KDRT dalam Islam, Dibolehkan Memukul tapi Tidak Melukai

Meski membolehkan suami memukul istri dalam rangka mendidik, namun Islam melarang keras KDRT.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 17 Okt 2022, 20:20 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2022, 20:20 WIB
Campur Tangan Keluarga hingga Masalah KDRT
Ilustrasi KDRT Credit: pexels.com/Karolina

Liputan6.com, Jakarta Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan merupakan fenomena yang baru. Kenyataannya KDRT merupakan fenomena yang memprihatinkan, di mana perempuan menjadi mayoritas korbannya. Meski bisa dibilang bukan isu yang dibilang baru, bukan berarti KDRT merupakan fenomena yang sudah selesai.

Berdasarkan data pada tahun 2020, seperti yang diungkapkan Komnas Perempuan, KDRT masih menempati urutan pertama tindak kekerasan dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan ranah lainnya. Sedangkan bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada, maka sebanyak 6.555 atau 59% adalah kekerasan terhadap istri.

Kekerasan terhadap anak perempuan juga meningkat 13%, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Diantara kasus KDRT tersebut di dalamnya ada kekerasan seksual (marital rape dan inses). Kasus kekerasan seksual di ranah personal yang paling tinggi adalah inses dengan jumlah 822 kasus.

Sementara itu, rumah tangga sendiri merupakan suatu institusi atau lembaga yang terbentuk karena adanya ikatan pernikahan. Sedangkan pernikahan sendiri biasanya diatur berdasarkan hukum agama tertentu. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu lebih banyak rumah tangga yang dibangun dalam pernikahan dengan tata cara syariat Islam.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan penting, "Bagaimana KDRT dalam pandangan Islam?" Artikel ini akan mencoba mengulas KDRT dalam pandangan Islam berdasarkan sumber-sumber yang telah dirangkum Liputan6.com pada Senin (17/10/2022).

Pengertian KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri dengan korban anggota keluarga, termasuk anak.

Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah sebagai berikut:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Penggunaan kata-kata "terutama terhadap perempuan," menunjukkan bahwa undang-undang tersebut dibuat berdasarkan realitas sosiologis sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu, seperti anak.

Bentuk-Bentuk KDRT

Faktor Budaya dan Stigma
Ilustrasi Konflik KDRT Credit: unsplash.com/Christine

Dalam definisi KDRT menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa bentuk-bentuk KDRT antara lain adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan penelantaran.

Dalam artikel berjudul "Islam dan Kekerasan dalam Rumah Tangga," Abdul Aziz (2017) menyebutkan bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata dan sebagainya.

Sedangkan kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual meliputi menjauhkan istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri dan tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. selain bentuk-bentuk kekerasan tersebut, ada pula penelantaran. Penelantaran ini meliputi tidak memberikan kebutuhan istri secara ekonomi, atau tidak memberikan nafkah.

KDRT dalam Pandangan Islam

[Bintang] Anak Durhaka Dari Jawa Timur
Ilustrasi KDRT | daerah.sindonews.com

Dilansir dari NU Online, suami memiliki hak yang harus dipenuhi istri. Demikian juga istri memiliki hak yang harus dipenuhi suami. Ketika istri tidak memenuhi hak suami, maka suami diberi wewenang untuk mengarahkan atau mendidik istri agar kembali mematuhi atau memenuhi haknya.

Adapun cara mendidik istri yang dimaksud adalah tiga tindakan yang harus dilakukan secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik, (2) jika tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama, dan (3) memukulnya, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 34, yang artinya;

"Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka."

Hanya saja, Alquran yang membolehkan untuk memukul istri sering disalahpahami untuk menjadi pembenaran KDRT, yang pada akhirnya terus memakan korban. Tujuan utamanya adalah mendidik, jika dengan tindakan yang paling ringan istri sudah patuh, maka tidak perlu mengambil tindakan yang berat.

Bila terpaksa memukul, maka hanya boleh dengan pukulan yang sangat ringan, seperti memukul dengan siwak atau sikat gigi dan sejenisnya. Dilarang keras untuk memukul hingga menyebabkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan.

Sebaliknya, Islam secara tegas melarang terjadinya KDRT. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 19, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telahkamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."

Seperti yang dibahas sebelumnya, Alquran memang membolehkan suami untuk memkul istri dalam rangka untuk mendidik. Pukulan yang boleh dilakukan pun adalah pukulan yang paling ringan yang tidak menyebabkan luka.

Di sisi lain, Nabi Muhammad saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk tidak melakukan kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap anak-anak. Dari Aisyah ra berkata: “Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, baik terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Pemberian hukum sebagai alat untuk mendisiplinkan anak, harus dilakukan secara hati-hati. Islam mengajarkan bahwa pemberian hukuman harus diawali terlebih dahulu dengan memberikan pengertian pentingnya suatu perilaku serta pembiasaan perilaku tersebut. Hal ini digambarkan dalam cara mendisiplinkan anak untuk melakukan shalat, sebagaimana hadits di atas.

Dari penjelasan tersebut, dalam pandangan islam sudah jelas bahwa KDRT jelas dilarang keras, baik terhadap istri atau anak. Adapun jika suami diperbolehkan untuk memukul istri, itu hanya boleh dilakukan jika nasihat dan mendiamkan gagal membuat istri patuh.

Selain itu pukulan yang diperbolehkan hanya pukulan yang paling ringan seperti memukul dengan siwak atau sikat gigi dan sejenisnya.. Artinya, pukulan tidak menyebabkan luka yang menampakkan bekasnya seperti keluar darah atau lebam.

Islam juga melarang tindak kekerasan terhadap anak. Adapun hukuman untuk mendisiplinkan hanya boleh diberikan ketika anak telah diberi pengertian terlebih dahulu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya