6 Isu Krusial Keamanan Perempuan di Side Event WPS High Level ASEAN, Libatkan Masyarakat Sipil

Untuk mendukung WPS High Level ASEAN sejumlah organisasi sipil menyelenggarakan side event.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 04 Jul 2023, 21:55 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2023, 21:55 WIB
Side event WPS High Level di Yogyakarta Selasa(4/7/2023)
Acara Side event WPS High Level di Yogyakarta Selasa(4/7/2023) diselenggarakan AMAN Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di ASEAN.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mewakili Pemerintah Indonesia akan menyelenggarakan Forum Tingkat Tinggi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan atau Women, Peace, and Security (WPS-High Level) di Yogyakarta, pada 5-7 Juli 2023.

Untuk mendukung forum tersebut, Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di ASEAN menggelar side event WPS-High Level di Yogyakarta pada 4-5 Juli 2023. Side event yang berlangsung di Grand Ambarukmo, Yogyakarta ini mengusung topik “Building Resilient Communities: Applying an Intersectional Perspective in the Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security”. Acara ini juga diselenggarakan secara hybrid dan dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil ASEAN.

Selama dua hari, side event WPS High Level akan menggali isu-isu krusial non tradisional terkait keamanan perempuan seperti perubahan iklim, violent extremism, keamanan siber, migrasi dan krisis kemanusiaan seperti Pandemi dan krisis Myanmar.

"Acara Sampingan CSO yang kami selenggarakan ini menjadi platform pertukaran masyarakat sipil tentang upaya perempuan, perdamaian, dan keamanan di kawasan Asia Tenggara" ujar Ruby Kholifah Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dalam sambutannya, Selasa (4/7/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pentingnya peran masyarakat sipil

Gerakan Perempuan Anti Kekerasan
Massa Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) menggelar aksi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Senin (10/2/2020). Mereka menuntut Mendikbud Nadiem Makarim untuk membuat peraturan di kampus yang melindungi dari pelecehan seksual. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ruby menambahkan, WPS High Level juga menunjukkan bahwa masyarakat sipil di ASEAN selalu menjaga karakteristik kritis, independen, dan berkomitmen untuk memastikan keberadaan, kesehatan, dan keberlanjutan ruang sipil. Acara ini juga dibuka dengan sambutan dari tiga perwakilan pemerintah Indonesia dan ASEAN meliputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT), dan Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR).

"Masyarakat sipil memainkan peran penting sebagai pembicara penhubung akar rumput dan menjadi penanganan pertama dalam menghadapi krisis di Indonesia. Pertemuan WPS ini merupakan platform terbuka yang memungkinkan partisipasi berbagai pihak" ujar Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).

Agenda dua hari ke depan akan menjadi penting dalam membangun WPS di tingkat nasional dan regional di ASEAN, dengan melibatkan peserta dari berbagai aktor. Eni menjelaskan, pertemuan WPS ini juga akan mempersiapkan langkah-langkah pemantauan pelaksanaan rencana aksi WPS. Di bawah kepemimpinan Indonesia, diharapkan dapat membangun fondasi WPS di Asia Tenggara, terutama di tingkat nasional dan akar rumput.


6 Isu krusial perempuan, perdamaian, dan keamanan

ilustrasi toleransi
ilustrasi perempuan dan perdamaian (sumber: Unsplash)

Ada enam isu utama yang dibahas dalam sesi workshop tematik terpisah. Pembahasan ini berfokus pada isu-isu keamanan non-tradisional yang penting untuk memperkuat implementasi WPS di ASEAN. Isu ini meliputi:

1. Perubahan Iklim

Perubahan iklim dapat menyebabkan konflik sumber daya yang intens, seperti persaingan atas air, tanah, dan sumber daya alam lainnya. Konflik semacam ini seringkali memicu ketegangan antara kelompok-kelompok yang bersaing, memperburuk konflik yang sudah ada, atau memicu konflik baru.

2. Migrasi dan Perdagangan Manusia

Konteks migrasi merupakan fenomena kompleks yang berimplikasi pada hak-hak perempuan, perdamaian dan keamanan. Migrasi dan perdagangan manusia memiliki dampak yang serius terhadap perempuan mulai dari eksploitasi, kerja paksa, kekerasan gender, kesehatan, hingga trauma psikologis.

3. Radikalisasi dan Ekstremisme Kekerasan

Pergeseran terorisme “from backyard to dining room” memberikan peluang besar keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi teror. Apalagi kehadiran media sosial sangat membantu membuka ruang besar bagi perempuan terlibat dalam ruang-ruang indoktrinasi secara kuat, tanpa membuka identitasnya.

4. Keamanan siber

Perkembangan dan penggunaan teknologi digital telah memberikan peluang bagi perempuan pembela hak asasi manusia untuk mendorong berbagai isu HAM dan keadilan sosial. Di sisi lain, pesatnya kemajuan teknologi tersebut juga membuka berbagai bentuk serangan digital.

Berdasarkan laporan penelitian berjudul “Kami Jadi Target”, Perempuan Pembela HAM (PPHAM) diserang tidak hanya karena pendapat mereka, tetapi juga karena identitas mereka sebagai perempuan. Ruang daring membuka pintu bagi bentuk-bentuk kekerasan baru seperti pelecehan online, doxing, pengiriman konten seksual eksplisit hingga ancaman pemerkosaan. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara Asia Tenggara.

5. Krisis Myanmar

Krisis kemanusiaan di Myanmar telah menyebabkan pelanggaran hak asasi perempuan yang serius. Perempuan menjadi sasaran kekerasan, pelecehan seksual, dan pemaksaan terkait konflik. Krisis ini memiliki dampak serius pada seluruh penduduk Myanmar, termasuk perempuan, dengan konsekuensi yang signifikan terhadap hak asasi manusia, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan mereka.

6. Pluralisme agama

Berkembangnya paham konservatisme, dan tafsir agama yang bias pada perempuan telah menyebabkan sejumlah pelanggaran kebebasan berekspresi dan beragama. Perempuan dan anak perempuan, dan kelompok rentan lainnya menjadi sasaran utama atas serangan, persekusi, dan berbagai bentuk diskriminasi.

Nantinya, hasil dari enam sesi bersama kelompok masyarakat sipil ini akan direkomendasikan pada WPS High Level yang diselenggarakan pada 5-7 Juli 2023 di Yogyakarta.

 


Apa itu WPS?

Women, Peace, and Security (WPS) adalah suatu kerangka kebijakan yang bertujuan untuk mempromosikan dan melindungi peran serta hak-hak perempuan dalam konteks perdamaian dan keamanan. Kerangka kebijakan ini mengakui pentingnya partisipasi perempuan dalam semua tahap penyelesaian konflik, pemeliharaan perdamaian, dan pembangunan pasca-konflik. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa ketika perempuan terlibat secara aktif dalam proses perdamaian dan keamanan, maka akan tercipta perdamaian yang lebih berkelanjutan dan stabil.

Kerangka Women, Peace, and Security (WPS) pertama kali diakui secara resmi oleh Resolusi 1325 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000, dan sejak itu telah diikuti oleh sejumlah resolusi dan dokumen penting lainnya. WPS menjadi dasar bagi berbagai inisiatif dan kebijakan nasional dan internasional untuk memastikan kehadiran, partisipasi, dan perlindungan perempuan dalam konteks perdamaian dan keamanan global.

Indonesia dan Filipina adalah dua negara di kawasan Asia Tenggara yang telah memajukan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan. Dua negara pioner inilah yang menjadi alasan pentingnya institusi kerjasama regional seperti ASEAN.

Komitmen pada inklusi perempuan dalam menghadapi berbagai macam ancaman keamanan tidak hanya berhubungan dengan konflik kekerasan, tetapi juga berhubungan dengan ancaman-ancaman baru seperti perubahan iklim, ekstremisme kekerasan, migrasi, keamanan siber, krisis kemanusiaan seperti pandemi, dan kekerasan militerisme, yang berdampak pada keamanan dan kesejahteraan perempuan.

Pada 5 Desember 2022, Regional Plan of Action on Women, Peace and Security (RPA WPS) untuk ASEAN pertama kali disahkan di Kamboja. Sejak saat itu, sejumlah anggota ASEAN telah menyatakan komitmen politiknya untuk menurunkan RPA dalam bentuk kebijakan dan intervensi program di tingkat nasional.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya