Egoiskah Memilih Berkeluarga Tanpa Anak?

Pasangan suami istri yang menikah di zaman sekarang tak sedikit yang memilih tak ingin memiliki anak.

oleh Melly Febrida diperbarui 27 Des 2021, 18:00 WIB
Diterbitkan 27 Des 2021, 18:00 WIB
pernikahan
ilustrasi menikah/Photo by wendel moretti from Pexels

Liputan6.com, Jakarta - Generasi lalu menikah umumnya mengharapkan kehadiran anak. Namun, pasangan suami istri yang menikah di zaman sekarang tak sedikit yang memilih tak ingin memiliki anak. Meski menikah tak memiliki anak, pasangan suami istri tetap dapat menikmati kehidupan yang bahagia.

Dalam buku Love The Psychology of Atraction dituliskan, sebuah studi yang dilakukan psikolog Amerika Susan Hoffman dan Ronald Levant membandingkan 32 pasangan berusia 25-35 tahun yang berencana tetap tanpa anak dan 20 pasangan dengan usia yang sama yang berencana untuk memiliki anak dalam lima tahun ke depan. Hasilnya, kedua kelompok sama-sama bahagia dan menyesuaikan diri dengan baik.

Satu-satunya perbedaan adalah bahwa wanita yang tidak berencana memiliki anak menganggap diri mereka kurang stereotip daripada mereka yang melakukannya. Itu terjadi pada tahun 1985. 

"Pilihan tidak menjadi orangtua yang semakin terlihat membuat ada kemungkinan bahwa wanita saat ini merasa kurang konvensional untuk tetap tanpa anak," tulis konsultan psikologi Leslie Becker-Phelps. 

Kabar baiknya, pasangan yang berencana memiliki anak atau tidak, menunjukkan sedikit perbedaan pada seberapa bahagianya mereka.

Dalam sebuah studi tahun 2012 tentang wanita yang tak memiliki anak secara sukarela  oleh Gail DeLyser dari Institut Pekerjaan Sosial Klinis, Chicago, mengatakan tidak ada wanita yang menemukan bahwa perimenopause (periode penurunan kesuburan yang mendahului menopause yang tepat) atau menopause membawa penyesalan: mereka hanya senang dengan keputusan mereka setelah itu tidak dapat dibatalkan karena mereka  selalu begitu.

Apabila Anda berada dalam hubungan tanpa anak dan Anda mempunyai pikiran lain atau Anda khawatir nantnya akan mempunya anak, Anda tidak perlu berasumsi bahwa keputusan itu sudah past tidak boleh berubah. Seperti yang ditunjukkan psikolog klinis dan penulis Christine Meinecke mengenai pasangan tanpa anak.

"Pasangan dapat mendefinisikan ulang suatu hubungan sebanyak yang mereka butuhkan," ujarnya.

Jika Anda dan pasangan tidak setuju, komunikasi yang baik jelas penting, karena taruhannya tinggi untuk Anda berdua. 

 

 

Simak Video Berikut Ini:

Apakah Egois?

Berkeluarga dengan tanpa anak itu secara sukarela, sehingga sering menunjukkan bahwa tidak ada yang egois dalam memilih untuk tidak memiliki anak. Ini semua keinginan bersama sehingga tak ada lagi egois.

Sebuah studi oleh Vincen Ciaccio, yang diterbitkan pada tahun 2003, menemukan bahwa di antara 457 sukarelawan yang diwawancarai, alasan memilih untuk menghindari menjadi orangtua sangat bervariasi. Umumnya alasannya karier, kebebasan finansial, privasi, kehidupan sosial, dan kualitas hubungan mereka dengan pasangannya.  

"Pasangan tanpa anak, dengan kata lain, biasanya adalah orang-orang yang bijaksana yang telah mengambil keputusan yang mereka pertimbangkan," ujarnya. 

Menjadi keluarga yang bebas anak secara sukarela, bukanlah keputusan yang sangat disesalkan. Namun, perlu diakui bahwa itu masih merupakan pilihan minoritas, dan pasangan tanpa anak mungkin mendapat tekanan dari pihak luar untuk  mengubahnya.

 

Infografis 5 Cara Penanganan Dini KIPI pada Anak Pasca-Vaksinasi Covid-19

Infografis 5 Cara Penanganan Dini KIPI pada Anak Pasca-Vaksinasi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 5 Cara Penanganan Dini KIPI pada Anak Pasca-Vaksinasi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya