5 Daerah dengan Angka Demam Berdarah Dengue Tertinggi, Kota Bandung Urutan Pertama

Kemenkes ungkap lima daerah dengan angka DBD tertinggi serta lima daerah dengan kematian akibat demam berdarah terbanya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Mei 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2024, 08:00 WIB
5 Daerah dengan Angka Demam Berdarah Dengue Tertinggi Menurut Kemenkes
5 Daerah dengan Angka Demam Berdarah Dengue Tertinggi Menurut Kemenkes. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Demam Berdarah Dengue (DBD) tengah mengalami kenaikan kasus di Indonesia. Menurut update data DBD minggu ke-17 Tahun 2024, jumlah kasus DBD ada 88.593 dan jumlah kematian akibat DBD ada 621.

Pada periode yang sama di minggu ke-17 tahun 2023, jumlah kasus DBD sebanyak 28.579 kasus dengan kematian sebanyak 209 kematian. 

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), lima daerah atau kabupaten/kota dengan angka kasus DBD tertinggi pada 2024 yakni:

  1. ⁠Kota Bandung: 3.468 kasus
  2. ⁠Kabupaten Tangerang: 2.540 kasus
  3. ⁠⁠Kota Bogor: 1.944 kasus
  4. ⁠⁠Kota Kendari: 1.659 kasus
  5. ⁠⁠Kabupaten Bandung Barat: 1.576 kasus.

“Kasus tertinggi untuk demam berdarah itu Jawa Barat ya, Kota Bandung, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kendari, dan Kabupaten Bandung Barat,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Jakarta, Senin, 6 Mei 2024.

Sementara, lima kabupaten/kota dengan angka kematian DBD tertinggi tahun 2024 yakni:

  1. ⁠Kabupaten Bandung: 29 kematian
  2. ⁠Kabupaten Jepara: 21 kematian
  3. Kota Bekasi: 19 kematian
  4. ⁠Kabupaten Subang: 18 kematian
  5. ⁠Kabupaten Kendal: 17 Kematian.

“Jadi memang kalau kita lihat masih merupakan kota-kota besar, sementara kalau di DKI Jakarta itu ada Jakarta Barat,” jelas Nadia.

Dia juga menyampaikan, pasien DBD paling banyak menyerang anak-anak rentang usia lima hingga 14 tahun.

“Karena ini adalah infeksi virus sehingga tentunya anak-anak yang memiliki imunitas yang belum terbentuk sempurna itulah yang menjadi risiko mengapa demam berdarah lebih banyak terjadi pada anak-anak,” papar Nadia.

Seperti pada anak, risiko tertular dan sakit DBD juga dimiliki masyarakat usia dewasa. Baik anak-anak maupun orang dewasa memiliki risiko yang sama. Namun, orang dewasa memiliki risiko gejala berat yang lebih kecil.

“Risiko untuk tertular atau sakit DBD pada dewasa itu sama seperti anak-anak tapi untuk menjadi gejala berat itu orang dewasa jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan anak-anak.”

Kapan Harus ke IGD?

Nadia juga menerangkan, kapan masyarakat perlu membawa buah hatinya yang mengalami DBD ke instalasi gawat darurat (IGD).

Melarikan anak ke IGD dapat dilakukan jika anak mengalami demam dan sudah lebih dari tiga hari tak kunjung turun. Jika hal ini terjadi, anak perlu dibawa ke IGD meski sebelumnya sudah dibawa ke rumah sakit atau puskesmas.

Suhu demam bisa mencapai 40 derajat, tapi Nadia mengimbau masyarakat untuk tidak menunggu anak sampai demam terlalu tinggi.

Membawa anak ke IGD juga perlu segera dilakukan jika orangtua menemukan tanda-tanda seperti gusi berdarah, mimisan, atau nyeri di perut. Rasa nyeri di perut pada pasien DBD bisa jadi tanda perdarahan di dalam saluran cerna.

Perubahan Gejala DBD

Sebelumnya, Nadia juga menerangkan soal perubahan gejala DBD pasca pandemi COVID-19. Menurutnya, Kemenkes masih melakukan kajian soal perbedaan gejala DBD pada pasien yang pernah terinfeksi COVID-19. Termasuk tidak timbulnya gejala klasik DBD seperti bintik merah.

“Mengenai perbedaan gejala (DBD) pasca COVID-19 ini memang masih dilakukan kajian. Beberapa asumsi mengatakan bahwa sekarang gejala klinis seperti bintik-bintik merah pada penderita demam berdarah itu tidak ditemukan,” katanya.

Nadia juga mengatakan bahwa bintik merah bisa saja muncul di tempat tersembunyi yang tidak terlihat mata.

“Jadi orang bisa demam tiga hari kemudian tiba-tiba masuk ke dalam kondisi syok tanpa ada gejala perdarahan. Tapi memang agak sulit karena bintik-bintik merah itu kan tempatnya tersembunyi, mungkin di punggung tangan, di punggung badan sehingga tidak jelas,” lanjut Nadia.

Pengaruh Reaksi Imunologi

Dalam kesempatan lain dijelaskan bahwa pada tubuh seseorang yang pernah terinfeksi COVID-19, ada sejumlah perubahan gejala penyakit DBD.

Hal ini dipicu pengaruh reaksi imunologi, seperti dikonfirmasi Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi.

"Memang ada beberapa laporan yang menunjukkan ada perubahan gejala DBD setelah pandemi COVID-19. Hal ini memang terkait perubahan reaksi imunologi yang terjadi pada tubuh seseorang yang pernah terinfeksi COVID-19," ujar Imran di Jakarta, Jumat, dilansir ANTARA.

Imran mengatakan, Kemenkes memperoleh beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pasca pandemi COVID-19, salah satunya berasal dari Kota Bandung, Jawa Barat.

Dinas Kesehatan Bandung mendeteksi tanda-tanda DBD yang tidak biasa dikenali pada pasien seperti tidak ada gejala bintik merah yang selama ini menjadi pertanda serius di kalangan penderita DBD. Imran juga mengatakan bahwa mimisan jadi jarang ditemukan akhir-akhir ini.

Infografis Tips Waspada DBD Saat Kasus Meningkat Drastis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Tips Waspada DBD Saat Kasus Meningkat Drastis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya