Liputan6.com, Jakarta - Penyakit kanker masih menjadi satu dari tiga penyakit tidak menular (PTM) dengan prevalensi dan tingkat kematian tertinggi di samping penyakit jantung dan stroke.
Berdasarkan data Globocan 2020, terdapat 396.914 kasus baru kanker di Indonesia dengan 234.511 kematian akibat kanker. Di sisi lain, ketimpangan jumlah dan penyebaran fasilitas pelayanan kanker dan terbatasnya jumlah tenaga medis ahli khusus kanker masih menjadi tantangan dalam penanganan kanker di Indonesia.
Baca Juga
Hal ini melatarbelakangi berdirinya kolaborasi antara Pusat Kanker Nasional RS Kanker Dharmais dengan Roche Indonesia yang didukung Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).
Advertisement
Kemitraan multi-pihak ini fokus pada upaya peningkatan hasil tata laksana kanker melalui tiga program utama yaitu program telementoring ECHO (Extension for Community Healthcare Outcomes), pengembangan kapasitas perawat onkologi, dan implementasi peran Navigator Pasien Kanker (NAPAK).
Telementoring ECHO adalah bagian dari Pelatihan Keperawatan Onkologi Dasar yang dilakukan secara virtual. Kolaborasi ini juga mendorong pembelajaran untuk 31 orang penerima beasiswa perawat spesialis onkologi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Diikuti dengan pembelajaran untuk 25 orang peserta program Navigator Pasien Kanker di Tata Memorial Center India.
Ketiga bentuk kemitraan tersebut juga merupakan upaya mendukung percepatan pencapaian agenda transformasi kesehatan yang dicanangkan Kementerian Kesehatan. Khususnya dalam aspek peningkatan hasil penanganan kanker di Indonesia.
Dalam kemitraan ini, Roche Indonesia turut menggandeng Pusat Kanker Nasional RS. Kanker Dharmais, serta berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), Himpunan Perawat Onkologi Indonesia (HIMPONI), Tata Memorial Centre (TMC) India dan ECHO, University of New Mexico, USA.
Telementoring Kanker
Project Telementoring Extension for Community Healthcare Outcomes (ECHO) merupakan model telementoring inovatif yang menghubungkan tenaga kesehatan di daerah (spoke) dengan spesialis atau ahli di pusat rujukan (hub).
Dengan cara ini, pasien bisa ditangani di daerah tanpa harus selalu dirujuk. Berlangsung sejak tahun 2021, Program ECHO menargetkan untuk mendirikan 10 hub layanan kanker yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat hingga timur dengan partisipasi lebih dari 100 rumah sakit (spokes) pada tahun 2024.
“Telementoring ECHO bisa mengembangkan jejaring tenaga kesehatan khusus kanker di berbagai daerah serta ekosistem pelayanan kanker yang lebih baik,” tutur Direktur Utama RS. Kanker Dharmais dr. Soeko W. Nindito, MARS, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/11/2022).
RS. Kanker Dharmais menjadi hub pertama di Indonesia yang menaungi berbagai rumah sakit di daerah. Hingga tahun 2022, program telementoring ECHO telah diterapkan dalam 3 fokus area yakni kanker anak, kanker payudara serta deteksi dini kanker payudara. Khusus untuk deteksi dini kanker payudara, program ini menggandeng Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) untuk para kader kesehatan dan bidan dua Puskesmas di daerah Kabupaten Tangerang.
Program ECHO telah menjangkau lebih dari 240 tenaga kesehatan yang berada di 23 rumah sakit di berbagai daerah di Indonesia.
RSUP dr Sardjito Yogyakarta akan mengikuti Langkah RS Dharmais untuk menjadi hub kedua bagi rumah sakit daerah di area Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. RSUP dr Sardjito akan memulai program ECHO pada 4 November 2022 dengan fokus pada kanker payudara. Sesi pertama ditargetkan untuk diikuti kurang lebih 70 peserta dari 11 rumah sakit daerah dan 12 rumah sakit vertikal.
Advertisement
Penguatan Kapasitas Tenaga Perawat Onkologi
Dalam penanganan kanker, perawat spesialis onkologi sebagai mitra kerja dari spesialis onkologi juga memiliki peran penting.
Perawat onkologi di Indonesia masih mengandalkan on-the-job training dan sering dirotasi sehingga membatasi pengalaman perawat dalam onkologi dan hampir tidak ada perawat spesialis onkologi di Indonesia saat ini.
Kondisi ini berkontribusi pada rendahnya kualitas perawatan pasien, kelelahan perawat dan hasil perawatan kanker yang tidak optimal.
Menjawab kebutuhan tersebut, maka dibuatlah program untuk membangun kapasitas perawat onkologi melalui program beasiswa perawat spesialis onkologi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Ini meliputi pula Program Pelatihan Keperawatan Onkologi Dasar dan pengembangan pusat pelatihannya.
Dekan FIK-UI mengatakan Agus Setiawan, S.Kp., M.N., D.N., mengatakan, program studi perawat spesialis onkologi di FIK-UI merupakan yang pertama dan masih menjadi satu-satunya di Indonesia.
Ini adalah strategi jangka panjang untuk membangun kapasitas perawat onkologi. Untuk program beasiswa spesialis onkologi di UI, para penerima beasiswa akan mengikuti program magister dan spesialis selama 3 tahun.
“Diharapkan pasca lulus, para perawat tersebut mampu menjadi mitra ahli onkologi di rumah sakitnya masing-masing. Target kami adalah menggandeng universitas lain untuk membuka program studi serupa agar setidaknya ada satu perawat spesialis onkologi di tiap provinsi sehingga semua lapisan masyarakat akan mendapatkan layanan dari perawat onkologi yang berkualitas,” kata Agus ketika ditemui di acara yang sama.
Navigasi Pasien Kanker
Inisiatif lain yang juga diusung dalam kemitraan ini adalah program Navigator Pasien Kanker (NAPAK). Program ini menghadirkan peran profesional NAPAK di rumah sakit dan mengintegrasikannya ke dalam sistem perawatan sepanjang perjalanan pengobatan pasien untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Minimalisasi berbagai hambatan yang ditemui pasien kanker menjadi tujuan dari program ini. Beberapa hambatan yang acap kali dihadapi pasien kanker adalah komunikasi yang kurang jelas, waktu tunggu yang lama, administrasi yang kompleks, ketidakpercayaan terhadap kemampuan tenaga kesehatan dan kurangnya empati. Meski peran NAPAK telah diakui di berbagai negara, peran ini belum ada di Indonesia.
Program kemitraan NAPAK memberikan beasiswa pelatihan profesional, pendampingan pelaksanaan NAPAK dalam sistem pelayanan rumah sakit, dan transfer pengetahuan melalui bantuan teknis untuk mengembangkan kurikulum lokal. Mencakup pula pembentukan pusat pelatihan lokal NAPAK dengan akreditasi nasional.
Direktur Tata Memorial Centre (TMC) Dr Rajendra Badwe menjelaskan lebih lanjut terkait konsep NAPAK.
“Navigator Pasien Kanker akan dibekali dengan pengetahuan mendalam tentang penyakit, nilai ekonomi perawatan, hingga pemahaman efek samping terapi. Sehingga, saat Navigator berbicara dengan pasien, mereka dapat berperan sebagai anggota tim dokter, namun saat berbicara dengan dokter, dapat memposisikan diri seperti anggota keluarga pasien,” katanya melalui video singkat.
Kini, sebanyak 25 tenaga kesehatan profesional (dokter dan perawat) dari 8 rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia telah terpilih untuk mengikuti program pelatihan selama satu tahun. Dengan menggunakan metode pembelajaran blended learning, para peserta akan mendapatkan pelatihan virtual selama dua bulan dan pelatihan langsung di TMC Mumbai selama tiga bulan.
Mereka juga akan menjalani on-the-job training di rumah sakit masing-masing selama enam bulan dengan pendampingan intens dari TMC.
“Kami percaya kemitraan ini dapat menjadi cetak biru bagaimana sektor swasta dan publik dapat bertindak aktif dan bekerja sama untuk kepentingan masyarakat Indonesia,” kata Presiden Direktur PT Roche Indonesia dr. Ait-Allah Mejri dalam acara tersebut.
Advertisement