Studi: Orang Akan Berhenti Merokok Jika Harga Naik 2 Kali Lipat

Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi rokok tertinggi.

oleh Bella Jufita Putri diperbarui 29 Jul 2016, 10:00 WIB
Diterbitkan 29 Jul 2016, 10:00 WIB
Kongres InaHEA di Yogyakarta
Kongres InaHEA di Yogyakarta

Liputan6.com, Yogyakarta - Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi rokok tertinggi. Ada sekitar 67 persen penduduk Indonesia, laki-laki dan perempuan dewasa adalah perokok.  

Didukung dengan harga rokok yang tergolong sangat murah menjadikan keadiktifan perokok sulit dihentikan. Apalagi, rokok di Indonesia bisa dibeli tanpa label cukai, atau bahasa lainnya dijual 'ketengan`.

Imbasnya bukan sekedar masalah kesehatan perorangan saja, melainkan peningkatan angka kematian hingga pembengkakan biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk mengobati para perokok dan individu yang terkena dampak dari rokok.

Rokok membuat angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Beban ganda kini dirasakan oleh Kementerian Kesehatan dalam menurunkan angka peningkatan Penyakit Menular (PM) dan PTM.

Melihat isu miris ini, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, bersama rekan membuat suatu studi rokok dengan metode polling, Desember tahun lalu.

Studi ini mengungkap kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Seribu sampel yang diambil secara acak menghasilkan temuan bahwa 80 persen bukan perokok setuju jika harga rokok dinaikkan--76 persen perokok juga setuju, dan 72 persen perokok akan berhenti merokok.

"Satu sampai dua bungkus rokok per hari itu jika dihitung besaran pengeluaran untuk rokok per bulan mencapai Rp 450 hingga Rp 600 ribu. Dalam studi ini para perokok bilang kalau harga rokok di Indonesia naik jadi Rp 50 ribu per bungkus--mereka akan berhenti," ungkap Prof. Hasbullah dalam Konferensi Pers Kongres InaHEA 'The Economics of Preventive Health Program Tobacco, and Health Equity Under JKN Policy', di Alana Hotel Yogyakarta, ditulis Jumat (29/07/2016).

Prof Hasbullah mengatakan akan mengajukan hasil studinya ini, agar pemerintah dan pemegang kepentingan lain melakukan tindakan segera untuk menaikkan harga rokok di Indonesia.

Ia melanjutkan, paling tidak jika harga rokok dinaikkan akan memberikan dampak yang baik terhadap penambahan dana di bidang kesehatan, "Setidaknya dalam hitungan ekonomi saya, kalau rokok di naikkan harganya jadi Rp 50 ribu, paling tidak ada tambahan dana 70 Triliun dalam bidang kesehatan."

"Namun proses menaikkan harga rokok memerlukan waktu yang panjang. Setidaknya memakan waktu satu hingga dua tahun agar pemerintah dan para politisi setuju untuk menaikkan harga rokok di Indonesia," tuntas Prof Hasbullah.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya