PP Nomor 28 Tahun 2024 Dinilai Belum Ideal dan Masih Banyak Celah, Termasuk soal Aturan Iklan Rokok

Setelah mengkaji PP Nomor 28 Tahun 2024, beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyebut masih banyak celah. Salah satunya larangan iklan rokok yang hanya berlaku di media sosial sedangkan media digital lain begitu masif.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Agu 2024, 11:00 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2024, 11:00 WIB
Organisasi Masyarakat Sipil Nilai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Belum Ideal dan Masih Banyak Celah
Organisasi Masyarakat Sipil Nilai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 atau PP Nomor 28 Tahun 2024 Belum Ideal dan Masih Banyak Celah. Foto: Tangkapan layar Youtube Komnas Pengendalian Tembakau.

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah atau PP No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan yang disahkan pada 26 Juli 2024 telah dibaca oleh berbagai organisasi masyarakat sipil.

Setelah mengkaji PP Nomor 28 Tahun 2024, beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia mulai menyatakan sikap. Organisasi tersebut termasuk:

  • Komnas Pengendalian Tembakau
  • Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI)
  • Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI).

Dalam pernyataannya pada temu media 31 Juli 2024, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Profesor Hasbullah Thabrany, menyampaikan bahwa regulasi ini belum ideal.

“Meski regulasi ini belum ideal, kami mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menandatangani PP Kesehatan ini,” kata Hasbullah mengutip keterangan pers, Kamis (1/8/2024).

Dia menyadari sulitnya pengaturan pengendalian produk zat adiktif tembakau yang lebih ketat dan sempurna di PP ini, mengingat intervensi dan tekanan yang luar biasa oleh industri rokok dan pendukungnya.

“Namun dengan segala keterbatasan di PP ini, kami mendorong Pak Presiden Jokowi maupun Presiden Terpilih Pak Prabowo dan jajarannya agar PP Nomor 28 Tahun 2024 segera dilaksanakan. Kami siap membantu proses sosialisasi untuk memastikan masyarakat memahami haknya atas perlindungan kesehatan,” tambahnya.

Tanggapi Pendukung Industri Tembakau Soal Rokok dan Isu Ekonomi

Hasbullah juga menanggapi berbagai tanggapan di media dari para pendukung industri hasil tembakau, yang membenturkan isu kesehatan dengan isu ekonomi.

Menurutnya, kepentingan ekonomi justru sangat bergantung pada kualitas kesehatan SDM Indonesia.

“Dengan adanya PP Kesehatan yang mengatur dengan lebih baik untuk pengamanan zat adiktif, maka diharapkan angka kesakitan dan kematian akan turun, kualitas kesehatan membaik, BPJS tidak defisit dan prevalensi stunting serta TB turun.”

“Maka SDM sehat dan tidak menggunakan uangnya untuk membeli produk yang unproductive bahkan berbahaya, akan ikut membangun negeri dan akhirnya kita benar-benar mampu mewujudkan Generasi Emas Indonesia,” papar Hasbullah.

Beban Masalah Konsumsi Rokok Bukan Hanya Tugas Kemenkes

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), dr. Sumarjati Arjoso mengatakan bahwa PP ini juga mengamanatkan penerapan aturan yang mengikat pada kementerian-kementerian teknis terkait.

“Sehingga beban masalah konsumsi rokok yang tinggi di negara ini bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mengingat dampaknya yang juga multi-sektor,” ujar Sumarjati.

“Peran Pemerintah Daerah yang juga akan sangat besar dalam penerapan aturan ini dan menjadi bagian yang sangat penting, sehingga diharapkan pemerintah daerah turut pro-aktif dalam implementasi di daerahnya masing-masing,” tambahnya.

Masih Banyak Celah

Sementara, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Ir. Aryana Satrya mengatakan bahwa regulasi ini masih memiliki banyak celah.

“Bagaimanapun, sangat disayangkan masih banyak celah pada bagian Pengamanan Zat Adiktif di PP ini yang akan melemahkan upaya pengendalian tembakau ke depan,” ujar Aryana.

Menurutnya, aturan-aturan seperti jumlah 20 batang per kemasan yang hanya berlaku untuk rokok putih sedangkan perokok Indonesia merokok rokok kretek. Serta larangan iklan yang hanya berlaku di media sosial sedangkan media digital selain media sosial begitu masif iklan rokoknya.

“Tentu akan menjadi celah kelemahan PP ini yang tujuannya memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan rokok elektronik,“ pungkasnya.

Infografis: Redam Kanker dengan Cukai Rokok (Liputan6.com / Abdillah)
(Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya