Pakar: Perubahan ke Endemi Harus Perhatikan Aspek Kesehatan, Bukan Politik, Ekonomi dan Sosial

Bila perubahan status dari pandemi jadi endemi dilakukan saat-saat ini, itu lebih ke aspek justifikasi pelonggaran. Epidemiolog Dicky Budiman mengingatkan pentingnya melihat aspek kesehatan dalam hal ini dibandingkan ekonomi dan sosial.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 02 Mar 2022, 21:32 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2022, 17:00 WIB
Angka Pasien Terkonfirmasi Covid 19 di Jakarta Masih Tinggi
Pengendara motor melintasi mural bertuliskan protokol kesehatan COVID-19 di Kawasan Kota Bambu, Jakarta, Selasa (20/10/2020). Sehingga total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 373.109 kasus dengan DKI Jakarta tetap menduduki peringkat pertama dengan 1.000 kasus. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog yang juga praktisi global health security, Dicky Budiman, mengatakan bahwa apa yang masyarakat sebut dengan pandemi tertulis dalam regulasi hukum internasional International Health Regulation sebagai Public Health Emergency International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan masyarakat global yang menjadi perhatian dunia.

"PHEIC itu kita kenal populernya pandemi, suatu kondisi ketika ada penyakit yang menyebar secara global," kata Dicky.

Hanya World Health Organization (WHO) yang bisa menetapkan dan mencabut status PHEIC. Hingga sekarang WHO belum mencabut status tersebut. Itu artinya negara yang terikat dan terlibat pada International Health Regulation harus mengikuti bahwa saat ini dalam kondisi PHEIC COVID-19.

"Jadi, kalau Indonesia atau negara lain mau mengubah status pandemi jadi endemi, epidemi atau bahkan enggak ada pandemi sama sekali, ya berlakukanya di situ saja (di negara tersebut)," kata Dicky.

Dicky menilai bila suatu negara saat ini melakukan perubahan status menjadi negara endemi COVID-19 itu lebih ke arah politik dan ekonomi. Bukan kesehatan.

"Ya gimana pun lebih pada politik dan ekonomi. Bila dipaksakan endemi saat ini, namanya jadi politdemi bukan endemi. Karena hingga sekarang status masih pandemi," terang Dicky dalam pesan suara ke Liputan6.com pada Rabu (2/3/2022).

Pria yang kini berdomisili di Australia ini mengatakan bahwa endemi yang saat ini beberapa negara sebut lebih ke aspek justifikasi pelonggaran protokol kesehatan. Padahal bila menilik kasus COVID-19 masih tinggi belum lagi ada subvarian BA.2, yang diperlukan sekarang adalah berhati-hati.

"Kita jangan ikut-ikutan begitu. Endemi jangan berbasis politik, ekonomi, sosial tapi betul-betul kesehatan," kata Dicky.

Pencabutan Status Pandemi COVID-19: Tunggu Saja dari WHO

FOTO: Testing-Tracing COVID-19 Akan Diintensifkan
Petugas medis melakukan tes usap PCR COVID-19 kepada warga di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta, Kamis (22/7/2021). Pemerintah dalam waktu dekat akan meningkatkan testing dan tracing di wilayah padat penduduk. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Berbicara mengenai perubahan status pandemi, Dicky mengatakan untuk mengikuti WHO. Pada gilirannya nanti akan tiba pencabutan status PHEIC.

Diprediksi potensi status pandemi bakal dicabut WHO pada akhir 2022 atau paling lambat di awal 2023. "Itu prediksi optimis saat ini," katanya.

Dia menduga tampaknya prediksi itu sesuai rencana karena salah satu dasar perubahan status adalah 70 persen populasi dunia sudah divaksin dua dosis hingga akhir tahun nanti. Indonesia menargetkan 70 persen populasi dapat vaksinasi lengkap sebelum bulan Ramadan tahun ini.

Menanti perubahan status, Dicky menekankan agar Indonesia mempersiapkan pondasinya."Yang paling penting pondasinya, mulai dari cakupan vaksiansi hingga temuan kasus, itu yang penting."

Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron.

Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya