Liputan6.com, Jakarta Penyebaran virus corona atau COVID-19 selama beberapa waktu terakhir telah menimbulkan kegelisahan bagi banyak orang. Bahkan hingga kini di Indonesia terdapat 579 orang yang telah dikonfirmasi positif terinfeksi virus corona. Pemerintah pun telah memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tetap berada di dalam rumah dan tidak mendatangi tempat ramai demi mencegah penularan dari COVID-19.
Baca Juga
Advertisement
Dilansir Liputan6.com dari Merdeka.com pada Selasa (24/3/2020) World Helath Organization (WHO) menyarankan agar para pemimpin dunia mengambil tindakan yang yang tegas dan agresif guna mencegah semakin banyaknya korban terdampat virus corona. Salah satu cara yang juga dibahas dalam WHO bersama para pemimpin dunia terkait dengan virus corona ini ialah Herd Immunity atau kekebalan kelompok.
Istilah herd immunity atau kekebalan kelompok mungkin terdengar cukup asing bagi banyak orang. Meski disebut bisa memperlambat penyebaran dari COVID-19, namun tak sedikit pula yang masih meragukan hal tersebut. Untuk itu, kamu juga perlu mengetahui lebih lanjut mengenai istilah herd immunity dan cara kerjanya.
Apa itu herd immunity?
Herd immunity atau yang dikenal dengan imunitas kelompok didefiniskan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sebagai situasi di mana populasi dari masyarakat yang memiliki kekebalan terhadap penyakit menular lebih banyak, sehingga tidak terjadi adanya penularan secara luas. Seseorang yang memiliki kekebalan terhadap penyakit menular pun bisa dimiliki karena vaksinasi ataupun adanya antibodi dari infeksi sebelumnya.
Kekebalan kelompok atau herdy immunity ini juga dianggap mampu melindungi seseorang yang tidak mendapat vaksinasi atau seseorang yang minim akan kekebalan tubuh. Hal ini bisa membuat lebih sedikit orang yang dapat terinfeksi dari penyakit menular.
Adanya herd immunity juga dianggap mampu memberikan perlindungan kepada orang lain yang cukup rentan, mulai dari bayi baru lahir hingga para lansia. Sehingga akan lebih sedikit orang yang bisa terinfeksi, karena penyebaran virus dari orang ke orang cukup sulit.
"Ketika sekitar 70 persen populasi telah terinfeksi dan pulih, kemungkinan wabah penyakit menjadi jauh lebih sedikit karena kebanyakan orang resisten terhadap infeksi," kata Martin Hibberd, seorang profesor penyakit menular di London School of Hygiene & London yang dilansir dari Aljazeera.
Advertisement
Miliki resiko cukup besar
Meski dianggap menjadi salah satu cara untuk memerlambat penyebaran dari sebuah virus termasuk COVID-19, akan tetapi risiko yang diambil cukup besar. Dilansir Liputan6.com dari ScienceFocus, Selasa (24/3/2020) resiko yang diambil untuk membuat adanya sistem kekebalan kelompok termasuk cukup besar. Sedikitnya 60 persen seseorang terinfeksi untuk membuat sistem herd immunity dapat dilakukan.
Padahal, hingga saat ini jumlah presentase masih terbilang jauh dari angka 60 persen. Namun, meski begitu jumlah pasien meninggal dunia telah mencapai angka lebih dari 16 ribu jiwa.
Selain itu, belum tersedianya vaksin bagi COVID-19 ini membuat seseorang yang memiliki kekebalan terhadap virus corona ini masih sangat minim. Bahkan, satu-satunya pilihan dari adanya sistem ini ialah dari pasien pemulihan infeksi.
Lakukan pemerataan kurva
Hingga saat ini, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh banyak orang ialah dengan pemerataan kurva. Pemerataan kurva sendiri bisa dilakukan dengan cara social distancing atau menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya.
Dengan melakukan pemerataan kurva, maka kasus terinfeksi dari corona pun tak meningkat dengan cepat. Bahkan, dengan cara social distancing mampu membantu para petugas medis dalam menangani pasien COVID-19. Pemerintah pun terus mengimbau masyarakat untuk tetap berada di rumah demi mempersempit risiko penyebaran virus corona.
Dengan begitu akan mengurangi penyebaran yang artinya rumah sakit bisa menangani pasien infeksi yang ada sebelumnya tanpa harus ada tambahan pasien secara drastis.
Advertisement