Liputan6.com, Jakarta Kongres Ulama Perempuan Indonesia kedua atau KUPI II berakhir pada Sabtu(26/11/2022) di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara. Kongres ini berhasil melahirkan lima sikap keagamaan yang berfokus pada perlindungan perempuan. Dalam sejarahnya, KUPI memang telah menghasilkan pandangan dan sikap progresif terhadap hak-hak dan keadilan perempuan.
Baca Juga
Advertisement
KUPI sebagai gerakan progresif perempuan di Indonesia telah menjadi rujukan pengambil kebijakan. KUPI menjadi medium atau ruang refleksi ulama perempuan, sekaligus konsolidasi pengetahuan ulama perempuan tak hanya Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Tajuk KUPI kedua ini adalah “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan”. Di KUPI II kali ini, pandangan dan sikap keagamaan dibacakan oleh beberapa representasi peserta. Sikap dan pandangan ini merupakan hasil dari musyawarah KUPI II selama tiga hari di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara.
Berikut lima pandangan dan sikap yang dihasilkan pada KUPI II yang berhasil Liputan6.com rangkum langsung dari KUPI II.
Pandangan dan sikap pertama
Sikap dan pandangan pertama adalah tentang peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Dr. Fatum Abu Bakar dari PP. Al Khoirot Ternate, salah satu representasi peserta yang membacakan pandangan dan sikap keagamaan KUPI II. Ia menyampaikan bahwa hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara. Namun ketika terjadi peminggiran perempuan yang berdampak sebaliknya, hukumnya adalah haram.
“Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya,” ujar Dr. Fathum.
Advertisement
Pandangan dan sikap kedua
Pandangan dan sikap kedua dikemukakan oleh Mohammad Khatibul Umam dari PP. An-Nuqayah Guluk Guluk Sumenep Madura. Sikap ini tentang pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
Umam menyampaikan bahwa semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. Terutama pemerintah wajib membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan memberikan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
“Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah adalah haram bagi pelakunya langsung dan makruh tahrim (mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang,” ujar Khatibul Umam.
Pandangan dan sikap ketiga
Selanjutnya, Nyai Nurul Mahmudah dari Jombang mengungkapkan bahwa sikap keagamaan KUPI melihat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
“Dengan demikian, pemerintah harus membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan, dan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib,” tutur Nyai Nurul.
Advertisement
Pandangan dan sikap keempat
Pandangan dan sikap keempat adalah tentang perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Pandangan ini disampaikan oleh Prof. Hj. Masyitah Umar. Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin ini menyebutkan bahwa hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan atau psikiatris.
“Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Pelaku juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk bagi korban,” ungkap Prof. Masyitah.
Pandangan dan sikap kelima
Terakhir, Wakil Ketua STAI Teuku Chik Pante Kulu Banda Aceh, Dr. Sarina Aini mengatakan bahwa hukum melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah haram.
“Semua pihak harus bertanggungjawab untuk mencegah P2GP tanpa alasan medis. Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib,” ujarnya.
Advertisement