Pasangan Bercerai, Lalu Embrio Beku Milik Siapa?

Inilah akibat yang mengganggu dari teknologi biologi modern sehingga nasib embrio ini harus ditentukan oleh pengadilan.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 20 Nov 2015, 09:30 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2015, 09:30 WIB
Pasangan Bercerai, Lalu Embrio Beku Milik Siapa?
Sang hakim merujuk kepada surat persetujuan terdahulu yang ditandatangani dua belah pihak dan memerintahkan sejumlah embrio tersebut “dilelehkan dan dibuang” dalam hal terjadinya perceraian. (Sumber SF Gate)

Liputan6.com, San Francisco - Seorang wanita di San Francisco kalah dalam pengadilan terkait kasus embrio beku yang ingin dipakainya untuk kehamilannya. Dalam keputusan Rabu lalu, sang mantan istri harus memusnahkan embrio beku tersebut. Mantan suaminya tidak ingin mantan istrinya hamil dengan menggunakan embrio beku itu.

Keputusan Hakim Pengadilan Tinggi Anne-Christine Massullo mengurai kebingungan terkait teknologi reproduktif modern, di mana ada satu pihak yang menginginkannya sedangkan pihak yang lain tidak menginginkan embrio beku itu.

Dikutip dari SF Gate pada Jumat (20/11/2015), sang hakim merujuk kepada surat persetujuan terdahulu yang ditandatangani dua belah pihak dan memerintahkan sejumlah embrio tersebut “dilelehkan dan dibuang” karena terjadinya perceraian.

“Inilah akibat yang mengganggu dari teknologi biologi modern sehingga kehidupan sederhana sebagaimana halnya embrio ini harus ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan prinsip hukum,” ditulis oleh sang hakim dalam perintah sementara.

Namun demikian, hanya ada sejumlah persentasi kecil dari 4 juta embrio beku di penyimpanan di AS yang nantinya memang disisipkan dan dihidupkan.

Kasus yang ramai pada musim panas ini menarik perhatian nasional sebagai ujian bagi hak pasangan atas embrio beku.

Mimi Lee (46)—seorang mantan ahli anestesi yang kemudian menjadi musisi—berupaya agar embrio hasil pembuahan dirinya dan mantan suaminya, Stephen Findley (45) yang adalah seorang analis investasi, dibekukan sebelum wanita itu memulai perawatan kanker payudara.

Kanker payudara itu sendiri diketahui melalui diagnosis sesaat sebelum pernikahan mereka pada September 2010. Karena alasan usia dan obat-obatan anti-hormon yang diminumnya untuk penyembuhan kanker, wanita itu diperkirakan akan mandul.

Pasangan yang mulai mengenal sejak masih sama-sama kuliah di Harvard University itu segera memilih pembuahan in vitro (IVF) untuk melanggengkan kesempatan mendapatkan anak biologis. Proses IVF melibatkan pengambilan sel telur wanita dan membuahinya dengan sperma selagi berada di luar tubuh. Embrio yang sudah dibuahi kemudian dapat dibekukan dalam nitrogen cair untuk digunakan di kemudian hari.

Sebelum prosedur itu, pasangan ini menandatangani perjanjian dengan Pusat Kesehatan Reproduksi UCSF yang mengatakan bahwa embrio itu diberikan kepada salah satu dari mereka hanya jika pasangannya meninggal, tapi akan dimusnahkan dalam keadaan lain, termasuk perceraian.

Kanker sembuh, tapi...

Terapi yang dilakukan Lee melenyapkan kankernya, tapi pernikahannya dengan Findley berantakan. Sang pria menggugat cerai pada Agustus 2013. Lee, yang mencoba kesempatan terakhir untuk mendapatkan anak biologis, membawa masalah embrio beku ini ke pengadilan dan berpendapat bahwa persetujuan yang telah ditandatangani tidak mengikat dan melanggar hak wanita itu untuk mendapatkan keturunan.

Menurutnya, perjanjian itu ditandatangani secara tergesa-gesa. Namun mantan suaminya mengatakan bahwa mereka memperbincangkan memiliki anak hanya kalau masih terikat pernikahan.

Sang hakim memutuskan bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku. Melalui pengacaranya, Lee menyatakan, “Kecewa dengan putusan sementara pengadilan dan sedang menelaah pilihan-pilhan tindakan hukumnya.”

Pembekuan embrio setelah prosedur IVF. (Sumber nycivf.org)

Para pihak memiliki 15 hari untuk mengajukan keberatan. Keputusan menjadi berkekuatan tetap setelah hakim mempelajari keberatan-keberatan yang masuk dan membuat perubahan-perubahan, seandainya diperlukan.

Namun demikian, keputusan ini dianggap tidak mengejutkan oleh ahli etika kedokteran David Magnus dari Stanford University, karena sejumlah pengadilan di beberapa negara bagian juga membuat keputusan yang serupa.

Ia mengatakan bahwa pengadilan tidak berkenan memaksakan keadaan sebagai orangtua pada seseorang yang tidak mau menjadi orangtua dan menekankannya dalam persetujuan kontrak yang dibuat sebelumnya.

“Sukar membayangkan keadaan kasus ini di mana pengadilan memutuskan yang lain daripada yang telah diputuskan di sini,” ujar pemimpin di Pusat Etika Biomedik Stanford tersebut. (Alx)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya