Liputan6.com, Surabaya Sejak program Keluarga Berencana (KB) diwajibkan oleh pemerintah, alat kontrasepsi atau alat pencegah kehamilan--kecuali kondom--selalu dibebankan kepada perempuan. Namun, para aktifis perempuan menilai kalau alat kontrasepsi tidak seharusnya dibebankan pada perempuan tapi harus persetujuan antar kedua belah pihak yakni suami dan istri.
Baca Juga
Aktifis Perempuan sekaligus Konsultan Isu Gender, Intan Darmawati menerangkan paradigma yang ada di masyarakat bahwasanya alat kontrasepsi selalu dibebankan pada pihak perempuan. Permasalahan yang mengenai alat reproduksi selalu dibebankan kepada perempuan.
"Perempuan tidak harus dibebankan dalam penggunaan alat kontrasepsi, perempuan menjadi tidak punya hak atas dirinya sendiri," terangnya, Selasa (5/1/2016). Intan menilai patriarki pemerintah dalam menjalankan program KB dan perempuan yang harus memakai alat kontrasepsi itu merupakan penyalahgunaan dari hak asasi seorang perempuan. "Perspektif terhadap perempuan harus diubah," ujar ibu paruh baya ini.
Advertisement
Setelah penggunaan kontrasepsi yang dibebankan kepada perempuan mulai memberikan dampak atau efek samping, kini pandangan terhadap alat kontrasepsi tersebut perlahan mulai membaik. Dampak yang paling banyak terjadi yakni, perempuan mengalami kegemukan karena alat kontrasepsi tersebut bereaksi dengan hormon.
"Alat kontrasepsi yang aman yaitu kondom dan kalender alamiah," tukasnya. Kalender alamiah yakni menandai masa subur seorang perempuan, namun cara ini tetap memiliki risiko kehamilan yang cukup tinggi, karena siklus perempuan tidak selalu teratur setiap bulannya.Â
Untuk mengetahuinya misalnya siklus menstruasi seorang perempuan 28 hari, ambil tengahnya yakni hari ke 14, masa subur perempuan tersebut yakni H-5 dan H+5 dari hari ke 14 tersebut. "Selain itu pendidikan seks juga penting, tidak hanya tehnikal seks namun juga kesadaran akan hak tubuh laki-laki dan perempuan, dan antara laki-laki dan perempuan," pungkasnya.