Pelaksanaan Pemilu Pada Masa Orde Baru Diikuti oleh 3 Partai Politik, Ini Perjalanannya

Pelaksanaan pemilu pada masa orde baru memiliki karakteristik teknis yang terstruktur, di mana fokus pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 06 Feb 2024, 00:06 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2024, 19:20 WIB
Ilustrasi pemilu, demokrasi
Ilustrasi pemilu, demokrasi. (Image by ededchechine on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru berlangsung dari tahun 1971 hingga 1997. Selama periode ini, pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan dengan berdasarkan pada dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975, tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1982 tentang Pemilihan Umum Legislatif.

Dengan adanya dasar hukum tersebut, pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru ditandai dengan berbagai kebijakan yang mengatur proses pemilihan umum, termasuk dalam hal daftar pemilih, pemilihan legislatif, partai politik, serta peran pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan jalannya pemilu. Meskipun dalam periode ini terdapat kritik dan kontroversi terkait dengan validitas, pelaksanaan pemilu diikuti oleh tiga partai politik yakni PPP, Golongan Karya dan PDI. 

Sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru memberikan kontribusi penting, terhadap perkembangan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Meskipun pemilu pada masa Orde Baru telah berakhir, namun penelusuran terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemilu pada periode ini masih menjadi bagian penting, dalam memahami dinamika politik Indonesia hingga saat ini.

Pemilu pada masa Orde Baru juga menunjukkan perubahan dan perkembangan, dalam sistem politik dan demokrasi Indonesia. Berikut ini penjelasan tentang pelaksanaan pemilu Orde Baru yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (5/2/2024). 

 

Pemilu Orde Baru

Ilustrasi pemilu
Tata cara pemilu 2019. (Foto: merdeka.com)

Pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru di Indonesia memiliki karakteristik teknis yang terstruktur, fokus pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sementara Presiden diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sistem pemilu yang digunakan selama enam pemilu berturut-turut adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup, di mana seluruh kursi di setiap daerah pemilihan dibagi secara proporsional.

Metode penghitungan kursi yang diterapkan menggunakan stembus accord, sebuah mekanisme penggabungan sisa suara yang tidak habis dibagi dengan Bilangan Pembagi Pemilih. Hal ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara partai-partai peserta pemilu. Penggunaan stembus accord memungkinkan penambahan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan dan mengurangi sisa suara yang tidak digunakan, serta menambah dinamika dalam distribusi kursi.

Selama enam pemilu pada periode Orde Baru, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, pola pelaksanaannya tetap konsisten. Pada pemilu 1971, sepuluh partai politik berpartisipasi dan Golongan Karya berhasil meraih suara terbanyak, mencerminkan dinamika politik pada masa tersebut.

Keanggotaan DPR di era Orde Baru mencerminkan kehadiran utusan golongan yang diangkat, terdiri dari 100 orang setiap pemilu, sebagian besar berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pemilu di masa Orde Baru tidak hanya menjadi acara demokrasi yang diatur, tetapi juga mencerminkan dominasi kekuasaan dan kontrol pemerintah dalam sistem politik Indonesia pada masa tersebut. Selain itu, keberhasilan Golongan Karya dalam meraih suara terbanyak, menunjukkan peran kuat partai ini dalam dinamika politik pada saat itu yang mana menciptakan pola pemerintahan, cenderung terpusat pada kekuasaan yang dominan.  

Akhir Orde Baru

Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)
Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)

Setelah Pemilu, Indonesia menghadapi krisis moneter yang mengguncang perekonomian dan menyebabkan dampak serius pada situasi politik. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan menjadi semakin nyata, tercermin dalam gelombang protes dan tuntutan reformasi yang tumbuh di tengah masyarakat.

Meskipun sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berasal dari Partai Golkar dan enggan untuk merespons tuntutan reformasi, upaya mempertahankan kekuasaan Suharto mengalami kegagalan. Krisis ekonomi dan dinamika lainnya pada periode tersebut semakin memperluas rasa ketidakpuasan.

Anggota DPR, khususnya yang berasal dari Golkar awalnya berusaha mempertahankan kekuasaan Suharto. Namun, tekanan dari masyarakat dan perkembangan dinamika politik, membuat sebagian dari mereka mengubah sikap. Beberapa menteri dan tokoh militer yang memiliki pandangan reformis mulai menarik dukungan mereka terhadap rezim Suharto.

Di tengah tekanan yang terus meningkat, Suharto akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa ini menjadi puncak perubahan sejarah, memulai periode reformasi di Indonesia yang ditandai dengan transformasi signifikan dalam tatanan politik dan masyarakat.

Paska pengunduran diri Suharto, proses reformasi mengambil momentum yang kuat. Masyarakat menuntut perubahan dalam sistem politik dan tata pemerintahan yang lebih transparan dan demokratis. Pemilihan presiden secara langsung, pembaruan undang-undang, dan pencabutan pembatasan kebebasan berbicara menjadi fokus utama. Periode ini mencerminkan semangat perubahan dan aspirasi masyarakat untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

 

Dasar Hukum dan Sistemnya

Ilustrasi Pemilu, Pilkada, Pilpres
Ilustrasi Pemilu, Pilkada, Pilpres. (Image by pch.vector on Freepik)

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1971 di Indonesia mengacu pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969, tentang Pemilihan Umum Untuk Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang diselenggarakan secara Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Dasar hukum ini menjadi pijakan utama dalam melaksanakan proses demokratisasi pada periode tersebut.

Prinsip Pemilihan Umum 1971 yang diamanatkan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XI/MPRS/1966, menetapkan bahwa Pemilihan Umum harus bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Waktu pemungutan suara ditetapkan melalui ketetapan MPRS Nomor XLII/MPRS/1968, menjadwalkan pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 5 Juli 1971.

Adapun sistem Pemilu tahun 1971 mengadopsi prinsip perwakilan berimbang, dengan menerapkan sistem stelsel daftar yang mengikat. Dalam konteks ini, kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD sejalan dengan besarnya dukungan pemilih, karena pemilih memberikan suara kepada Organisasi Peserta Pemilu. Sistem ini dirancang untuk memastikan representasi yang adil dan seimbang, dari berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan.

Pemilu tahun 1971 tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menentukan wakil rakyat, tetapi juga mencerminkan semangat demokrasi dengan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat. Proses pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971 menjadi tonggak penting dalam menentukan arah politik dan kebijakan negara, menggambarkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratis dalam konteks perubahan politik pada masa itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya