Â
Liputan6.com, Jakarta Seorang kepala sekolah di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, mengatakan bahwa Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-109 yang akan diperingati pada 20 Mei 2017, harus dijadikan momentum dalam menanamkan karakter bagi peserta didik.
"Ada 18 nilai dalam pendidikan karkter. Salah satunya adalah semangat kebangsaan, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan," ujar Kepala SMP Aminah Syukur Samarinda, Amiruddin di Samarinda, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (20/5/2017).
Advertisement
Nilai kebangsaan atau nasionalisme ini harus terus dikembangkan, selain nilai yang lain juga tetap menjadi perhatian, sehingga generasi muda paham bahwa Indonesia itu beragam mulai dari berkesenian, budaya, adat, suku, agama, dan kekayaan alam mulai Sabang sampai Merauke.
Pelajar juga harus mendapat pemahaman bahwa Harkitnas merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu, maka dengan memperingatinya, berarti belajar memahami sejarah.Setelah memhami sejarah, lanjutnya, diharapkan pelajar dapat menanamkan etos perjuangan generasi pendahulu untuk generasi berikutnya, baik bagi siswa SMP Aminah Syukur maupun bagi seluruh siswa di Indonesia.
Etos perjuangan yang menjadi semangat saat ini adalah perjuangan Indonesia menuju negara maju, modern, adil, sejahtera, dan berkarakter. Ini merupakan cita-cita bersama yang mesti diwujudkan mulai dari pendidikan di rumah, sekolah, dan di masyarakat.
"Kiasan 'bersatu kita teguh bercerai kita runtuh', sebenarnya mencerminkan karakter yang seharusnya menjadi landasan dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, karena kita adalah saudara," ujarnya.Namun saat ini sering terjadi kerusuhan seperti tawuran anak sekolah, kemudian kekerasan terkait agama, suku, dan lainya, padahal sepantasnya hal ini tidak boleh terjadi.
Menurutnya, pelbagai peristiwa tersebut mencerminkan bahwa masih ada sebagian rakyat yang kurang memahami makna dari kebangkitan nasional, atau mungkin sudah luntur rasa nasionalismenya.
Di sisi lain ia juga menyatakan, pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat tidak diimbangi dengan sistem penyelenggaraan yang memadai, sehingga menghasilkan proses dan hasil pendidikan di sekolah yang bersifat formalitas.
"Sekolah dimaknai sebagai bagian yang harus dilewati pada usia tertentu, waktu tertentu, dan harus selesai dengan "mengantongi" ijazah, tanpa mempertimbangkan apa yang terbaik harus didapat dari proses pendidikan di sekolah. Ini yang harus menjadi perhatian," tutur Amir.Â