Kronologi Bocah A Mati Batang Otak Usai Operasi Amandel, 80 RS Tolak Jadi Rujukan

Kronologi bocah 7 tahun bernama Alvaro yang mati batang usai operasi amandel.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 04 Okt 2023, 17:09 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2023, 17:09 WIB
Ilustrasi meningitis, infeksi otak mematikan
Ilustrasi kronologi bocah 7 tahun bernama Alvaro yang mati batang usai operasi amandel. Foto: Freepik.

Liputan6.com, Bekasi - Kasus bocah 7 tahun berinisial BA yang meninggal karena mati batang otak usai operasi amandel di RS Kartika Husada Jatiasih, Bekasi menyorot perhatian publik. Kabar ini beredar viral di media sosial disertai dengan mencuatnya dugaan malapraktik dokter di sana.

Komisaris RS Kartika Husada Jatiasih Nidya Kartika Yolanda memberikan penjelasan sekaligus klarifikasi terhadap kasus tersebut. Ditegaskan bahwa pernyataan pasien anak tersebut 'mati batang otak' belum pasti dan masih dalam kategori suspek.

Artinya, ada kemungkinan mengarah ke mati batang otak. Walau begitu, membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, yang mana hal itu terkendala lantaran tidak ada rumah sakit rujukan yang mau menerima bocah A.

"Masih suspek ya. Begini, untuk mendapatkan foto diagnosis itu harus serangkaian tahapan. Enggak bisa, misalnya, batuk atau demam terus bilang 'oh ini COVID,' ya enggak bisa," jelas Nidya saat konferensi pers, Selasa (3/10/2023).

"Kita ada yang namanya anamesis, ada tanya jawab, dia ditanya, dilihat dari kondisinya. Habis itu ada pemeriksaan penunjang CT Scan. Makanya masih tidak pasti, ini kemungkinan batang otak, jadi harus ada pemeriksaan lain."

Ada Risiko Mati Batang Otak

Nidya menegaskan pihaknya juga sudah menyampaikan kepada keluarga bocah A soal risiko mati batang otak. Mati batang otak secara normal memang bukan menjadi risiko utama dari operasi amandel, namun kemungkinan hal itu terjadi tetap ada.

Walau begitu, tergantung dari kondisi riwayat medis pasien.

"Sudah ada risiko itu. Kita tidak tahu, badan masing-masing orang itu kan berbeda. Kita enggak tahu kondisi medis sebelumnya, reaksi si anak ini, itu kan bisa berbeda setiap orang," tegas Komisaris RS Kartika Husada ini.

Alami Kejang-kejang

Nidya Kartika Yolanda melanjutkan cerita kronologi pasien anak A saat akan dioperasi. Saat itu, keluarga pasien datang ke RS Kartika Husada Jatiasih dengan niat melakukan operasi amandel untuk A dan abangnya.

BA terlebih dulu melakukan operasi pada pukul 12.00 siang, dan sang abang menyusul pada pukul 03.00.

"Mereka masuk berdua, kondisi awal mirip abang dan adek. Adek operasi duluan jam 12, abang jam 3. Setelah operasi, adek nggak apa-apa, saat operasi aman, tidak ada pendarahan yang berarti," tutur Nidya.

Tak lama berselang, bocah A mengalami kejang-kejang sehingga harus dipindahkan ke ruang ICU.

"Pada saat terjadi kondisi itu, ada orangtua yang menemani, dan pada saat itu ada tim medis juga di sana. Setelah adek mendapat tindakan, dipindahkan ke ICU," sambung Nidya.

"Kita tanya lagi ke orangtua, ini ada abang, apakah tetap mau dioperasi? Karena adek sudah begini masuk ICU. Orangtua pasien tetap bilang, 'Iya dok, enggak apa-apa.'"

 

Cari Rujukan ke 80 Rumah Sakit

[Fimela] Ilustrasi rumah sakit
Ilustrasi pihak RS Kartika Husada Jatiasih berusaha merujuk Alvaro ke rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan yang lebih memadai. | pexels.com/@oles-kanebckuu-34911

Beberapa hari setelah operasi amandel, dokter RS Kartika Husada pun menduga A atau BA mengalami mati batang otak. Untuk mengetahui penyebab secara pasti, pihak RS Kartika Husada Jatiasih berusaha merujuk bocah A ke rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan yang lebih memadai.

Dikatakan, pencarian rujukan dilakukan hingga ke 80 rumah sakit di seluruh Jabodetabek.

"Sampai kemarin, kami sudah mencari lebih dari 80 rumah sakit rujukan dengan jaminan umum di seluruh Jabodetabek. Tim medis bersurat ke kolegium masing-masing agar bisa mendatangkan konsultan ke RS Husada agar dapat melakukan pemeriksaan langsung kepada adek BA serta mencari jurnal kesehatan sebagai acuan dalam berdiskusi dengan harapan bisa mendapat second atau third alternatif terapi," terang Nidya Kartika Yolanda.

Tak Ada Satupun Rumah Sakit yang Menerima

Namun sayang, kondisi bocah 7 tahun ini dinilai cukup kritis untuk dirujuk sehingga membuat tak ada satupun rumah sakit yang mau menerima rujukan tersebut.

"Alasannya, tidak bisa membantu. Mungkin karena kondisi anak yang memang non-transferable, berisiko sekali kalau sampai di sana. Ini kan ada kasus hukum, di mana-mana rumah sakit tidak mau menerima karena takut terbawa-bawa. Di sana kesulitan kami sebenarnya," tandas Nidya.

Tidak Memungkinkan Dibawa ke RS Lain

Di sisi lain, Nidya Kartika Yolanda kembali menekankan, kondisi bocah A yang kritis tidak memungkinkan dibawa ke rumah sakit lain. Sebab, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika dibawa dalam perjalanan.

Ia mempertanyakan, nanti siapa yang tanggung jawab?

"Kami sudah komunikasikan risikonya apa. Tentunya, kami menyediakan fasilitas penindakan, ambulans sesuai untuk dibawa ke rumah sakit rujukan," jelas Nidya.

"Tapi kondisi anak enggak memungkinkan juga. Kalau itu dipaksa dibawa, siapa yang menangung? Anak tidak stabil dari hari pertama sampai hari ketiga, kejang."

"Rumah Sakit Lain Takut Kena Getahnya"

Menurut Nidya, alasan rumah sakit lain tidak mau menerima A juga karena takut kena getahnya.

"Apalagi ini sudah viral dan pasti worry rumah sakit lain, takut kena getahnya," pungkasnya.

Meski begitu, Nidya mengatakan, pihaknya sudah melakukan perawatan terhadap A sesuai prosedur.

"Standar perawatan kami sudah sesuai. Tapi memang alat pemeriksaan MRI, CT scan tidak ada. Kami ini kan RS Tipe C. Untuk itu butuh rujukan," imbuhnya.

Infografis Fenomena Operasi Plastik
Infografis Fenomena Operasi Plastik (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya