Saat harga daging sapi meroket di Tanah Air jelang Lebaran, membuat pusing tujuh keliling para ibu rumah tangga, di belahan bumi lain, seorang ilmuwan menyajikan burger daging sapi yang asalnya bukan dari peternakan, melainkan diternakkan di laboratorium.
Adalah ilmuwan asal Maastricht University, Belanda, Mark Post yang menyajikan daging 'sel induk' pertama di dunia, dalam bentuk masakan. Olahan daging yang dijadikan burger itu dimasak dan disajikan di London, Inggris.
Burger tersebut dibuat dari 20 ribu untai daging yang ditumbuhkan dari sel-sel otot sapi. Butuh waktu 3 bulan untuk membuatnya di laboratorium.
Remah roti dan tepung telur ditambahkan ke daging itu, untuk membuat rasanya normal seperti burger biasa. Agar warnanya menarik, mirip sungguhan, ditambahkan jus bit merah dan bubuk kunyit. Chef Richard McGeown menggorengnya dengan minyak biji matahari dan mentega. Hasilnya, burger yang nampak lezat, meski warnanya lebih pucat dari biasanya.
Dua relawan masing-masing mencicipi burger seberat 142 gram, yang disajikan dengan roti, salad, dan potongan tipis tomat.
Bagaimana rasanya?
Setelah gigitan pertama dan berkali-kali mengunyah, Hanni Rutzler, peneliti tren makanan dari Australia berkata, "aku berharap teksturnya lebih lembut -- ini tidak juicy. Rasanya mirip daging tapi kurang gurih," kata dia seperti dimuat CNN, 5 Agustus 2013.
Relawan kedua yang merasainya setuju, ada yang kurang dari rasa burger dari daging buatan itu. "Di mulut rasanya mirip daging asli. Tapi rasanya beda. Aku merindukan rasa lemak daging," kata Josh Schonwald, penulis asal Chicago yang menulis soal masa depan makanan.
Bukan Fiksi Sains
Burger tak biasa itu disajikan di Riverside Studio, di Hammersmith, London. Di depan 200 jurnalis dan tamu undangan.
"Presentasi hari ini adalah bukti bahwa konsep ini bukan sekadar fiksi sains," kata Mark Post, sang penemu. "Tapi ada masalah efisiensi, juga masih mahal untuk mengembangkannya."
Post butuh waktu 4 tahun untuk meneliti dan mengembangkan kultur daging burger itu. Selama itu, ia mengaku kerap mengonsumsinya. "Aku akan merasa nyaman membiarkan anak-anakku mengonsumsinya," kata dia.
Namun, anak-anak Post harus menunggu untuk merasakannya. Sebab, butuh biaya US$ 330 ribu atau Rp 339 juta untuk mengembangkannya.
"Saya pikir sebagian besar orang tidak menyadari bahwa produksi daging saat ini sudah maksimum. Kita harus menemukan alternatifnya," tegas Post.
Konsumsi daging diperkirakan akan meningkat hampir 73% pada 2050, menurut perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Post berharap temuannya bisa membantu mengatasi krisis pangan, apalagi kata dia, kultur daging tak merusak lingkungan dan mengurangi praktik penyiksaan hewan.
Para pengembangnya berharap, daging yang diternakkan di laboratorium tersebut akan tersedia di rak-rak supermarket dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Langkah berikutnya yang akan dilakukan Post dan timnya adalah bagaimana memasukkan lemak dalam burger. Agar lebih maknyus.
"Ternak" Daging di Laboratorium
Kultur daging yang dihasilkan Post menempuh jalan panjang. Awalnya, para ahli dari Maastricht University menghabiskan waktu setidaknya enam tahun untuk mengubah stem sel, "sel induk" dengan kekuatan untuk mengubah diri ke tipe-tipe sel yang lain. Termasuk ke dalam daging.
Usaha pertama Post adalah "burger tikus". Lalu babi, kemudian menghasilkan lapisan bertekstur kenyal dari cumi-cumi dan kerang, sebelum berlabuh ke daging sapi.
Teknik empat langkah digunakan untuk mengubah stem sel atau sel induk dari daging binatang ke burger.
Langkah pertama, sel induk diambil dari otot sapi. Kemudian sel tersebut diinkubasi dalam kaldu nutrisi sampai berkembang biak berkali-kali dan menghasilkan jaringan lengket dengan konsistensi seperti telur mentah. Lalu, mentransformasikannya menjadi ribuan lapisan tipis sel otot daging sapi.
Proses selanjutnya, dengan menggabungkan 3.000 potongan daging yang dihasilkan di labratorium, dibentuk menjadi burger.
Sebelumnya, dalam konferensi American Association for the Advancement of Science, Post mengumumkan telah bisa menghasilkan lapisan daging dengan ukuran panjang 3 cm, dan tebal 0-1,5 cm. Warna daging itu pink sampai kuning.
Selain sapi, tim Post juga membuka peluang versi sintesis dari daging hewan lain, termasuk panda dan harimau.
Kemampuan luar biasa sel induk untuk tumbuh dan berkembang biak berarti, sel-sel yang diambil dari seekor sapi bisa menghasilkan burger sejuta kali lebih banyak daripada jika hewan tersebut disembelih untuk diambil daging.
Namun, fakta bahwa sumber bahan baku daging sintetis ini tetap dari hewan yang notabene dibunuh. Temuan ini tak akan membuat para vegetarian senang. (Ein/Yus)
Adalah ilmuwan asal Maastricht University, Belanda, Mark Post yang menyajikan daging 'sel induk' pertama di dunia, dalam bentuk masakan. Olahan daging yang dijadikan burger itu dimasak dan disajikan di London, Inggris.
Burger tersebut dibuat dari 20 ribu untai daging yang ditumbuhkan dari sel-sel otot sapi. Butuh waktu 3 bulan untuk membuatnya di laboratorium.
Remah roti dan tepung telur ditambahkan ke daging itu, untuk membuat rasanya normal seperti burger biasa. Agar warnanya menarik, mirip sungguhan, ditambahkan jus bit merah dan bubuk kunyit. Chef Richard McGeown menggorengnya dengan minyak biji matahari dan mentega. Hasilnya, burger yang nampak lezat, meski warnanya lebih pucat dari biasanya.
Dua relawan masing-masing mencicipi burger seberat 142 gram, yang disajikan dengan roti, salad, dan potongan tipis tomat.
Bagaimana rasanya?
Setelah gigitan pertama dan berkali-kali mengunyah, Hanni Rutzler, peneliti tren makanan dari Australia berkata, "aku berharap teksturnya lebih lembut -- ini tidak juicy. Rasanya mirip daging tapi kurang gurih," kata dia seperti dimuat CNN, 5 Agustus 2013.
Relawan kedua yang merasainya setuju, ada yang kurang dari rasa burger dari daging buatan itu. "Di mulut rasanya mirip daging asli. Tapi rasanya beda. Aku merindukan rasa lemak daging," kata Josh Schonwald, penulis asal Chicago yang menulis soal masa depan makanan.
Bukan Fiksi Sains
Burger tak biasa itu disajikan di Riverside Studio, di Hammersmith, London. Di depan 200 jurnalis dan tamu undangan.
"Presentasi hari ini adalah bukti bahwa konsep ini bukan sekadar fiksi sains," kata Mark Post, sang penemu. "Tapi ada masalah efisiensi, juga masih mahal untuk mengembangkannya."
Post butuh waktu 4 tahun untuk meneliti dan mengembangkan kultur daging burger itu. Selama itu, ia mengaku kerap mengonsumsinya. "Aku akan merasa nyaman membiarkan anak-anakku mengonsumsinya," kata dia.
Namun, anak-anak Post harus menunggu untuk merasakannya. Sebab, butuh biaya US$ 330 ribu atau Rp 339 juta untuk mengembangkannya.
"Saya pikir sebagian besar orang tidak menyadari bahwa produksi daging saat ini sudah maksimum. Kita harus menemukan alternatifnya," tegas Post.
Konsumsi daging diperkirakan akan meningkat hampir 73% pada 2050, menurut perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Post berharap temuannya bisa membantu mengatasi krisis pangan, apalagi kata dia, kultur daging tak merusak lingkungan dan mengurangi praktik penyiksaan hewan.
Para pengembangnya berharap, daging yang diternakkan di laboratorium tersebut akan tersedia di rak-rak supermarket dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Langkah berikutnya yang akan dilakukan Post dan timnya adalah bagaimana memasukkan lemak dalam burger. Agar lebih maknyus.
"Ternak" Daging di Laboratorium
Kultur daging yang dihasilkan Post menempuh jalan panjang. Awalnya, para ahli dari Maastricht University menghabiskan waktu setidaknya enam tahun untuk mengubah stem sel, "sel induk" dengan kekuatan untuk mengubah diri ke tipe-tipe sel yang lain. Termasuk ke dalam daging.
Usaha pertama Post adalah "burger tikus". Lalu babi, kemudian menghasilkan lapisan bertekstur kenyal dari cumi-cumi dan kerang, sebelum berlabuh ke daging sapi.
Teknik empat langkah digunakan untuk mengubah stem sel atau sel induk dari daging binatang ke burger.
Langkah pertama, sel induk diambil dari otot sapi. Kemudian sel tersebut diinkubasi dalam kaldu nutrisi sampai berkembang biak berkali-kali dan menghasilkan jaringan lengket dengan konsistensi seperti telur mentah. Lalu, mentransformasikannya menjadi ribuan lapisan tipis sel otot daging sapi.
Proses selanjutnya, dengan menggabungkan 3.000 potongan daging yang dihasilkan di labratorium, dibentuk menjadi burger.
Sebelumnya, dalam konferensi American Association for the Advancement of Science, Post mengumumkan telah bisa menghasilkan lapisan daging dengan ukuran panjang 3 cm, dan tebal 0-1,5 cm. Warna daging itu pink sampai kuning.
Selain sapi, tim Post juga membuka peluang versi sintesis dari daging hewan lain, termasuk panda dan harimau.
Kemampuan luar biasa sel induk untuk tumbuh dan berkembang biak berarti, sel-sel yang diambil dari seekor sapi bisa menghasilkan burger sejuta kali lebih banyak daripada jika hewan tersebut disembelih untuk diambil daging.
Namun, fakta bahwa sumber bahan baku daging sintetis ini tetap dari hewan yang notabene dibunuh. Temuan ini tak akan membuat para vegetarian senang. (Ein/Yus)