Liputan6.com, Jakarta - Rasa ingin tahu tertanam dalam diri manusia. Keingintahuan ini membantu seseorang untuk belajar dan bertahan hidup. Menurut salah satu psikolog modern William James, rasa ingin tahu merupakan dorongan menuju kognisi yang lebih baik.
Lebih lanjut, para psikolog setuju bahwa rasa ingin tahu bukan tentang pemenuhan kebutuhan mendesak seperti lapar atau haus, melainkan merupakan motivasi intrinsik.
Baca Juga
Rasa keingintahuan mencakup serangkaian perilaku yang begitu banyak, dan kononnya memang memiliki komponen genetik. Gen dan lingkungan berinteraksi melalui beragam cara kompleks untuk membentuk individu dan memandu perilakunya, termasuk rasa penasaran.
Advertisement
Sebuah studi tahun 2007 yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B, Biological Science mengidentifikasi perubahan pada jenis gen tertentu yang lebih umum pada individu yang gemar menjelajahi lingkunganya.
Pada manusia, mutasi pada gen ini, yang dikenal sebagai DRD4, dikaitkan dengan kecenderungan seseorang untuk mencari tahu hal-hal baru.
Kendati demikian, terlepas dari susunan genetik seseorang, bayi harus mempelajari sejumlah besar informasi dalam waktu singkat, dan rasa ingin tahu adalah salah satu alat yang digunakan manusia untuk melakukannya.
"Jika bayi tidak penasaran, mereka tidak akan pernah belajar apa pun dan tidak dapat berkembang, ujar dosen Language and Communicative Development di University of Manchester Katherine Twomey kepada Live Science.
Ratusan penelitian menunjukkan bahwa bayi lebih menyukai hal baru. Dalam sebuah studi klasik tahun 1964, seorang psikolog menunjukkan bahwa semakin sering melihatnya, bayi berusia antara 2 bulan hingga 6 bulan semakin tidak tertarik pada pola visual yang kompleks.
Sebuah studi lain tahun 1983 dalam jurnal Developmental Psychology yang meneliti bayi berusia 8 hingga 12 bulan menunjukkan bahwa begitu bayi terbiasa dengan mainan yang sudah familier, mereka akan memilih mainan baru.
Keingintahuan Perseptual
Preferensi akan hal-hal baru ini disebut keingintahuan perseptual (perceptual curiosity). Inilah yang memotivasi hewan, bayi, dan mungkin orang dewasa untuk mengeksplorasi dan mencari hal-hal baru sebelum merasa bosan akan suatu hal akibat sudah terlalu familier.
Layaknya yang ditunjukkan oleh penelitian di atas, bayi melakukan ini sepanjang waktu. Mengoceh adalah salah satu contohnya.
"Eksplorasi yang dilakukannya adalah ocehan sistematis," ucap Twomey. Umumnya, bayi yang baru berusia beberapa bulan mulai mengoceh tidak jelas untuk belajar berbicara.
Ocehan menunjukkan kegunaan keingintahuan perseptual. Ini dimulai sebagai eksplorasi yang sepenuhnya acak tentang apa yang dapat dilakukan anatomi vokalnya.
"Lama-kelamaan, mereka akan menemukan sesuatu dan berpikir 'Kedengarannya itu seperti sesuatu yang akan dilakukan ibu atau ayah saya'," katanya. Merasa bahwa hal itu benar, bayi akan melakukannya lagi dan lagi.
Namun, ini tidak hanya terjadi pada bayi. Gagak terkenal karena menggunakan rasa ingin tahu perseptual sebagai sarana pembelajaran. Misalnya, dorongan untuk menjelajahi lingkungan membantu gagak belajar membuat alat sederhana yang digunakan untuk memancing larva keluar dari celah yang sulit dijangkau.
Selain itu, eksperimen dengan robot yang diprogram untuk menjadi selalu ingin tahu menunjukkan bahwa eksplorasi adalah cara yang ampuh untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
Advertisement
Keingintahuan Epistemik
Jenis rasa penasaran yang lain disebut keingintahuan epistemik (epistemic curiosity). Rasa ingin tahu ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan menghilangkan ketidakpastian.
Menurut seorang profesor antropologi di Princeton University Agustín Fuentes, bentuk keingintahuan inilah yang membedakan manusia dari hewan lain. Ini juga membuka jalan bagi manusia untuk mengisi hampir setiap sudut dunia, dan berhasil mengembangkan teknologi dari zaman purba hingga sekarang.
Manusia mampu membayangkan hingga menciptakan hal-hal baru yang bermula dari rasa ingin tahu, ujar Fuentes.
Meskipun demikian, rasa ingin tahu juga memiliki risiko. Risiko yang dipertaruhkan dalam perwujudan keingintahuan tersebut bervariasi.
Hanya karena manusia dapat membayangkan sesuatu, tidak berarti hal itu akan berhasil, setidaknya tidak pada awalnya. Namun, tetap saja, kegagalan merupakan fase yang wajar dialami untuk tumbuh dan berkembang.
Misalnya, banyak bayi yang sangat mahir merangkak, tetapi memutuskan untuk belajar berjalan karena ada lebih banyak yang dapat dilihat dan dilakukan ketika berdiri tegak, terang Twomey. Meski tentu saja, bayi tidak berhasil melakukannya dalam dalam sekali percobaan.
Rasa Penasaran Juga Punya Risiko
Sebuah studi yang meneliti anak berusia 12 hingga 19 bulan yang belajar berjalan menunjukkan bahwa anak-anak ini sering jatuh. Tujuh belas kali per jam, tepatnya.
"Akan tetapi, berjalan lebih cepat daripada merangkak, jadi ini memotivasi bayi yang merangkak untuk mulai berjalan," tulis para peneliti dalam studi tahun 2012 yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science.
Di sisi lain, menguji ide baru dapat menyebabkan kekacauan. "Rasa ingin tahu menyebabkan sebagian besar populasi manusia punah," ungkap Fuentes.
Misalnya, Inuit (penduduk asli Amerika) yang hidup di wilayah lingkar Arktik seperti Greenland, Kanada dan Alaska, serta orang-orang Sámi di bagian utara Eropa, menemukan cara luar biasa untuk menghadapi tantangan hidup di iklim utara.
Namun, yang sering dilupakan adalah fakta bahwa terdapat puluhan ribu populasi yang tidak mampu bertahan di lingkungan yang menantang tersebut, katanya.
Pada akhirnya, rasa keingintahuan adalah tentang bertahan hidup. Tidak semua manusia yang penuh rasa ingin tahu hidup untuk mewariskan kegemarannya sebagai bahan eksplorasi bagi keturunannya.
Kendati demikian, orang-orang yang melakukannya membantu menciptakan individu yang selalu berpikir, "Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika bla bla bla."
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement