Musim Hujan Tahun 2019 Akhir Oktober, Kenapa Terlambat?

Musim hujan tahun 2019 akan terjadi akhir Oktober, apa alasannya terlambat.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 22 Okt 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2019, 13:00 WIB
20160308-Ilustrasi Hujan-iStockphoto
Musim hujan tahun 2019 baru akan terjadi akhir Oktober, kenapa terlambat. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Musim hujan tahun 2019 di Indonesia diprediksi akan masuk pada akhir Oktober hingga pertengahan November. Informasi tersebut sebagaimana perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belum lama ini. 

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan, awal musim hujan diprediksi mundur 10-30 hari dari normalnya.

Dari laporan BMKG, terlambatnya musim hujan tahun ini dipengaruhi fenomena El Nino yakni kenaikan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik. Fenomena El Nino termasuk panjang pada tahun 2019.

Hal ini berdampak pada bencana kekeringan panjang di berbagai wilayah di Indonesia. Kemarau panjang juga menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang banyak dipengaruhi faktor manusia.

"Menurut berbagai interview (wawancara) dan data lapangan menunjukkan, lahan yang terbakar sebanyak 80 persen berubah jadi lahan perkebunan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan 99 persen karhutla disebabkan oleh ulah manusia," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo sesuai keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Selasa (22/10/2019).

 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Simak Video Menarik Berikut Ini:


Menangani Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran Hutan
Kepala BNPB Doni Monardo meninjau kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bersama Panglima TNI dan Kapolri di Riau pada Minggu (15/9/2019). (Dok Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB)

Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kebakaran hutan hingga Agustus 2019 mencapai 328.000 hektar dan tersebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Aceh hingga Nusa Tenggara Timur. 

Upaya-upaya pemadaman karhutla sudah dilakukan BNPB melalui pemadaman darat oleh tim gabungan, pemadaman udara dengan water bombing, dan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan menaburkan benih garam (NaCl) ke bibit-bibit awan.

Namun, upaya belum cukup maksimal. Doni menyatakan, kedalaman gambut sendiri mencapai hingga 36 meter di dalam tanah sehingga satu-satunya solusi menangani karhutla adalah hujan.

Di sisi lain, mengatasi permasalahan karhutla salah satu caranya dengan pemberdayaan masyarakat daerah karhutla, yakni tidak membakar lahan.


Budidaya Tanaman Produktif

Kebakaran Hutan
Pola kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bahwa hutan dan lahan sengaja dibakar di Kalimantan pada 20 September 2019. (Dok Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB)

Alternatif lain mencegah karhutla berupa gerakan budidaya jenis tanaman produktif yang dapat ditanam di lahan gambut dan menghasilkan pundi-pundi ekonomi, misal nanas, buah naga, cabai, kopi liberica, sagu, dan sukun.

Gambut termasuk vegetasi yang seharusnya basah dan berair. Membiarkan gambut kering berarti memicu gambut menjadi 'batubara muda' (yang mudah terbakar).

"Mengembalikan kodrat gambut yang basah dengan membuat kanal air juga menjadi salah satu alternatif. Ini mencegah terjadinya karhutla agar tidak merugikan manusia dan juga alam seisinya. Kita jaga alam, maka alam jaga kita," tutup Doni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya