IDI Dorong Pemda Mendata Jumlah Dokter Spesialis di Tiap Daerah

Kebutuhan jumlah dokter spesialis di tiap daerah harus didata lebih rinci.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Des 2022, 19:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2022, 19:00 WIB
Ilustrasi dokter. Photo by Karolina Grabowska/ Pexels
Ilustrasi dokter. Photo by Karolina Grabowska/ Pexels

Liputan6.com, Jakarta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk mendata jumlah dokter spesialis yang dibutuhkan di tiap kabupaten/kota. Hal ini lantaran pendataan berapa jumlah kebutuhan dokter spesialis secara spesifik per daerah selama ini belum ada.

Pernyataan di atas disampaikan Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi yang merespons soal kabar Indonesia kekurangan dokter spesialis. Dari sisi produksi dan distribusi dokter spesialis, setiap daerah berbeda-beda. Utamanya, memerhatikan kearifan lokal – kebutuhan dokter di daerah setempat.

“Kalau kita bicara produksi dan distribusi, mismatch-nya (ketidakcocokan) di mana? Kita tidak pernah bicara kebutuhan dokter di Indonesia berapa sih? Kalau ada perhitungan, itupun kita bicara secara nasional, tapi kita belum pernah spesifik per wilayah,” jelasnya saat ‘Media Briefing: Pendidikan Kedokteran dan Distribusi serta Proses Pendidikan Kedokteran Spesialis’ di Kantor PB IDI Jakarta, Selasa (13/12/2022). 

“Kalau formasi dokter di wilayah harus menyesuaikan kebutuhan prioritas dokter spesialis dan ini spesifiknya berbeda-beda. Sekarang istilahnya bukan lagi  globalisasi, melainkan localization artinya globalisasi yang tetap memerhatikan kearifan lokal – kebutuhan dokter per wilayah. Itu yang harus diutamakan.”

Untuk menyesuaikan kebutuhan jumlah dokter spesialis, pemda perlu melakukan asesmen dengan pendataan lebih rinci. Dari upaya ini akan terlihat berapa sebenarnya jumlah dokter spesialis yang dibutuhkan di tiap kabupaten/kota.

“Bicara terkait dengan produksi dan distribusi, mismatch-nya itu yang pertama, yang kita dorong sekarang adalah daerah melakukan asesmen, berapa jumlah dokter dan dokter spesialis di tiap kabupaten/kota,” terang Adib.

“Jadi kita punya formasi nanti (soal jumlah dokter spesialis).”

Ketersediaan Fakultas Kedokteran

Deskriptif
Ilustrasi Penelitian Deskriptif Credit: unsplash.com/Sono

Selanjutnya, setelah ada asesmen berapa jumlah dokter spesialis di tiap kabupaten/kota, baru dapat mendata berapa kira-kira jumlah fakultas kedokteran yang diperlukan. Lalu, di daerah mana saja perlu ketersediaan fakultas kedokteran.

“Dari pendataan asesmen jumlah dokter spesialis, nanti menjadi sebuah cerminan, berapa sih fakultas kedokteran yang diperlukan, di mana saja fakultas kedokteran dibutuhkan,” Adib Khumaidi melanjutkan.

Adib memberikan contoh seperti halnya di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Ada sekitar 700 mahasiswa kedokteran. Artinya, Universitas Cenderawasih sudah mempersiapkan tenaga medis, dokter dan dokter spesialis untuk dapat mengabdi di Papua.  

“Saya ambil contoh di Universitas Cendrawasih, ini hasil obrolan saya dengan rekan-rekan dokter di sana. Saat ini ada sekitar 700 mahasiswa, sebagian untuk tenaga kesehatan daerah, dan mereka akan disiapkan untuk itu,” tuturnya.

“Intinya, mereka (Universitas Cendrawasih) sudah menyiapkan tenaga medis dokter di wilayahnya kelak. Nanti dari situ, baru deh, butuhnya apa sih di Papua, Oh dokter spesialis A, B, C, D, E. Kemudian apa saja yang dibutuhkan, sarana dan prasarananya.”

Hidupkan Layanan Kesehatan

FOTO: Memantau Pertumbuhan Balita Lewat Imunisasi Rutin
Dokter memeriksa stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak usia 5 dan 2 tahun di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta, Kamis (12/11/2020). Pemantauan pertumbuhan balita dan batita dilakukan dengan imunisasi secara rutin pada anak usia 0-9 bulan dan 18 bulan. (merdeka.com/Imam Buhori)

Dalam penyiapan tenaga medis sebagaimana contoh di Universitas Cenderawasih, Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi menekankan, dari jumlah 700 mahasiswa dapat diseleksi untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dokter spesialis.

“Termasuk diambil dari 700 mahasiswa itu putra putri terbaik. Kalaupun kita perlu seleksi ya tentu dengan kearifan lokal sesuai kebutuhan di Papua. Kita juga bisa nanti, dari 700 mahasiswa, diseleksi untuk kebutuhan mendapat beasiswa dan itu sudah jalan,” imbuhnya.

“Saya kemarin ketemu teman-teman yang dulunya dokter umum, mereka sekarang di Papua sudah jadi urolog, bedah saraf, ortopedi, dan spesialis lainnya. Mereka benar-benar memerankan luar biasa untuk menghidupkan pelayanan kesehatan di Papua.” 

Menilik cerminan keberhasilan rekan-rekan dokter di Papua yang kini sudah menjadi dokter spesialis, hal itu adalah sebuah fakta yang sangat bagus. Bahwa jumlah dokter spesial yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah.

“Itu sebuah fakta, kita yakin dorong itu. Bicara mismatch tadi ya sekiranya kita punya sekarang berapa jumlah dokter dan dokter spesialis di tiap wilayah kabupaten/kota dulu,” pungkas Adib.

“Kita enggak bisa ngomong jumlah dokter di depan, tapi harus ada link-match (hubungan-kecocokan), Oh kebutuhan dokter spesialis itu sekian. Jangan hanya sekadar dibandingkan seperti 1 banding 100.000 dokter spesialis. Ya kan spesialis tertentu memang harus ada.”

Jumlah Dokter Spesialis Belum Merata

Mencegah Stunting dengan Pemeriksaan Rutin Kehamilan di Puskesmas
Ibu hamil berkonsultasi dengan dokter di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Jakarta, Kamis (26/11/2020). Pemeriksaan rutin kehamilan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungan merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah stunting. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Terkait distribusi dokter spesialis, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mendorong perguruan tinggi memproduksi lebih banyak dokter spesialis. Sebab, jumlah dokter spesialis yang ada saat ini masih sangat kurang dan belum merata di seluruh Indonesia.

“Saat ini, kita kekurangan banyak dokter spesialis. Karenanya saya membutuhkan bantuan dari universitas untuk memperbanyak dan mengakselerasi produksi dokter spesialis,” kata Menkes dalam Sidang Terbuka Dies Natalis ke-68 Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (9/11/2022).

Budi Gunadi menyebut salah satu layanan yang masih kekurangan banyak dokter spesialis adalah layanan kesehatan jantung. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) kini baru berjumlah 1.485 orang. 

Sayangnya, jumlah ini, menurut Menkes Budi Gunadi masih jauh dari kebutuhan. Idealnya, 1 dokter jantung melayani 100.000 orang. Namun, sekarang yang ada yakni satu dokter jantung harus melayani sebanyak 250.000 orang.

Kekurangan ini berdampak pada pelayanan pasien jantung di fasilitas pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal. Akibatnya, banyak pasien yang meninggal dunia.

Infografis 7 Tips Paling Efektif Kurangi Penyebaran Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 7 Tips Paling Efektif Kurangi Penyebaran Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya