RUU Kesehatan Disahkan Jadi Undang-Undang, CISDI Nilai Terburu-Buru dan Tidak Transparan

CISDI mengecam keras langkah DPR RI mengesahkan RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna kemarin.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 12 Jul 2023, 09:00 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2023, 09:00 WIB
DPR Sahkan RUU Kesehatan Jadi UU
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyambut baik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang akan disahkan oleh DPR RI. Jokowi berharap UU Kesehatan dapat memperbaiki pelayanan kesehatan di Indonesia. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah resmi menjadi Undang Undang Kesehatan kemarin, Selasa, 11 Juli 2023. Ketua DPR RI Puan Maharani telah mengetuk palu pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang.

Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan itu mendapat respons berbagai pihak, salah satunya Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).

CISDI mengecam keras langkah DPR RI mengesahkan RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna kemarin.

CISDI menilai penyusunan RUU Kesehatan dilakukan secara terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut yakni proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada punlik secara resmi sebelum pengesahan. Selain itu, CISDI berpendapat, pengesahan RUU menjadi UU itu juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiil dalam RUU Kesehatan.

"Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti," ungkap Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih melalui keterangan resmi yang diterima Liputan6.com.

Diah mengatakan, tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Setelah Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan terkait RUU Kesehatan bersama pemerintah pada 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tidak jelas keberadaannya.

Di samping itu, publik pun belum mendapat penjelasan apakah masukan mereka dalam proses penyusunan rancangan undang-undang diterima atau tidak.

"Kami melihat proses yang tidak transparan dan inkusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini," kata Diah menyoal proses RUU Kesehatan disahkan menjadi UU.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Masyarakat Sipil Tidak Dapat Memantau Masukan dan Pendapatnya dalam Penyusunan RUU Kesehatan

Ketua DPRI RI Puan Maharani mengetuk pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang.
Ketua DPRI RI Puan Maharani mengetuk pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. (Tangkapan Layar Youtube DPR RI)

Diah mewakili CISDI berpendapat, platform yang dibuat pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan tidak pernah ada platform menetap sehingga tidak memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapat umpan balik dari masukan mereka selama proses penyusunan RUU Kesehatan.

"Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK," jelasnya.

Diketahui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, disebutkan tiga prasyaratd dalam pelibatan masyarakat secara bermakna yaitu hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.


3 Persoalan Perumusan Naskah RUU Kesehatan

Ada tiga persoalan yang menjadi perhatian CISDI terkait perumusan naskah RUU Kesehatan.

Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari APBN dan APBD. Padahal, diketahui masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021 dengan distribusi alokasi yang timpang.

Kedua, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan non-upah secara layak. RUU yang telah disahkan ini juga belum memelmbagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan, tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO.

Ketiga, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok.

"Tentunya hal ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang."

 


Sikap CISDI

Berdasarkan catatan tersebut, CISDI menyampaikan beberapa sikap dan catatan:

  1. Mengecam keras Pemerintah dan DPR RI yang tidak melibatkan publik scara bermakna, inklusif, partisipatif dan berbasis bukti dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.
  2. Mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya