Liputan6.com, Jakarta Hingga saat ini, perkembangan teknologi pengobatan kanker terus memberikan peningkatan dalam hal harapan dan kualitas hidup pasiennya.
Namun tak dapat dimungkiri, alokasi dana untuk penanganan kanker di Indonesia juga masih mengalami keterbatasan. Terutama untuk menambahkan berbagai pengobatan yang inovatif dalam cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Baca Juga
Terkait hal ini, Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI), dr Hasbullah Thabrany mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan sebagai pengelola JKN mengalami defisit.
Advertisement
Akibatnya terjadinya pengurangan dan pembatasan beberapa manfaat yang masuk dalam cakupan JKN, tanpa diimbangi dengan inovasi untuk mengatasi hal ini.
Padahal, menurut studi yang dilakukan oleh The Swedish Institute for Health Economics (IHE), negara dengan alokasi pembiayaan kanker yang lebih tinggi menunjukkan keberhasilan penanganan kanker yang juga lebih baik.
"Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus mengurangi beban biaya dengan membatasi manfaat layanan pengobatan dalam program JKN, tapi perlu segera mencari ide-ide inovatif untuk meningkatkan alokasi pembiayaan sehingga pasien-pasien," ujar Hasbullah dalam seminar media pada Sabtu, (5/3/2022).
"Terutama penyintas kanker, tetap dapat memperoleh layanan terapi kanker yang paling optimal dan memberikan harapan hidup lima tahun lebih panjang serta kualitas hidup yang lebih baik," tambahnya.
Mencari Solusi Strategis
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan danManajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM, dr Diah Ayu Puspandari mengungkapkan, untuk mengatasi masalah keterbatasan biaya kesehatan, pemerintah sebenarnya perlu untuk mencari solusi yang strategis.
"Salah satunya dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana yang ada untuk dialokasikan ke sektor kesehatan," kata Diah.
Diah menjelaskan, sebenarnya pemerintah sudah mulai menerapkan hal ini dengan mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan.
Namun, di tahun 2021, alokasi dana untuk sektor kesehatan tersebut turun dari 50 persen menjadi 25 persen.
"Kami berharap pemerintah pusat dapat merelokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50 persen atau memberikan fleksibilitas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah," ujar Diah.
Advertisement