Liputan6.com, Jakarta - Konflik vertikal adalah bentuk pertentangan yang timbul antara individu atau kelompok dengan tingkat kekuasaan atau otoritas yang berbeda di dalam suatu struktur organisasi atau hierarki. Dinamika konflik semacam ini sering kali mencakup perbedaan pandangan, kepentingan, atau tujuan antara pihak yang memiliki kontrol atau kekuasaan yang lebih tinggi dan pihak yang berada di bawahnya.
Baca Juga
Advertisement
Contohnya, konflik antara manajemen dan karyawan di suatu perusahaan. Ini terjadi karena perbedaan dalam kebijakan, alokasi sumber daya, atau pengambilan keputusan yang mungkin tidak memenuhi harapan atau kebutuhan karyawan.
Karakteristik atau ciri-ciri dari konflik vertikal mencakup gejala perilaku yang saling bertentangan dalam usaha untuk memperoleh keuntungan tertentu seperti peningkatan status, jabatan, atau materi. Konfrontasi langsung, perdebatan, atau upaya saling meniadakan pihak lain seringkali muncul sebagai bagian dari dinamika konflik yang terus berlanjut.
Ketidakadilan juga dapat muncul sebagai hasil dari upaya masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik vertikal, terutama terkait dengan kedudukan, status sosial, atau kekuasaan.
Dalam beberapa kasus, konflik vertikal dapat menciptakan ketegangan yang merugikan produktivitas atau keseimbangan di dalam suatu lingkungan kerja atau struktur organisasi. Namun, jika dikelola dengan bijak, konflik ini juga bisa menjadi pemicu perubahan positif dan inovasi di dalam organisasi dengan mempertimbangkan kebutuhan, aspirasi, dan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang pengertian konflik vertikal, ciri-ciri, dan contohnya, Selasa (21/11/2023).
Dipengaruhi Kewenangan, Kekuasaan, dan Status Sosial
Konflik vertikal adalah bentuk konflik yang terjadi di dalam suatu struktur organisasi atau hierarki, khususnya antara individu atau kelompok yang berada pada tingkat kekuasaan atau posisi yang berbeda. Konflik semacam ini muncul sebagai hasil dari perbedaan pandangan, kepentingan, atau tujuan antara pihak yang memiliki kekuasaan atau otoritas, seperti manajemen, dan pihak yang berada di bawahnya, seperti karyawan.
Ketidakselarasan ini seringkali dapat timbul karena perbedaan persepsi terkait dengan alokasi sumber daya, penentuan kebijakan, atau tanggung jawab.
Perpustakaan Komnas Perempuan mendefinisikan konflik vertikal adalah pertentangan yang terjadi antara individu atau kelompok dengan tingkat kewenangan, kekuasaan, dan status sosial yang berbeda. Konflik merupakan bagian tak terhindarkan dari hubungan antar manusia, mulai dari interaksi dua orang hingga interaksi yang melibatkan banyak orang.
Pertentangan dalam konflik vertikal adalah berhubungan dengan distribusi kekuasaan dan kontrol di dalam organisasi. Selain itu, konflik vertikal dapat timbul akibat perbedaan dalam gaya kepemimpinan, di mana cara manajemen mengelola dan berkomunikasi dapat bertentangan dengan harapan atau nilai-nilai karyawan.
Meski begitu, konflik vertikal tidak selalu bersifat negatif. Dalam beberapa kasus, konflik dapat menjadi pendorong perubahan positif dan inovasi di dalam organisasi jika dikelola dengan bijak. Strategi manajemen yang transparan, partisipatif, dan memperhatikan kebutuhan serta aspirasi karyawan dapat membantu mengurangi potensi konflik dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang dan harmonis.
Advertisement
Ciri-Ciri Konflik Vertikal
Ciri-ciri konflik vertikal, sebagaimana diuraikan oleh Bagja Waluya dalam bukunya berjudul Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat (2007), memiliki beberapa ciri khusus.
- Pertama, konflik ini melibatkan setidaknya dua pihak, baik individu maupun kelompok, yang terlibat dalam interaksi yang bertentangan satu sama lain. Ini seringkali melibatkan perbedaan pandangan, tujuan, atau nilai antara pihak-pihak yang berselisih.
- Kedua, konflik vertikal seringkali timbul karena pertentangan dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya norma serta nilai yang berlawanan di antara pihak yang terlibat. Ini bisa mencakup persaingan terkait jabatan, status, atau keuntungan materi yang menyebabkan ketegangan di dalam struktur organisasi.
- Ketiga, dalam konflik ini, muncul gejala perilaku yang bersifat mengurangi atau meniadakan pihak lain guna memperoleh keuntungan, seperti peningkatan status, jabatan, materi, atau kesejahteraan tertentu. Saling menekan dan menghadapi secara langsung seringkali terjadi sebagai bagian dari dinamika konflik yang berlangsung.
- Keempat, konflik vertikal sering memunculkan tindakan yang bersifat berhadapan-hadapan sebagai akibat dari pertentangan yang berlarut-larut. Hal ini bisa mencakup konfrontasi langsung, perdebatan, atau sikap defensif yang meningkatkan ketegangan di dalam struktur organisasi.
- Kelima, munculnya ketidakadilan seringkali menjadi hasil dari upaya masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik vertikal. Usaha untuk mempertahankan kedudukan, status sosial, kekuasaan, atau harga diri dapat menyebabkan ketidakadilan di antara pihak-pihak yang berselisih.
Contoh Konflik Vertikal Tersebut
1. Pekerja dan Manajemen Perusahaan
Konflik antara pekerja dan manajemen perusahaan adalah salah satu bentuk konflik vertikal yang muncul dari perbedaan pandangan terkait kondisi kerja, upah, atau kebijakan internal. Ini bisa melibatkan pertentangan terkait waktu kerja, kesejahteraan, kondisi kerja yang aman, atau hak-hak pekerja yang tidak sesuai dengan harapan atau kebutuhan mereka.
Misalnya, perbedaan pandangan tentang kenaikan upah, pengaturan jam kerja, atau kebijakan yang memengaruhi hak asasi pekerja bisa menjadi pemicu konflik antara pekerja dan manajemen.
2. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
Konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat seringkali terkait dengan alokasi sumber daya, otonomi daerah, atau kebijakan yang dianggap merugikan daerah tertentu. Perselisihan ini bisa muncul ketika pemerintah daerah merasa bahwa kebijakan dari pemerintah pusat tidak memperhatikan kebutuhan atau aspirasi lokal.
Misalnya, terkait dengan pembagian dana atau pengelolaan sumber daya alam yang tidak menguntungkan daerah setempat.
3. Pemerintah dan Masyarakat Adat
Konflik antara pemerintah dan masyarakat adat berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, hak tanah, atau kebijakan pembangunan yang dianggap tidak memperhatikan kebutuhan atau tradisi masyarakat adat. Masyarakat adat seringkali merasa hak-hak mereka diabaikan atau dikorbankan dalam kepentingan pembangunan yang lebih besar, seperti proyek infrastruktur atau eksploitasi sumber daya alam.
Â
Advertisement
4. Atasan dan Bawahan di Kantor
Konflik antara atasan dan bawahan di lingkungan kantor bisa terjadi karena perbedaan pendekatan, gaya kepemimpinan, atau tujuan yang mungkin tidak selaras antara atasan dan bawahan. Misalnya, atasan yang otoriter atau kurang transparan dalam komunikasi dan pengambilan keputusan bisa menimbulkan ketidakpuasan di antara bawahan.
5. Anggota Partai Politik dan Pemimpin Partai
Konflik antara anggota partai politik dan pimpinan partai terkait dengan kebijakan internal partai, kandidat yang diusung, atau pandangan yang berbeda dalam hal strategi politik. Perselisihan ini bisa muncul karena perbedaan pandangan tentang arah partai, kebijakan yang diusung, atau strategi politik tertentu.
6. Guru dengan Kepala Sekolah Berkonflik
Konflik antara guru dan kepala sekolah terkait dengan kebijakan sekolah, kurikulum, atau tuntutan kerja yang dianggap tidak sesuai oleh para guru. Misalnya, perbedaan pendapat tentang metode pengajaran, pengelolaan sekolah, atau beban kerja bisa menyebabkan ketegangan di lingkungan sekolah.
7. Perusahaan Besar dengan Masyarakat Lokal
Konflik antara investor atau perusahaan besar dengan masyarakat lokal terkait dengan proyek pembangunan atau eksploitasi sumber daya alam yang mungkin dianggap merugikan masyarakat setempat dalam hal lingkungan atau ekonomi. Misalnya, proyek pembangunan infrastruktur yang mengancam lingkungan lokal atau pengambilan sumber daya alam yang mengorbankan keberlanjutan masyarakat setempat bisa menimbulkan pertentangan.