Liputan6.com, Jakarta - Ceisy Nita Wuntu (53) harus menjalani terapi trastuzumab untuk kanker payudara HER2-Positif yang diidapnya. Demi kesembuhan, wanita yang tinggal di Manado, Sulawesi Utara harus bolak-balik Manado-Jakarta. Suka duka melawan kanker payudara HER2-Positif stadium 3B lekat di hatinya.
Biaya jutaan rupiah sudah ia habiskan, baik pengobatan maupun perawatan kanker payudara. Ceisy didiagnosis kanker payudara HER2-Positif pada Februari 2018.
Advertisement
Di tengah pengobatan menggunakan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)—BPJS Kesehatan, ia bahkan menyampaikan keluhan soal obat trastuzumab yang pada tahun 2018 tidak lagi terdaftar masuk Formularium Nasional (Fornas).
“Jika ingin mendapatkan trastuzumab ya harus membayar sendiri. Harga obatnya terlalu mahal. Dokter tidak meresepkan trastuzumab. Saya nekat datang ke Kantor Pusat BPJS Kesehatan untuk mengajukan keluhan langsung.
Bahwa obat trastuzumab sangat dibutuhkan,” cerita Ceisy yang ditulis Adhitya Ramadhan dalam buku berjudul Beda Cerita 1Suara: Kisah Kanker Payudara HER2-Positif.
Pada waktu itu, trastuzumab yang tidak masuk Fornas (sekarang kembali masuk Fornas) tetap menjadi pilihan Ceisy terapi. Ia pun harus merogoh kocek sendiri menggunakan trastuzumab. Untuk terapi trastuzumab, harga satu vial sekitar Rp25 juta. Itu belum termasuk biaya pengobatan lain dan tinggal di Jakarta.
“Setelah kemoterapi, saya harus menjalani terapi trastuzumab dan radiasi. Selama terapi kanker payudara di Jakarta, saya mau tak mau meninggalkan kewajiban mengajar bahasa dan sastra Inggris di kampus,” lanjut Ceisy.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Trastuzumab Jadi Obat Berharga
Terapi trastuzumab menjadi salah satu kunci dari pengobatan kanker payudara HER2-Positif. Obat ini tidak efektif digunakan bagi pasien kanker payudara HER2-Negatif. Semakin banyak plus (+/positif), semakin bekerja efektif trastuzumab.
“Pemberian terapi trastuzumab memang dibutuhkan. Sebelum pemberian obat, secara berkala perlu dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Penting juga bagi dokter yang menangani pasien kanker payudara HER2—Positif memerhatikan keluhan yang dirasakan,” jelas dokter spesialis penyakit dalam Andhika Rachman.
Efek trastuzumab bisa terjadi pada beberapa pasien, misal sesak napas atau bengkak di bagian kaki. Jika keluhan diantisipasi, maka risiko pemberian trastuzumab dapat dikelola dengan baik hanya memberikan efek kecil.
Andhika menyampaikan, sebenarnya trastuzumab bisa diberikan kepada pasien kanker payudara HER2-Positif yang sudah stadium lanjut maupun stadium awal. Namun, pemberian trastuzumab direkomendasikan dari stadium awal.
Ini bertujuan meningkatkan harapan hidup pasien. Sayangnya, trastuzumab di Indonesia telah enam kali keluar-masuk Fornas. Tatkala trastuzumab akhirnya kembali masuk Fornas (yang ditanggung BPJS Kesehatan), ketentuan pemberian tidak sesuai dengan rekomendasi para ahli.
Bahwa trastuzumab hanya diberikan pada pasien dengan kanker payudara HER2-Positif yang sudah metastasis dan hanya diberikan maksimal 8 kali pemberian atau untuk lebih kurang 6 bulan.
“Padahal, bukti ilmiah merekomendasikan trastuzumab diberikan selama setahun. Hasilnya akan lebih baik bila diberikan pada pasien kanker payudara HER2-Positif stadium awal,” terang Andhika, yang berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Advertisement
Turunkan Penyebaran Kanker
Berkaitan dengan Fornas, Peraturan Menteri Kesehatan No 22 Tahun 2018 juga memutuskan, petunjuk teknis restiksi penggunaan obat trastuzumab untuk kanker payudara HER2-Positif metastatik pada pelayanan jaminan kesehatan nasional. Artinya, penggunaan obat trastuzumab yang dijamin JKN hanya untuk kanker payudara HER2-Positif stadium lanjut.
Menurut dokter spesialis onkologi radiologi Denny Handoyo, permenkes di atas masih terkesan kurang dipahami tentang siapa yang boleh dan tidak boleh mendapatkan trastuzumab. Dalam permenkes juga dikatakan trastuzumab hanya untuk kanker HER2-Positif yang progresif.
“Progresifnya seperti apa. Kadang membuat ambigu, apakah progresif yang dimaksud itu menyebar secara lokal di area sekitar kanker atau sebaran jauh (hati, ginjal). Harus dijelaskan secara rinci pemaknaan progresifnya seperti apa,” jelas Denny saat ditemui di bilangan Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Kalau pasien didiagnosis kanker payudara HER2-Positif, saat itu juga dia bisa mendapatkan trastuzumab. Denny pun mempertanyakan, apakah kita harus menunggu tumor menyebar atau kambuh (sel kanker aktif lagi setelah operasi). “Kalau kambuh ya bisa tidak berguna trastuzumab. Karena tandanya kanker sudah menyebar,” ujar Denny.
Trastuzumab yang diberikan sejak dini mampu menurunkan penyebaran kanker. Penurunannya lebih dari 50 persen dibandingkan pasien yang tidak dapat mendapat trastuzumab. Seperti halnya Ceisy, trastuzumab yang ia biayai sendiri membuatnya bertahan hidup. Ia menjalani terapi trastuzumab setiap 3 minggu sekali ditambah terapi radiasi.
Obat trastuzumab adalah obat antibodi monoklonal yang dirancang untuk memblok HER2, yakni protein yang dihasilkan oleh gen. Jika berkembang terlalu berlebihan berpotensi menjadi kanker. Trastuzumab pun bersifat terapi target.
Cara kerja trastuzumab, mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dan menekan pertumbuhan HER2 serta menghancurkan tumor. Penggunaan trastuzumab pada kanker payudara HER2-Positif stadium awal maupun lanjut menunjukkan efek menenangkan.
“Obat ini bisa diberikan sendiri sebagai monoterapi (terapi tunggal) atau dikombinasikan dengan kemoterapi, yang mana mampu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara,” Andhika menambahkan.
Terapi Radiasi, Tunda Perkembangan Tumor
Efek trastuzumab akan semakin efektif ketika kanker payudara HER2-Positif tanda marker plus (+) nya semakin besar. Ini akan efektif. Penerapan menjadi terapi setelah tumor diangkat yang ditambah dengan terapi radiasi. Cara ini akan menunda perkembangan tumor. Pemberian trastuzumab semakin dini, semakin kecil kemungkinan tumor berkembang.
Di kota-kota besar, mesin radiasi menggunakan sumber radiasi dengan colokan listrik dan terbilang canggih. Sinar radiasi dibangkitkan hanya dari tegangan listrik. Hal ini didorong adanya pembangkit yang mempercepat gelombang sinar menjadi sinar volton, yang mana ketika ditembakkan mampu menembus DNA.
“Terapi radiasi cepat kok 4-6 menit. Normalnya, satu kali radiasi sehari dengan jeda sekitar 20-24 jam. Efek samping tergantung lokasi tumor. Contohnya, kanker payudara. Kalau lokasi tumor sebelumnya menempel pada payudara atau kulit, maka daerah itu berisiko tinggi. Dampaknya terjadi perubahan warna pada kulit, bukan gosong,” jelas Denny, yang berpraktik di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi.
“Orang bilang, radiasi bisa bikin gosong. Itu zaman dulu. Zaman sekarang, kalau tidak diperlukan, kulit bisa dibuat tidak berubah warna. Tapi kalau tumor menempel pada kulit, maka terapi target mau enggak mau membuat kulit area sekitarnya gosong. Bila lokasi tumor di bawah 5 mm dari permukaan kulit, maka kulit bisa diatur agar tidak berubah warna.”
Lantas bagaimana kita tahu terapi radiasi itu efektif menunda perkembangan kanker payudara HER2-Positif? Efeknya radiasi saat pasien stadium awal, tidak terasa apapun. Bahkan Bisa tidak ada rasa sama sekali.
“Oleh karena itu, biasanya kita buktikan data, baik sebelum maupun sesudah treatmentnya (terapi). Yang dicek itu kadar tumor marker CH153. Bila sebelum terapi tumor marker berada pada angka 100 atau 200-an, setelah dilakukan radiasi, kadarnya lebih terkontrol. Angkanya menjadi normal, di bawah 10 atau 20. Artinya, terapi radiasi efektif,” Denny menekankan.
Efek kemoterapi, target trastuzumab, obat hormon, dan radiasi juga dijalani Yulia. Wanita berusia 33 tahun asal Riau mengalami mual-mual setelah terapi. Apalagi selama melakukan pengobatan, ia harus bergantian dengan suami menyetir mobil dalam perjalanan pulang pergi dari Riau ke Sumatera Barat.
“Efek kemoterapi ya mual-mual. Kalau sudah mual, saya memilih menepi untuk mampir ke warung. Cari sesuatu untuk menghilangkan mual, tapi bukan teh manis hangat. Mual mereda setelah makan es krim,” tutur Yulia sebagaimana ditulis Adhitya dalam buku yang diterbitkan Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) pada Oktober 2019.
Yulia didiagnosis kanker payudara HER2-Positif pada tahun 2017. Demi lebih memastikan sel kanker dalam tubuhnya mati, ia pun menjalani 3 kali kemoterapi tambahan atas permintaan sendiri. Totalnya, Yulia menjalani 6 kali kemoterapi dan 8 kali penggunaan obat trastuzumab. Ia juga menggunakan obat hormon sampai sekarang dan kontrol ke dokter setiap 3 bulan sekali.
Advertisement
Pengobatan Kanker Berbeda Setiap Pasien
Pengobatan kanker payudara HER2-Positif setiap pasien berbeda. Andhika menjelaskan, keputusan pengobatan dan terapi yang akan dijalani pasien biasanya sesuai hasil pemeriksaan patologi anatomi,
Ada kemoterapi, terapi target, radiasi dan operasi. Dokter akan memutuskan jenis terapinya.
“Apa yang perlu dijalani pasien dengan melihat sifat biologi dan derajat kanker. Dokter juga menentukan berapa lama terapi harus dijalani. Keputusan diambil setelah seorang dokter menerima hasil patologi anatomi,” paparnya.
“Dokter akan memeriksa, apakah sel-sel kanker sudah menjalar secara sistemik melalui pembuluh darah atau pembuluh getah bening. Dalam kasus lain, pasien ada yang mendapat terapi hormonal untuk mengendalikan progesteron.”
Yulia yang didiagnosis kanker payudara HER2-Positif stadium 2B melakukan operasi mastektomi atau pengangkatan payudara. Walaupun takut mastektomi, ia ingin pengobatan kanker payudara lebih cepat selesai. Operasi berjalan lancar.
Hasil pemeriksaan di kelenjar getah bening menunjukkan, negatif terhadap metastasis atau penyebaran sel-sel kanker. Ia menjalani pengobatan di Sumatera Barat dengan layanan BPJS Kesehatan. Ceisy juga menjalani kemoterapi pada 29 Maret 2018.
Keputusan penanganan kanker payudara secara umum biasanya pengangkatan tumor. Cara ini meminimalisirkan risiko kekambuhan, khususnya tumor yang berukuran di atas 2 cm. Dokter akan memerhatikan tipe patologi derajat kanker.
“Jika derajat kanker berukuran 2 atau lebih ya harus diradiasi. Perhatikan juga adanya faktor kelenjar getah bening. Adanya keterlibatan kelenjar getah bening, pasien harus diradiasi. Jangan sampai risiko kambuh terjadi dan sel kanker ‘meloncat’ (menyebar ke organ lain),” tutup Denny.