HEADLINE: Bahaya Stunting dan Ancaman Lost Generation, Indonesia Harus Berbuat Apa?

Sri Mulyani mengatakan, stunting yang disebabkan oleh malnutrisi telah menghancurkan masa depan banyak anak bahkan jauh sebelum mereka memulainya.

oleh Aditya Eka PrawiraBenedikta DesideriaFitri Haryanti Harsono diperbarui 11 Sep 2018, 00:58 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2018, 00:58 WIB
stunting, anak, tinggi badan
Seorang anak dinyatakan stunting ketika tinggi badannya lima persen di bawah acuan normal. Namun, bahaya stunting bukan hanya soal fisik tapi juga perkembangan otak jadi tidak maksimal. (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis bisa mengakibatkan bonus demografi yang terjadi di Indonesia sia-sia. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebutkan hal ini sembari menegaskan bahwa selama ini stunting tidak disadari sebagai masalah serius.

Padahal, Indonesia saat ini sudah mulai masuk masa bonus demografi yang diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2030. "Jadi persiapannya harus dari sekarang. Kalau kita tidak hati-hati, maka bonus demografi ini jadinya tidak menguntungkan buat kita kalau kita tidak serius soal stunting," ujar Bambang saat diskusi dengan awak media bertajuk Cegah Stunting, lnvestasi Bersama untuk Masa Depan Anak Bangsa di Kantor Pusat Bappenas, Jakarta.

Pada 2030, menurut Bambang, angkatan usia produktif (15-64 tahun) diprediksi mencapai 68 persen dari total populasi dan angkatan tua (65 ke atas) sekitar 9 persen. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan 37,2 persen (9 juta balita) di Indonesia pada 2013 mengalami stunting. Artinya satu dari tiga balita di Indonesia menderita stunting.

Berdasarkan Laporan Human Development Report 2016, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014 dari 188 negara, sedangkan Tingkat Kecerdasan anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains berada di posisi 64 dari 65 negara (OECD PISA, 2012), dan anak Indonesia tertinggal jauh dari anak Singapura (posisi 2), Vietnam (posisi 17), Thailand (posisi 50) dan Malaysia (posisi 52).

"Target jangka panjang kita ya mengurangi stunting. Kita berharap angka sepertiga itu harus turun drastis dan tergantung dari langkah yang kita ambil. Karena itu, harus terintegrasi supaya turunnya cepat," kata Bambang.

  

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)

Prioritas Nasional

Pemerintah sendiri menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas nasional pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018 dan 2019. Pada 2018, pemerintah fokus melakukan pencegahan dan penurunan stunting di 100 kabupaten/kota prioritas. Angka tersebut meningkat menjadi 160 kabupaten/kota pada 2019.

"Pelaksanaan padat karya di 100 kabupaten kota diharapkan bisa mendukung pengurangan stunting. Jadi yang paling penting dalam jangka pendek ini kita melibatkan banyak pihak," kata Bambang.

Ia menuturkan, penurunan stunting yang juga merupakan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasionai 2015-2019, harus sejalan dengan penurunan anemia, bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan berat badan di bawah rata-rata (underweight), anak dengan berat badan kurang untuk ukuran tinggi badannya (wasting), obesitas, serta peningkatan cakupan ASI eksklusif.

Bambang menilai, mencegah stunting sangat penting untuk mencapai SDM Indonesia yang berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang merata, serta memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Komitmen pemerintah daerah sangat penting dalam memastikan program penurunan stunting dapat direncanakan dan dianggarkan dalam dokumen perencanaan di daerah.

"Sekarang kita akan lihat kesungguhan daerah. Kita sudah lakukan kampanye supaya stunting jadi isu di tingkat daerah. Stunting ini ada dari Sabang sampai Merauke, jadi tidak ada satu pun wilayah yang tidak kena. Jadi bukan main-main, ini serius," kata Bambang.

Dalam jangka panjang, stunting sendiri ternyata juga menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2016, jika PDB Indonesia sebesar Rp13.000 triliun, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp260-390 triliun per tahun. Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan bahwa stunting merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang harus menjadi prioritas. Katanya, masalah terkait perkembangan yang tak maksimal ini menjadi cermin masa depan Indonesia.

"Stunting pada anak-anak balita merupakan refleksi masa depan Indonesia," ujar Sri Mulyani, mengutip laman Worldbank.org. "Isu ini sekarang menjadi prioritas pemerintah," tambahnya.

Stunting yang disebabkan oleh malnutrisi, kata Sri Mulyani telah menghancurkan masa depan banyak anak bahkan jauh sebelum mereka memulainya. Ini karena anak yang kekurangan gizi memiliki performa buruk di sekolah serta cenderung putus sekolah dibandingkan dengan teman-temannya yang mendapatkan gizi baik. Kondisi itu tentunya akan memengaruhi pendapatan mereka di masa depan.

 


Tak Sekadar Tubuh Pendek

Seorang anak dinyatakan stunting ketika tinggi badannya lima persen di bawah acuan normal. Namun, bahaya stunting bukan hanya soal fisik tapi juga perkembangan otak jadi tidak maksimal.

"Stunting menyebabkan otak anak tidak berkembang dengan baik sehingga menurunkan kemampuan kognitifnya," kata Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, Fasli Jalal di Jakarta beberapa saat lalu.

Ketika kecerdasan menurun, ini akan membuat anak sulit berprestasi di sekolah. Tak berhenti di situ, efek jangka panjang juga bakal terjadi ketika usia produktif. Ketika seseorang memiliki kecerdasan kognitif rendah akan membuat tingkat produktivitas juga rendah saat bekerja.

Fakta ini selaras dengan hasil riset yang dipublikasikan Lancet di 2007. Disebutkan penghasilan anak stunting ketika usia produktif 20 persen lebih rendah dari yang tumbuh optimal.

Jadi, dampak buruk stunting tidak cuma pada tubuh yang pendek dan kemampuan kognitif rendah. Dampak jangka panjang stunting juga meningkatnya risiko obesitas saat dewasa dan risiko penyakit degeneratif kronis seperti disampaikan dokter spesialis anak RS Soetomo, Meta Hanindita.

"Kekurangan nutrisi saat anak-anak akan berefek pada keseimbangan energi, pengaturan asupan makanan, kerentanan terhadap efek makanan yang tinggi lemak serta dapat mengubah sensitivitas insulin," kata Meta saat dihubungi Health-Liputan6.com.

"Hal itu yang menyebabkan risiko anak stunting terkena penyakit degeneratif," katanya.


Tak Identik dengan Orang Miskin, Mengapa Terjadi Stunting

Stunting bukan masalah yang sederhana. Meski Indonesia kaya aneka ragam pangan yang mudah didapat dan dikelola, masalah pertumbuhan yang kurang optimal ini tak terhindarkan.

Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Ir Doddy Izwardy, menyebutkan, hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) menyebutkan angka anak Indonesia yang stunting masih cukup tinggi. Pernah mencapai 36 persen, turun 35 persen lalu melonjak ke angka 37 persen.

"Dari hasil monitoring saya ke seluruh Indonesia, rata-rata 28 sampai 29,6 persen," kata Doddy. Itu merupakan hasil pemantauan dari 2014, 2015, 2016, sampai 2017.

Saat ini, stunting tidak lagi identik dengan orang miskin. Sebab, seorang anak yang berasal dari keluarga berada pun bisa mengalami stunting.

"Antara miskin dan yang tidak miskin bedanya hanya 10 persen,"ujar Doddy saat dihubungi Health Liputan6.com pada Senin, 10 September 2018.

Penyebabnya tidak lain karena pola makan. Menurut Doddy, salah satu cara supaya si kecil tumbuh optimal, calon ibu pantang pilih-pilih makanan selama hamil. Upayakan berat badan bertambah 12 kilogram.

"Yang terjadi pada orang kaya, mereka takut sekali berat badan naik. Ketika naik banyak, malah merasa gendutan. Padahal memang harus segede itu," kata Doddy.

Alhasil, rata-rata ibu hamil di Indonesia berat badannya hanya naik tujuh sampai delapan kilogram.

"Saat hamil sudah seharusnya ibu makan makanan tinggi kalori dan protein," katanya.

Orang dewasa normal saja butuh 2.100 kalori. Sedangkan ibu hamil harus lebih dari angka tersebut. Mudah untuk memenuhinya, asal berpatokan pada empat pilar; makanlah beraneka ragam menu di dalam satu piring, tidak boleh pilih makanan, buah dan sayur sebagai sumber vitamin dan mineral, jangan hilangkan karbohidrat dan perbanyak protein.

"Banyak orang karena menjaga berat badan, karbohidrat jadi dikurangi dan memperbanyak buah-buahan sampai 2 per 3 dari isi piring. Ini berbahaya untuk jangka panjang," kata Doddy.

"Ibu hamil harus pintar mengatur makan sehari-hari," ujarnya.

Selain itu, Doddy melihat masalah stunting masih terjadi lantaran kebijakan dari pemerintah terkait usia anak boleh menikah.

"Di dunia kesehatan, bagusnya seorang perempuan hamil ber-reproduksi adalah umur 20 sampai 32 tahun. Namun, kebijakan (pemerintah) kita, umur 15 tahun sudah boleh dinikahkan," kata Doddy.

Tidak masalah jika pernikahan itu harus terjadi karena satu dan hal lain yang krusial, tapi usahakan agar pasangan yang terlalu muda itu menunda punya anak karena yang perempuan secara fisik belum siap untuk hamil.

"Ini juga terkait pendidikan perempuan yang masih rendah. Masih banyak ditemukan anak perempuan yang sekolah hanya sampai kelas 8," katanya.

Ini yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Bogor. Doddy menemukan ada seorang anak yang menikah di umur 16 tahun, lalu punya anak di usia 17. "Anak yang lahir itu mengalami gizi buruk dan stunting," katanya menceritakan.

Lebih lanjut, kesalahpahaman mengenai gunanya ke Posyandu jadi penyebab stunting di Indonesia masih tinggi. Menurut Doddy, saat ibu membawa anak ke Posyandu, jarang sekali memonitor atau memeriksa tinggi badan. Fokus hanya ke masalah berat badan.

Saat mengetahui anak yang lahir dengan kondisi berat badan lahir rendah atau kurang dari 2.500 gram, dan panjang kurang dari 48 cm, itu sebenarnya sudah menjadi faktor risiko terjadinya stunting.

Ketika membawa anak tersebut ke Posyandu, seharusnya kader sudah mendeteksinya dengan mengukur berat badan ditambah tinggi badan.

Sayangnya lagi, anak hanya dibawa ke Posyandu setiap satu bulan sekali. Mana mungkin bisa terkejar buat memonitor tinggi seorang anak.

"Pertumbuhan anak bayi itu cepat sekali, jadi harus rajin memonitornya," ujar Doddy.

Hal serupa juga pernah disinggung oleh Spesialis Nutrisi dan Penyakit Metabolik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr dr Damayanti R Sjarif SpA(K) beberapa waktu yang lain.

Untuk mengetahui apakah berat dan tinggi badan seorang anak seimbang, harus melihat grafik pertumbuhan melalui pemeriksaan di posyandu.

Baik menimbang dan mengukur tinggi badan anak tidak boleh asal. Menimbang, misalnya, anak tidak boleh memakai baju karena bisa selisih 0,5 kilogram lantaran berat dari pakaian.

"Celana dalam dan kaos dalam masih boleh dipakai, terutama pada anak yang sudah agak besar," ujarnya.

Sementara untuk mengukur tinggi badan pada anak kurang dari dua tahun, harus berbaring, kepala menyentuh batas alat, kaki harus lurus benar dan pengukurannya tepat.

 


Upaya Pemerintah

90 Persen Anak Pendek Sedunia, Paling Banyak Dari Indonesia
Masalah stunting (pendek dan sangat pendek) di Indonesia sepertinya belum menjadi prioritas pemerintah

Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah menjalankan beberapa langkah untuk mencegah stunting, seperti menambah asupan gizi bagi ibu hamil, balita, serta anak sekolah. 

“Sebetulnya sudah dimulai dari tiga tahun lalu dengan pemberian makanan tambahan atau PMT. Namun tahun ini, kita akan lebih menyasar dan fokus”, ujar Presiden di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, April lalu, mengutip laman Sehatnegeriku.

Penanganan stunting (kekurangan gizi kronis) tidak hanya pemberian biskuit bergizi atau asupan makanan lain. Ada faktor pendukung lain untuk menangani stunting. Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dalam acara 'Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI" di Hotel Bidakara, Jakarta pada Selasa, 3 Juli 2018.

Penanganan berupa perbaikan layanan kesehatan dasar, seperti akses air bersih dan sanitasi Persoalan gizi juga berkaitan dengan lingkungan. Jika masyarakat sudah bisa mengakses air bersih dan sanitasi yang memadai, stunting dapat ditekan dan tidak terjadi. Kesehatan masyarakat terjamin baik.

"Saat ini pemerintah sedang berupaya melakukan penurunan stunting secara terintegrasi, yang difokuskan pada 100 kabupaten/kota dan 1.000 desa di Indonesia. Pada tahun 2019, upaya intervensi juga akan dilakukan seiring penambahan 160 kabupaten/kota, terutama kabupaten/kota di Nusa Tenggara dan Papua," kata Puan.

Sasaran intervensi stunting pada tahun 2020 akan ditambah menjadi 390 kabupaten/kota dan 514 kabupaten/kota di tahun 2021. Fokus sasaran intervensi ini bekerjasama antar pemerintah pusat, daerah, desa, dan lembaga terkait lain.

Adanya intervensi stunting terintegrasi bertujuan agar daerah yang punya kasus stunting dapat ditangani secara tepat. Misal, ada daerah dengan angka stunting tinggi, tapi akses air bersih ternyata belum maksimal dirasakan masyarakatnya. Jadi, yang perlu diperbaiki adalah akses air bersih.

Dampak dari stunting, menurut Puan dapat menurunkan mutu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ini berkaitan perkembangan kecerdasan pada anak yang stunting terhambat. Jika terus berlanjut, generasi di masa depan tidak punya daya saing bekerja. Akhirnya, terjadi penurunan daya saing dan rentan kena penyakit. 

Hal serupa juga dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Katanya, anak yang stunting tak hanya kerdil secara fisik melainkan juga otak, perkembangan otaknya tidak maksimal dan terhambat. 

Menurut JK, jika stunting tidak ditekan, maka akan tercipta generasi yang 'kerdil' pada 20-30 tahun mendatang. "Ini juga merusak produktivitas kerja. Tidak ada daya saing," ujarnya.

 


Inovasi Pencegahan Stunting

Stunting, Masalah Utama Kurang Gizi di Indonesia
Stunting, Masalah Utama Kurang Gizi di Indonesia

Kampanye 'Isi Piringku'

Salah satu cara pencegahan stunting yang digalakkan pemerintah, yaitu Kampanye 'Isi Piringku'. Langkah ini juga mengatasi kekurangan gizi kronis. 'Isi Piringku' merupakan pedoman porsi makan sehari-hari dalam satu piring yang memenuhi gizi seimbang.

Dalam 'Isi Piringku', sajian satu piring terdiri dari 50 persen buah dan sayur, sedangkan 50 persen sisanya terdiri dari karbohidrat dan protein. Agar Kampanye 'Isi Piringku' berjalan efektif harus disesuaikan dengan daerah masing-masing.

"Kampanye 'Isi Piringku' bisa jadi upaya mencegah stunting. Tapi kampanye itu beda-beda tiap daerah. Disesuaikan sama makanan lokal," tegas Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menegaskan dalam sambutan acara "Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI."

Ia mencontohkan, jangan sampai kampanye 'Isi Piringku' dari Padang, Sumatera Barat yang berisi rendang malah dikampanyekan di Bugis, Sulawesi Selatan. Rendang bukan makanan lokal orang Bugis.

Yang benar, Kampanye 'Isi Piringku' untuk mencegah stunting harus sesuai dengan kearifan lokal. Sumber pangan juga sebaiknya berasal dari daerah setempat.

Upaya mencegah stunting juga perlu dilakukan jauh sebelum kehamilan. Ini sebagai upaya dini agar calon ibu mengonsumsi makanan bergizi dan menjaga kesehatan sebelum juga selama hamil.

"Sebelum hamil, ibu-ibu harus memahami soal gizi dan risiko stunting pada anak. Stunting menyebabkan kekerdilan," tutup Jusuf Kalla.

Pos Gizi dan pemberdayaan pangan lokal

Upaya penanganan stunting salah satunya diterapkan oleh masyarakat Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Ada Pos Gizi di Desa Haya-haya, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Pos Gizi itu berfungsi menurunkan stunting (kekurangan gizi kronis) dengan berbagai kegiatan, misal pendataan dengan pengukuran di posyandu.

Ketika Health Liputan6.com berkunjung ke sana pada 17 Juli 2018, Kepala Desa Haya-haya, Yasin Ingo menyampaikan, pendataan dilakukan oleh kader dan divalidasi oleh petugas kesehatan, terutama data status gizi.

"Calon peserta Pos Gizi diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit penyerta. Jika ditemukan penyakit, maka terlebih dahulu dilakukan perawatan sampai pulih. Baru diikutsertakan dalam Pos Gizi," jelas Yasin.

Peserta pos gizi menyasar bayi (6-11 bulan) dan balita (12-59 bulan) beserta ibunya. Seluruh bayi dan balita dipantau penambahan berat badannya untuk mencegah stunting. Yang paling rutin dipantau adalah berat badan. Kenaikan atau penurunan berat badan paling cepat dan mudah terlihat dibandingkan tinggi badan, sedangkan tinggi badan baru dapat diketahui hasilnya dalam beberapa bulan sulit terlihat kemajuannya.

Untuk berat badan, kenaikan atau penurunan bisa terlihat. Setiap dua minggu sekali, kemajuan berat badan dicatat. Pada dinding ruangan Pos Gizi terlihat karton yang berisi catatan kemajuan berat dan tinggi badan bayi dan balita.

Tak hanya memantau soal berat dan tinggi badan, Pos Gizi juga berupaya memberdayakan makanan lokal. Para kader mengajarkan orangtua memasak makanan bergizi dengan bahan pangan lokal. Yang lebih menarik, susunan kalori juga diajarkan dan disusun petugas gizi. Adapun jumlah kalori harian baiknya terkandung antara 300-500 kkal dengan protein 5-12 gram.

"Adanya pos gizi dibangun berkat partisipasi masyarakat. Kami mengajarkan memasak makanan lokal. Ya, makanan lokal diberdayakan," Yasin menambahkan.

Makanan lokal yang diberdayakan membuktikan, kandungan zat gizi dan vitamin tidak harus berasal dari makanan mahal.

"Kami ingin mengubah mindset (pandangan) masyarakat terkait makanan. Bahwa makanan berbahan lokal kaya zat gizi," ujar Yasin.

Prevalensi stunting (kekurangan gizi kronis) di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, telah berhasil turun. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, prevalensi stunting pada balita atau anak usia 0-59 bulan, turun dari 40,7 persen (2015) menjadi 32,3 (2017).

Begitu pula prevalensi stunting pada baduta, anak usia 0 hingga 24 bulan. Pada 2015, prevalensi mencapai 32,3 persen, tahun 2016 menurun jadi 28,4 persen, dan pada 2017 menjadi 24,8 persen.

Kegiatan pos Gizi Desa Haya-Haya dibentuk sejak 2013 dengan memanfaatkan dana dari partisipasi masyarakat, yang dibantu tim penggerak gizi dan bidan desa. Pembinaan dilakukan oleh puskesmas kecamatan setempat. Pada tahun 2017, kegiatan pos gizi desa telah diintegrasikan dengan dana desa.

Kembangkan RSUD Hasri Ainun Habibie

Pemerintah Provinsi Gorontalo bahkan melakukan pengembangan RSUD Hasri Ainun Habibie menjadi RSUD Tipe B. Pengembangan tersebut dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, terutama menurunkan stunting.

Dalam peninjauan ke RSUD Hasri Ainun Habibie pada 16 Juli 2018, Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek mendukung pengembangan RSUD tersebut. Pengembangan dilaatarbelakangi kurangnya akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan terlebih belum ada rumah sakit pusat rujukan provinsi.

RSUD Hasri Ainun Habibie akan berkembang menjadi rumah sakit tipe B, yang sebelumnya rumah sakit tersebut adalah tipe D. Rencana pengembangan menjadi RSUD tipe D akan dilengkapi dengan dokter, perawat dan bidan, kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya, dan tenaga non kesehatan.

Dokter yang dibutuhkan sebanyak 75 orang untuk pelayanan medik, pelayanan medik spesialis dasar, pelayanan spesialis penunjang medik, pelayanan medik spesialis lain, pelayanan medik spesialis Gigi dan Mulut, dan pelayanan medik subspesialis.

Untuk bidan dan perawat dibutuhkan 509 orang, kefarmasian 20 orang, tenaga kesehatan lainnya 60 orang, dan tenaga non kesehatan 159 orang. Selain pengembangan menjadi RSUD tipe B, RSUD Ainun juga akan dikembangkan sebagai rumah sakit pendidikan.

 


Peran Orangtua

Penyebab paling sering anak stunting karena asupan nutrisi yang tidak adekuat alias memadai saat lahir seperti disampaikan Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/RSCM, Damayanti Sjarif.

Berbagai penelitian menunjukkan anak biasanya mulai kekurangan nutrisi di usia tiga bulan. Ada beragam penyebab anak jadi kekurangan nutris diantaranya ASI ibu tidak cukup atau anak memiliki penyakit tertentu.

Bila penyebabnya karena asupan dari ASI kurang, anak harus mendapatkan tambahan. Kemudian di usia enam bulan anak harus mendapat Makanan Pendamping ASI (MPASI) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Pada dasarnya, asupan MPASI anak harus lengkap dan seimbang. Terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Namun, aspek yang paling penting pada anak adalah protein.

"Sejak awal, MPASI harus mengandung protein hewani, bukannya puree nabati. Protein hewanilah yang akan mencegah stunting karena di dalamnya mengandung asam amino esensial,"kata Damayanti dalam Forum Ngobras beberapa saat lalu.

Pemberian protein hewani pada anak bisa diberikan sejak usia enam bulan dengan asupan secukupnya yakni 1,1 gram/berat badan.

Pentingnya kehadiran protein hewani dalam tumbuh kembang anak terbukti alam berbagai penelitian. Salah satunya penelitian nutrisi anak-anak Papua Nugini. Hasilnya, ketika asupan makanan ditambah margarin atau sumber lemak lain, tinggi badan tidak bertambah. Ketika asupan karbohidrat ditambah memang memengaruhi tinggi badan tapi kadar lemak juga naik. “Begitu asupan makanan ditambahkan susu, tinggi badan naik, sebaliknya kadar lemak turun,” jelasnya.

Studi lain juga pernah dilakukan di Uganda yang membandingkan dua desa yakni desa vegan dan desa yang memiliki pola makan daging dan susu. Hasilnya saat anak berusia 36 bulan, anak-anak dari desa yang memiliki kebiasaan makan daging dan susu memiliki tubuh lebih tinggi, sementara anak yang dari desa vegan yang tinggi adalah kadar lemaknya.

Damayanti pun meminta agar orangtua tidak bingung mencari sumber makanan untuk buah hatinya. Sumber protein bisa dari ikan. Tidak harus ikan yang mahal seperti salmon, bisa juga kembung yang kaya omega-3. Jika jauh dari laut, carilah sumber protein yang tersedia di sekitar rumah. Misalnya ikan sungai, telur, daging ayam, dan daging merah.

Bila sudah memberikan ASI dan atau MPASI pada anak tapi berat badan dan tinggi badan tak kunjung naik, orangtua sebaiknya segera ke dokter.

"Begitu berat badan anak enggak naik-naik seperti yang seharusnya selama dua kali berturut-turut sesuai KMS (Kartu Menuju Sehat), sebaiknya segera ke dokter untuk mencari tahu penyebabnya," pesan Meta. 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya