Liputan6.com, Bandung Penyakit tuberkulosis bronchus (TB) sulit dientaskan di Indonesia. Dua diantaranya karena pandangan negatif dari lingkungan dan pasien itu sendiri.
Bila tidak diatasi, seluruh pandangan negatif itu dapat menyebabkan diri orang dengan TB terisolasi dari lingkungan sosial dan berimbas pada ketidakpatuhan untuk mengikuti pengobatan.
Baca Juga
Mereka memilih untuk menarik diri dari berbagai aktivitas sosial dan pelayanan-pelayanan masyarakat yang berbasis support group, maupun program bantuan materi.
Advertisement
"Orang dengan TB yang memiliki stigma internal cenderung memiliki pikiran dan perasaan takut akan dihakimi oleh orang lain, serta rasa malu dan bersalah terhadap diri sendiri," jelas peneliti Sinergantara, Siti Fatimah, ditulis Bandung, Sabtu, 23 Juli 2022.
Siti mengatakan akibatnya, tak jarang pasien TB putus dalam menjalani pengobatan. Pengobatan TB bisa memakan waktu berbulan-bulan tergantung kategori TB.
Â
Penyusunan Rekomendasi Penanganan TB
TB Stigma Assesment yang dilakukan lembaga Sinergantara, Bandung, bekerja sama dengan Konsorsium Penabulu-STPI, juga dilakukan untuk menyediakan landasan penyusunan rekomendasi kebijakan dalam mengatasi stigma TB.
Hal ini diharapkan dapat mendorong penyediaan layanan TB yang bermutu, aksesibel, dan dapat diterima oleh semua.
"Asesmen ini penting dilakukan untuk membangun pengetahuan dan mengidentifikasi bukti-bukti yang berkenaan dengan persoalan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan TB di Indonesia," jelas Siti.
Lebih lanjut, Siti menuturkan hasil asesmen dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi persoalan-persoalan HAM terhadap munculnya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan TB di Indonesia.
Siti berharap sejumlah kementerian, beserta dan dinas-dinas di bawahnya, serta lembaga-lembaga nonpemerintah terkait, dapat saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk mempercepat eliminasi TB.
Â
Â
Advertisement
Rekomendasi ke Kemenkes
Beberapa rekomendasi dari penelitian ini telah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, serta Komnas Perempuan.
"Salah satu dari rekomendasi yang diberikan adalah kepada Kementerian Kesehatan, yakni penguatan edukasi bagi kader, selain tenaga kesehatan," ungkap Siti.
Kelompoknya meminta agar semua kader yang membantu program eliminasi TB, baik itu pendamping minum obat atau PMO, kader TB, maupun kader kesehatan, mendapatkan pelatihan HAM sebagai salah satu persyaratan untuk mendampingi orang dengan TB.
Peran kader TB, sebagai salah satu ujung tombak eliminasi TB, dapat dimaksimalkan untuk membantu mengurangi stigma eksternal yang dihadapi oleh orang dengan TB.
Â