalan lain supaya Israel lebih cepat mengambil alih Gaza," kata Dinna.
"Kalau Rusia, tipis dampaknya. Rusia masih disibukkan dengan Ukraina dan selama ini Rusia tidak punya ambisi terlalu besar seperti AS atas TImur Tengah. Ambisi Rusia ada di Eropa."
Saat ditanya soal solusi yang lebih realistis, Dinna menyebut jawabannya bukan Palestina yang menyerah untuk diambil wilayahnya oleh Israel.
"Palestina itu statusnya terjajah, jadi memang harus ada yang membangunkan negara-negara dunia bahwa yang dilakukan AS itu adalah pelanggaran atas prinsip-prinsip piagam PBB," ujar Dinna.
"Realistisnya mungkin memang PBB harus dirombak dan diakui saja tidak lagi optimal sehingga harus ada restrukturisasi. Dibikin saja oleh kesepakatan negara-negara non P-5 bahwa dunia kacau gara-gara negara P-5 tidak memegang janjinya di piagam PBB."
Advertisement
Dampak Jangka Panjang?
Dinna juga mengingatkan dampak jangka panjang dari ketidakpastian perdamaian di Palestina.
"Dampak jangka panjang dari ketidakpastian ini adalah negara-negara Timur Tengah akan makin mencari selamat sendiri sehingga Palestina makin minim kesempatannya untuk punya kedaulatan apalagi negara."
"Sedih sekali. Sebenarnya negara-negara Timur Tengah harusnya sadar bahwa Trump tidak mungkin sanggup melakukan perang terbuka. Jadi momen-momen sekarang harusnya dijadikan kartu truf oleh negara-negara Timur Tengah untuk menakut-nakuti Trump dan Amerika Serikat akan risikonya bila AS terus saja secara sewenang-wenang minta jatah pengelolaan wilayah, bahkan negara, di Timur Tengah."
