Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID di Indonesia mengalami peningkatan jelang Nataru atau Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI hingga Jumat (15/12/2023), kasus konfirmasi COVID-19 sebanyak 336 atau meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama, menilai ada tiga hal yang membuat kasus COVID Indonesia naik pada masa endemi ini. Salah satunya, menyangkut imunitas menurun dan kemunculan varian baru.
Baca Juga
"Kenapa COVID-19 meningkat padahal protokol kesehatan dan mobilitas relatif statis? Menurut saya, ada tiga hal yang dominan. Pertama, pancaroba atau peralihan musim. Jadi, imunitas seseorang menurun, kelembaban udara tinggi membuat virus lebih mudah masuk ke dalam tubuh," kata Ngabila melalui keterangan yang diterima Health Liputan6.com baru-baru ini.
Advertisement
"Kedua, imunitas atau antibodi COVID-19 mulai menurun enam bulan sesudah vaksinasi. Ketiga, mutasi virus atau varian baru. Walaupun makin virus mutasi seharusnya memang lebih cepat menular virusnya, tetapi gejala yang muncul seharusnya tidak lebih berat," dia menambahkan.
Dominasi Varian EG.5
Kemenkes mencatat, peningkatan kasus COVID kali ini didominasi oleh subvarian EG.5, yang merupakan turunan dari varian Omicron.
Karakteristik dari varian EG.5, yakni dapat menyebabkan peningkatan kasus dan menghindari dari kekebalan sehingga lebih mudah menginfeksi tetapi tidak ada perubahan tingkat keparahan.
Cegah Keparahan dengan Vaksinasi COVID
Ngabila Salama melanjutkan, saat ini fokus Pemerintah yang utama adalah melindungi kelompok rentan dengan cara melengkapi vaksinasi COVID segera dan deteksi dini.
"Sejak endemi pada Juni 2023, tanggung jawab utama ada pada diri masing-masing masyarakat, tapi Pemerintah tidak pernah bosan mengimbau protokol kesehatan dan menyediakan vaksinasi yang gratis," ujarnya.
"Kalau mau cegah sakit tentunya perketat protokol kesehatan pakai masker dan cuci tangan. Kalau mau mencegah keparahan dan kematian dengan vaksinasi ya, masih sangat efektif untuk menambah jumlah atau titer antibodi juga dalam tubuh," Ngabila menekankan.
Advertisement
Tetap Ada Gelombang COVID Masa Endemi
Kenaikan kasus COVID-19 yang terjadi baru-baru ini membuat epidemiolog Dicky Budiman mengingatkan semua pihak untuk tetap waspada.
Meski sudah endemi, tetap akan ada gelombang-gelombang kecil yang berisiko bagi kelompok rentan.
“Kita akan secara berkala menghadapi lonjakan-lonjakan kasus COVID dalam bentuk outbreak atau kejadian luar biasa (KLB),” kata Dicky kepada Health Liputan6.com, ditulis Kamis (14/12/2023).
“Apa itu KLB atau outbreak? Ini artinya tidak akan seperti waktu pandemi, tapi di masa endemi ini kita akan mengalami yang disebut gelombang-gelombang kecil. Dan di setiap gelombang kecil itu akan selalu ada kelompok rawan di masyarakat yang akan menjadi korban meski jumlahnya jauh lebih kecil dibanding pada masa pandemi."
Mobilitas Tinggi dan Subvarian Lebih Mudah Menginfeksi
Angka statistik akan menunjukkan angka kematian meski jumlahnya kurang dari satu persen. Begitu pula beban layanan rumah sakit, walau hanya lima sampai 10 persen dari total kelompok rawan.
“Ini akan cukup menjadi beban layanan rumah sakit ketika kesiapannya, insfrastrukturnya, obat, atau sumber daya manusianya lemah," sambung Dicky.
Hal ini semakin mungkin terjadi ketika ada faktor-faktor yang memperparah situasi. Misalnya, mobilitas tinggi, situasi yang membuat orang cenderung berlama-lama di dalam ruangan, dan kehadiran subvarian yang lebih mudah menginfeksi dan mereinfeksi.
“Ini yang membuat gelombang itu menjadi lebih berdampak bagi kelompok rawan," pungkas Dicky.
Kelompok Rawan Tertular COVID-19
Dicky Budiman menambahkan, yang termasuk kelompok rawan tertular COVID-19 tidaklah berubah sejak masa pandemi hingga kini.
“Kelompok rawan itu siapa? Kelompok rawan itu tetap tidak berubah, ya anak terutama di bawah tiga tahun. Kita tahu saat ini banyak dari mereka yang belum mendapat vaksin primer dengan beragam alasan," tambahnya.
“Kemudian juga orang dengan komorbid yang belum mendapat vaksin atau sudah vaksinasi tapi belum dapat booster. Ini yang sangat rawan, ditambah lagi kalau mereka termasuk lansia di atas 60 atau 65 tahun. Mereka adalah orang-orang yang dapat menjadi bagian dari satu persen pasien COVID dengan kondisi fatal."
Advertisement