Awas Diabetes, Gaya Hidup Semasa Muda Tentukan Kualitas Hidup di Usia Senja

Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang penderitanya kian hari kian bertambah. Dipengaruhi gaya hidup saat muda.

oleh Dyah Puspita WisnuwardaniFitri Haryanti Harsono diperbarui 16 Jul 2019, 13:01 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2019, 13:01 WIB
Diabetes (Foto: iStockphoto)
Tidak semua diabetesi memiliki badan gemuk. Di beberapa negara seperti India, orang dengan diabetes ternyata banyak yang kurus. (Foto: iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pepatah lama menyebut, 'apa yang kita tanam itulah yang kita tuai'. Itu berlaku juga untuk diabetes. Kencing manis, nama lain penyakit itu, bisa dipicu gaya hidup di usia muda. 

"Diabetes itu penyakit yang permanen dan enggak akan bisa sembuh, terlebih lagi sudah tahunan seperti ayahku," cetus Leo, seorang teman, beberapa waktu lalu kepada Liputan6.com.

Leo kemudian menuturkan awal mula ayahnya bisa menderita diabetes melitus (DM). "Ayah kena diabetes tahun 1998. Diabetesnya dipicu karena stres. Akhirnya, lost control (kehilangan kontrol), banyak minum yang manis-manis."

Diabetes memang kerap mengintai orang-orang berusia lanjut. Dalam istilah medis, penyakit ini disebut penyakit degeneratif menyasar lansia atau penyakit yang muncul mengiringi proses penuaan.

Kini usia ayah Leo masuk kategori pra-lansia, 58 tahun. Namun,  ayah Leo sudah hidup dengan diabetes kurang lebih sejak usia 37 tahun. Faktanya, usia muda bukan alasan seseorang aman dari diabetes atau sering kita sebut penyakit kencing manis.

Bila tak tertangani dengan baik, diabetes menyebabkan berbagai komplikasi serius seperti kebutaan, stroke, gagal jantung serta gagal ginjal. Fungsi organ vital tubuh seperti mata, jantung dan ginjal melemah. Komplikasi akibat diabetes juga dialami ayah Leo.

"Tahun 2014, diabetes Ayah komplikasi jadi menyerang jantung. Lalu tahun 2018, komplikasi diabetes Ayah lari ke ginjal. Penyakit jantung di sini, bukan serangan jantung. Tapi kemampuan jantung untuk memompa darah ke tubuh sudah melemah. Untuk komplikasi ginjal, (Ayah) bukan gagal ginjal, tapi lebih masuk ke kategori penurunan fungsi ginjal," Leo menjelaskan.

Tak hanya jantung dan ginjal, sekarang indra penglihatan dan pendengaran pria sepuh itu pun ikut terkena komplikasi. Kondisi tersebut jelas menurunkan kualitas hidup penderita diabetes seperti ayah Leo.

Diabetes Melitus pada Lansia di Indonesia
Diabetes Melitus pada Lansia di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)

Saksikan juga video berikut ini:

Jumlah Penderita Diabetes Semakin Banyak

ilustrasi Diabetes
ilustrasi Diabetes (sumber: iStockphoto)

Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang penderitanya kian hari kian bertambah. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, prevalensi penderita diabetes melitus (DM) meningkat dari 5,7 persen pada 2007 menjadi 6,9 persen pada 2013 kemudian 8,5 persen pada 2018.

Selain itu, data International Diabetes Federation pada 2017 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 negara dengan jumlah orang dengan diabetes terbanyak.

Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek menyampaikan, kenaikan prevalensi penyakit tidak menular termasuk diabetes di Indonesia disebabkan oleh perilaku masyarakat.

"Penyakit tidak menular meningkat, perilaku masyarakat harus diubah. Kita sendiri yang seharusnya menyadari untuk menerapkan pola hidup sehat," jelas Menkes Nila dalam acara puncak Hari Kesehatan Nasional ke-54, 18 November 2018 lalu.

"Hipertensi enggak terkontrol bisa jadi penyakit jantung. Diabetes melitus bisa mengarah pada gagal ginjal," lanjutnya. 

Data International Diabetes Federation tahun 2017 memaparkan, setiap tujuh detik seseorang diperkirakan meninggal karena diabetes atau komplikasi (50 persen) atau setara 4 juta orang per tahun, yang terjadi pada orang di bawah usia 60 tahun. Angka tersebut jelas bertentangan dengan harapan prevalensi diabetes global sebesar 8,8 persen dari populasi dunia pada tahun 2017.

Prevalensi diabetes diperkirakan akan terus meningkat menjadi 9,9 persen pada tahun 2045. Jika ditotal, jumlah itu mencerminkan populasi 424,9 juta orang yang mengidap diabetes di seluruh dunia pada 2017. Jumlah ini diperkiraan terjadi peningkatan 48 persen menjadi 628,6 juta orang pada tahun 2045.

Pengidap diabetes, menurut laporan WHO, meningkat dari 108 juta pada 1980 menjadi 422 juta pada 2014. Prevalensi global diabetes di antara orang dewasa di atas 18 tahun juga meningkat dari 4,7 persen pada 1980 menjadi 8,5 persen pada 2014.

Berawal dari Gaya Hidup Semasa Muda

Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Diabetes Melitus (Sumber: iStockphoto)

Dokter spesialis penuaan (geriatri) Siti Setiati menyampaikan, diabetes yang diidap lansia sebenarnya bermula dari gaya hidup individu saat muda dulu.

Gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan sembarangan, suka konsumsi minuman manis, dan minum alkohol dapat menimbulkan diabetes. Jika seseorang sudah didiagnosis diabetes, maka seterusnya harus mengontrol kadar gula darah. Efek jangka panjang yang mengikuti pun tak bisa dianggap sepele.

"Sebenarnya mereka kena penyakit tersebut karena lifestyle yang tidak baik saat berusia masih muda. Misalnya, usia 30-an dan 40 tahun sudah kena diabetes dan hipertensi. Nah, pas usia 60 tahun ujung-ujungnya bisa kena serangan jantung juga stroke," jelas Siti dalam sebuah konferensi pers 'Hari Lanjut Usia' di Kementerian Kesehatan beberapa waktu silam.

Data Riskesdas Kemenkes RI menunjukkan, prevalensi lansia yang menderita diabetes di Indonesia bertambah. Kategori lansia dengan diabetes sesuai usia pada 2018, yakni 6,3 persen (55-64 tahun), 6,0 persen (65-74 tahun), dan 3,3 persen (75 tahun ke atas).

Sementara data Riskesdas 2013 memperlihatkan, prevalensi lansia pengidap diabetes antara lain 4,8 persen (55-64 tahun), 4,2 persen (65-74 tahun), dan 2,8 persen (75 tahun ke atas). Angka Riskesdas 2018 dan 2013 terkait prevalensi diabetes pada lansia didapat dari data diagnosis dokter yang dihimpun.

Siti mengingatkan, diabetes melitus harus menjadi perhatian yang diutamakan. Ini karena diabetes bisa membuat kualitas hidup lansia semakin berkurang. Pengobatan dan perawatan penyakit saat lansia juga butuh penanganan maksimal. Apalagi jumlah lansia di Indonesia semakin meningkat setiap tahun.

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013, proyeksi penduduk lansia 2010-2035 terus meningkat. Pada tahun 2010 jumlah lansia mencapai 18 juta jiwa (7,56 persen), kemudian meningkat 25,9 juta jiwa (9,7 persen ). Pada tahun 2019 sebanyak 27,1 juta jiwa (9,99 persen).

Kemudian pada tahun 2035, persentase lansia diprediksi mencapai 15,7 persen atau sekitar 48,2 juta jiwa. Tubuh pun akan mengalami degenerasi dan terkait dengan penyakit-penyakit degeneratif.

"Lansia pada umumnya punya penyakit kronis, seperti pengapuran sendi, osteoporosis, kolesterol tinggi, dan penyakit jantung koroner. Seluruh penyakit itu bisa terjadi karena penyakit kencing manis (diabetes) yang tak terkendali. Bisa juga karena darah tinggi yang tak terkendali. Ya, ujung-ujungnya bisa stroke, kena tuberkulosis (TBC), dan demensia," lanjut Siti, yang berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Peran Keluarga untuk Pasien Diabetesi

Ilustrasi Orang Tua (iStockphoto)
semakin tua seseorang semakin sulit pula mereka lepas dari obat. (Ilustrasi Lansia/iStockphoto)

Walaupun lansia punya masalah kesehatan seperti diabetes, perawatan harus dilakukan dengan baik. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyampaikan, lansia tetap harus punya kualitas hidup yang baik.

"Tingkatkan kembali fungsinya (tubuh) sehingga memiliki kualitas hidup yang baik. Kami berharap dapat memastikan setiap anggota keluarga memiliki jaminan kesehatan serta memanfaatkan dengan bijak. Meningkatkan deteksi dini, menciptakan suasana keluarga mendukung kebahagiaan lansia," lanjutnya saat ditemui di Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.

Dukungan dan pendampingan dari keluarga memengaruhi kesehatan orang dengan diabetes. Laporan International Diabetes Federation mencatat, dukungan keluarga dalam perawatan diabetes telah terbukti memiliki efek besar dalam meningkatkan hasil kesehatan bagi pengidap diabetes.

Ini dapat mempertahankan kualitas hidup pasien diabetes, terutama yang sudah komplikasi. Oleh karena itu, edukasi dan dukungan keluarga dapat mengurangi dampak emosional, seperti stres karena memikirkan penyakitnya.

Cegah Diabetes dengan GERMAS

Ilustrasi olahraga
Ilustrasi olahraga (iStockphoto)

Diabetes adalah penyakit atau kondisi ketika tubuh kekurangan hormon insulin sehingga memengaruhi kemampuan tubuh mengubah makanan menjadi energi.

Ada beberapa tipe diabetes, yang paling umum yakni diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Selain itu, ada pula tipe diabetes gestasional yang biasa dialami wanita hamil.

  1. Diabetes tipe 1: Diabetes tipe ini bersifat akut. Biasanya terjadi karena faktor keturunan dan tak dapat dicegah. Tipe diabetes ini menyerang saat masa kanak-kanak dan tidak terdeteksi. Pada penderita diabetes tipe 1, tubuh tak bisa memproduksi insulin. Sehingga pasien diabetes tipe 1 memerlukan suntikan insulin untuk mengatur gula darah.
  2. Diabetes tipe 2: Diabetes tipe 2 bersifat lambat, berbeda dengan diabetes tipe 1 yang bersifat akut dan cepat. Diabetes tipe ini bisa muncul karena obesitas, etnis, gangguan kulit, dan terganggunya fungsi ovarium. Menyerang orang-orang berusia dewasa yang memiliki gaya hidup tidak sehat, diabetes tipe 2 biasanya terdeteksi.

Hingga saat ini diabetes belum ditemukan obatnya. Namun mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat seperti anjuran pemerintah melalui gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) bisa mencegah penyakit tersebut muncul di kemudian hari. 

Tiga kegiatan GERMAS yang bisa langsung diterapkan oleh tiap-tiap individu, yaitu:

1. Melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari

2. Mengonsumsi buah dan sayur;

3. Memeriksakan kesehatan secara rutin.

Menkes mengatakan, tiga kegiatan tersebut bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga, dilakukan saat ini juga, dan tidak membutuhkan biaya yang besar

"Germas itu penting. Lakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari. Boleh olahraga yang murah meriah, seperti jalan kaki. Atau bisa juga bersepeda. Banyak sekali kan anak muda yang sepedaan," ujar Nila dalam tayangan live streaming melalui Instagram Kementerian Kesehatan.

Selain aktivitas fisik, fokus Germas juga terkait konsumsi buah dan sayur serta pemeriksaan kesehatan secara rutin. Konsumsi buah dan sayur agar ketercukupan gizi seimbang terpenuhi.

"Cek kesehatan berkala juga. Sekarang banyak remaja usia 10-14 tahun yang kena penyakit tidak menular (PTM). Contohnya, hipertensi dan diabetes. Mungkin kebanyakan konsumsi makanan yang terlalu asin dan junk food (makanan cepat saji)," tambah Nila.

Sepatu Olahraga Sepatu Lari
Ilustrasi Foto Sepatu Olahraga (iStockphoto)

Selaras dengan anjuran pemerintah untuk hidup sehat melalui GERMAS, dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Bhakti Asih, Jakarta, Dr Bhanu, juga menjabarkan pencegahan dini diabetes, khususnya diabetes tipe 2:

1. Siapkan makanan dari rumah

Umumnya makanan yang dibeli di luar memakai minyak yang dipakai berulang-ulang dan bumbu-bumbu yang tidak sehat.

"Salah satu yang bisa saya sarankan (untuk menghindari makanan tidak sehat) siapkan makanan dari rumah," kata Dr. Bhanu.

2. Olahraga yang cukup

Bhanu menyarankan agar individu mengimbangi pola makan sehat dengan berolahraga.

"Olahraga adalah suatu kegiatan ritmik dan berulang. Jadi kalo kita beranggapan 'Saya udah jalan jauh, itu udah keitung olahraga' itu salah, karena itu bukan kegiatan ritmik. Kalau saya makannya juga ngaco, tetap aja bakal kena penyakit suatu hari," katanya.

3. Atur pola makan

Bhanu memaparkan salah satu faktor diabetes tipe 2 dapat timbul adalah karena obesitas atau kelebihan berat badan. Itu sebabnya penting untuk mengatur asupan makan dengan makanan mengandung gizi seimbang.

4. Ikuti keinginan hati

"Ingat yang kita suka juga, jangan memaksa melakukan hal-hal yang tidak disuka. Kalau dipaksa, kita tinggal tunggu kapan dia bakal jatuh ke dalam depresi, akhirnya berontak, engga mau ke dokter lagi, engga mau minum obat lagi, ya akhirnya makin memburuk. Jadi ikuti keinginan hati juga," ujarnya.

Upaya Pemerintah Cegah Diabetes dengan Inovasi

Jadwal Imsak Hari Ini
Menu Sahur yang Perlu Dihindari Bagi Penderita Diabetes / Sumber: iStockphoto

Inovasi pencegahan dan pengendalian diabetes perlu dilakukan agar masyarakat makin memahami penyakit tidak menular (PTM) tersebut. Di Indonesia, pelabelan makanan (food labelling) mulai ditekankan sebagai peringatan kepada masyarakat mengenai makanan dan minuman yang tidak sehat.

Dalam hal ini, pelabelan makanan ditujukan pada makanan yang terlalu banyak mengandung gula, garam, dan lemak. Hal tersebut disinggung oleh Menteri Kesehatan RI ampaikan, Saat ini, Indonesia telah mengeluarkan peraturan untuk industri makanan/minuman kemasan dan siap saji.

Hal tersebut disinggung oleh Menteri Kesehatan RI dalam acara "Ministerial Conference on Diabetes (MCOD)" pada 26-27 November 2018 di Singapura.

Penting untuk memastikan ketersediaan lebih banyak pilihan makanan dan minuman sehat di pasar. Kehadiran makanan sehat dapat mendorong masyarakat mengonsumsi makanan sehat.

"Ini bisa membuat orang-orang mengalihkan konsumsi mereka dari makanan dan minuman ringan ke makanan dan minuman sehat," lanjut Menkes Nila. Strategi ini dapat membuat seseorang terhindar dari diabetes.

Bukan hanya pelabelan makanan, ada juga diabetes registry berupa aplikasi pada telepon seluler yang mendata dan mencatat pencegahan risiko dan kontrol tentang diabetes. Aplikasi tersebut juga memberi peringatan otomatis secara reguler untuk olahraga pada area publik, seperti bandara, stasiun, pasar, dan super market).

Sistem diabetes registry sudah dilakukan di beberapa negara, baik kawasan Asia dan Eropa. Di Spanyol dan Italia, inovasi berupa model pelayanan kesehatan yang strategis. Integrasi pelayanan kesehatan penyakit tidak menular dilakukan bersama Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Pada tahap lebih lanjut, perlu pengkajian lebih tentang rekayasa genetika untuk mengurangi jumlah penderita diabetes tipe 1.

"Untuk mencapai keberhasilan upaya pencegahan dan pengendalian diabetes, diperlukan kerja sama pemangku kepentingan lain di luar sektor kesehatan, baik lintas sektoral di tingkat nasional. Kemudian juga kerjasama di lintas kawasan regional maupun secara global," Menkes Nila menambahkan.

Konferensi MCOD berhasil menyepakati pemahaman mengenai kebutuhan mendesak untuk menangani ancaman epidemi diabetes yang terus meningkat. Kolaborasi dengan kementerian atau lembaga lain (Kemenko PMK, Bappenas, Kemenkeu, Kemenaker, Kementan, Kemenpora, Kemendikbud, Kemenhub, Kemenperin, Kemendag, dan BPOM) dapat diterapkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya