Aktivitas Industrialisasi Bikin Biaya Pelestarian Lingkungan di China Meningkat

Penggunaan urea, pestisida, dan bahan kimia lainnya yang berlebihan telah menyebabkan pencemaran parah pada tanah dan air tanah, yang mengakibatkan kontaminasi tanaman secara luas.

oleh Teddy Tri Setio Berty Diperbarui 03 Mar 2025, 16:48 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2025, 09:23 WIB
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)... Selengkapnya

Liputan6.com, Beijing - Industrialisasi yang pesat di China selama beberapa dekade terakhir telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan mengubah negara tersebut menjadi pusat kekuatan global.

Namun, kemajuan ini disertai dengan biaya lingkungan yang tinggi, khususnya di sektor pertanian.

Penggunaan urea, pestisida, dan bahan kimia lainnya yang berlebihan telah menyebabkan pencemaran parah pada tanah dan air tanah, yang mengakibatkan kontaminasi tanaman secara luas.

Hal ini dilaporkan telah membuat sekitar 20 persen lahan pertanian China menjadi tidak subur dan sebagian besar air tanah menjadi dalam kondisi .

Akibatnya, Tiongkok terpaksa mencari lahan pertanian berdasarkan kontrak di negara lain untuk memberi makan penduduknya yang sangat banyak, dikutip dari laman dailymirror, Minggu (2/3/2025).

Kerusakan lingkungan di Tiongkok dimulai dengan Revolusi Hijau pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan varietas tanaman hasil tinggi.

Meskipun hal ini menyebabkan peningkatan substansial dalam produksi pangan, hal ini juga menjadi awal bagi praktik pertanian yang tidak berkelanjutan yang mengikutinya.

Ketergantungan pada input kimia meningkat selama bertahun-tahun, didorong oleh kebutuhan untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat dari populasi yang berkembang pesat.

Urea, pupuk berbasis nitrogen, menjadi landasan strategi pertanian China. Para petani didorong untuk menggunakan urea secara bebas guna meningkatkan hasil panen. Namun, penggunaan urea yang berlebihan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan.

Nitrogen dari urea meresap ke dalam tanah dan air tanah, menyebabkan kontaminasi yang meluas. Kadar nitrogen yang tinggi di dalam tanah mengganggu keseimbangan nutrisi alami, yang menyebabkan pengasaman tanah dan penurunan kesuburan. Akibatnya, lahan pertanian yang dulunya produktif menjadi tandus dan tidak layak untuk ditanami.

 

Penggunaan Pestisida

FOTO: Melihat Proses Restorasi Bekas Tambang di China
Sejumlah orang merawat pepohonan muda di ladang yang direstorasi dari bekas tambang di Kota Maquanzi, Wilayah Otonom Etnis Manchu Qinglong, Provinsi Hebei, China, 5 September 2020. Wilayah tersebut berfokus pada restorasi tambang terbuka dan reklamasi sekitar 584 hektare lahan. (Xinhua/Yang Shiyao)... Selengkapnya

Situasi ini semakin diperburuk oleh penggunaan pestisida yang merajalela. Para petani, yang didorong oleh kebutuhan untuk melindungi tanaman mereka dari hama dan penyakit, terpaksa menggunakan pestisida kimia dalam jumlah besar.

Pestisida ini tidak hanya membunuh hama yang berbahaya tetapi juga memusnahkan serangga dan mikroorganisme bermanfaat yang berperan penting dalam menjaga kesehatan tanah.

Penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan berkembangnya hama yang resistan terhadap pestisida, yang mendorong para petani untuk menggunakan lebih banyak bahan kimia beracun. Siklus setan penggunaan pestisida ini mengakibatkan akumulasi residu berbahaya di dalam tanah dan air, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan secara keseluruhan.

Gabungan dampak pencemaran urea dan pestisida telah berdampak buruk pada sumber daya air bawah tanah Tiongkok. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan telah menyebabkan masuknya zat-zat beracun ke dalam air tanah.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar air tanah Tiongkok terkontaminasi nitrat, logam berat, dan residu pestisida dalam kadar tinggi. Pencemaran ini menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi penduduk, karena banyak masyarakat pedesaan bergantung pada air tanah untuk keperluan minum dan irigasi.

Pencemaran lahan pertanian dan air bawah tanah juga telah memengaruhi kualitas tanaman yang ditanam di Tiongkok. Tanaman yang ditanam di lahan yang tercemar menyerap zat-zat beracun dari tanah dan air, yang menyebabkan produksi makanan yang terkontaminasi.

Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan pangan dan kesehatan masyarakat, karena konsumen terpapar bahan kimia berbahaya melalui makanan mereka.

Pencemaran tanaman yang meluas telah mengikis kepercayaan konsumen terhadap makanan yang diproduksi di dalam negeri, yang mendorong peralihan ke produk makanan impor.

Pengurangan Lahan Pertanian

FOTO: 21 Orang Terperangkap dalam Tambang Batu Bara di China
Tim penyelamat menggunakan pompa untuk mengalirkan air dari lubang bawah tanah saat operasi penyelamatan penambang yang terperangkap dalam tambang batu bara di Xiaoyi, Shanxi, China, 16 Desember 2021. Sebanyak 21 penambang terperangkap akibat banjir yang melanda Xiaoyi. (STR/CNS/AFP)... Selengkapnya

Sebagai akibat dari kerusakan lingkungan, Tiongkok telah menghadapi pengurangan lahan pertanian yang signifikan. Dengan sekitar 20 persen lahan pertanian menjadi tidak subur, negara tersebut terpaksa mencari solusi alternatif untuk memenuhi permintaan pangannya.

Salah satu solusi tersebut adalah mengamankan lahan pertanian berdasarkan kontrak di negara lain. Tiongkok telah mengadakan perjanjian dengan beberapa negara, termasuk negara-negara di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin, untuk menyewa atau membeli lahan pertanian untuk produksi pangan.

Strategi ini, yang sering disebut sebagai "perampasan lahan," telah memungkinkan Tiongkok untuk mempertahankan pasokan pangan yang stabil bagi penduduknya sambil mengurangi dampak degradasi lahan domestiknya.

Namun, praktik perolehan lahan pertanian di negara lain telah menimbulkan masalah etika dan politik. Para kritikus berpendapat bahwa strategi perolehan lahan Tiongkok mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara miskin, yang sering kali mengorbankan masyarakat dan ekosistem setempat.

Penggusuran petani lokal, hilangnya keanekaragaman hayati, dan potensi konflik sosial telah memicu perdebatan tentang keberlanjutan dan keadilan praktik tersebut.

Menanggapi tantangan lingkungan, pemerintah Tiongkok telah menerapkan beberapa langkah untuk mengatasi pencemaran tanah dan air.

Inisiatif untuk mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan, mengurangi input kimia, dan merehabilitasi lahan terdegradasi telah diperkenalkan. Upaya untuk meningkatkan kualitas air melalui regulasi dan pemantauan yang lebih ketat telah dilakukan.

Meskipun langkah-langkah ini menunjukkan harapan, jalan untuk membalikkan kerusakan yang disebabkan oleh praktik pertanian yang tidak berkelanjutan selama beberapa dekade masih panjang dan sulit.

Penggunaan urea dan pestisida yang berlebihan di Tiongkok telah menyebabkan pencemaran tanah dan air bawah tanah yang parah, sehingga sebagian besar lahan pertaniannya menjadi tidak subur.

Kontaminasi tanaman dan berkurangnya lahan subur telah memaksa Tiongkok untuk mencari lahan pertanian berdasarkan kontrak di negara lain untuk memberi makan penduduknya. Sementara upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan sedang berlangsung, keberlanjutan jangka panjang sektor pertanian Tiongkok masih belum pasti.

Tantangan yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah dan air menggarisbawahi perlunya pendekatan yang komprehensif dan holistik terhadap pengelolaan lingkungan dan pertanian berkelanjutan.

Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya