Liputan6.com, Jakarta - Stunting adalah kondisi gagal timbuh pada balita akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama, paparan infeksi berulang, dan kurang stimulasi. Anak yang stunting biasanya lebih pendek jika dibandingkan anak seusianya.
Stunting menjadi masalah serius, sebab ini tidak hanya mempengaruhi bentuk fisik anak-anak, tetapi juga fungsi kognitifnya. Menurut Ketua Tim Kerja Pemberdayaan dan Penggerakan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dwi Adi Maryandi, SKM, MPH, kognitif menjadi permasalahan utama dalam kasus stunting.
Baca Juga
Anak yang stunting dengan yang tidak stunting kognitifnya beda, ujar Adi. Otak anak stunting tidak terbentuk baik dan dapat berdampak panjang. Beberapa dampak stunting yaitu:
Advertisement
1. Penurunan kecerdasan
IQ anak stunting rata-rata 11 poin lebih rendah. Ini tentunya mengancam masa depan bangsa.
2. Produktivitas rendah
Anak stunting diestimasi memiliki penurunan kapasitas penghasilan sebesar 22 persen. Ini mengakibatkan produktivitas dunia usaha dapat menjadi tidak kompetitif.
3. Risiko terkena penyakit kronis tinggi
Anak stunting memiliki probabilitas kematian 3 kali lipat akibat kematian yang mengakibatkan beban kesehatan negara dapat membengkak.
Meskipun demikian, masih banyak anak Indonesia yang stunting. "23 persen bayi lahir itu sudah stunting," ujar Adi dalam konferensi pers Peringatan Hari Kekurangan Zat Besi Sedunia 2022 dan Peluncuran Anemia Meter pada Rabu (3/11/2022).
Inilah mengapa intervensi diperlukan. Intervensi harus dimulai sebelum bayi lahir—bahkan sejak perempuan yang akan menjadi calon ibu masih di usia remaja. Jika tidak diintervensi, maka angkanya akan semakin tinggi.
Â
Anemia Sebabkan Stunting
Stunting dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu pola makan. Maka penting untuk memastikan remaja putri sehat dan memperoleh semua nutrisi yang dibutuhkan. Salah satu nutrisi yang penting bagi tubuh ialah zat besi.Â
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan anemia atau kurang darah. Remaja putri yang terkena anemia, besar kemungkinannya mengalami hal yang sama ketika hamil.
Apabila ibu hamil terkena anemia, maka dapat menimbulkan berbagai komplikasi persalinan. Selain itu, kemungkinan anak yang dilahirkan stunting menjadi lebih tinggi.
"Ketika dia dewasa dia akan menjadi calon ibu, dan tentu berisiko kembali terhadap berat bayi lahir rendah, komplikasi persalinan, ya, dan ketika anaknya nanti lahir akan terjadi stunting," jelas Adi.
"Bayinya ada risiko lahir dengan berat badan yang rendah yaitu kurang dari 2,5 kg."
Untuk menghindarinya, Anda harus memastikan bahwa zat besi yang dikonsumsi cukup. Adi mengungkapkan, pemenuhan kebutuhan zat besi ini harus dimulai sejak dini.
Advertisement
Pentingnya Tablet Tambah Darah
Cara untuk memastikan remaja cukup asupan zat besi adalah dengan mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) secara teratur.
"Minimal satu kali dalam seminggu mereka bisa konsumsi tablet tambah darah," ucapnya.
Meskipun demikian, Adi mengungkapkan bahwa masih banyak remaja putri yang enggan mengonsumsi tablet tambah darah.Â
"Dari sekitar 12 juta remaja putri yang ada gitu, ya, kurang lebih, ya, roughly 8,3 jutanya itu tidak mengonsumsi tablet tambah darah dan berisiko anemia," tuturnya.
Adi mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan telah mendistribusikan TTD ke seluruh puskesmas di Indonesia, sehingga tiap sekolah dapat berkoordinasi dengan pihak puskesmas untuk mendapatkan TTD. Upaya ini diharapkan dapat membantu remaja putri tumbuh sehat tanpa anemia dan mengurangi angka stunting di kemudian hari.
Konsumsi tablet tambah darah tidak hanya pada remaja, tetapi juga ibu hamil. Menurut Adi, calon ibu harus mengonsumsi minimal 90 tablet penambah darah selama kehamilan. Selain itu, penting untuk memeriksa kehamilan minimal 6 kali.
Cara Pencegahan Lainnya
Risiko stunting meningkat 1,8 kali pada usia 6 hingga 23 bulan. Untuk mencegah hal tersebut, hal-hal lain yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan yaitu mengonsumsi makanan bergizi seimbang guna memperoleh semua nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Bayi yang berusia di atas 6 tahun perlu mengonsumsi protein hewani setiap hari.
Ibu juga perlu memberi ASI eksklusif 6 bulan yang dilanjutkan hingga usia 2 tahun serta rutin datang ke posyandu setiap bulan untuk memantau pertumbuhan balita
Selain upaya di atas, edukasi juga berperan penting dalam upaya intervensi pencegahan stunting. Pengetahuan remaja akan gizi serta stunting perlu ditingkatkan. Ini bertujuan agar para remaja putri tidak menolak mengonsumsi tablet tambah darah.
Stunting telah menjadi masalah nasional mengingat angka kasusnya yang tinggi. Intervensi memang dapat dilakukan ketika bayi sudah lahir. Meskipun demikian, perawatan yang dibutuhkan untuk bayi yang lahir dalam keadaan stunting tidak murah.
Ini dapat mengganggu perekonomian keluarga, ditambah risiko yang dialami si anak dalam pertumbuhannya. Oleh karena itu, lakukan pencegahan sedini mungkin.
Â
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement