Sejarah Pemilu Pada Masa Orde Baru, Pemilihan Umum Tahun 1971 hingga 1997

Sejarah panjang pemilihan umum atau pemilu pada masa Orde Baru

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 12 Jan 2024, 15:15 WIB
Diterbitkan 12 Jan 2024, 15:15 WIB
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Photo by Element5 Digital on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Pemilu pada masa Orde Baru merupakan momen penting dalam sejarah politik Indonesia yang ditandai oleh sistem pemerintahan otoriter di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam suasana politik yang sarat dengan kendali pemerintah, pemilu menjadi bagian integral dari mekanisme legitimasi kekuasaan yang dijalankan oleh rezim tersebut. Meskipun secara formal diadakan sebagai wujud demokrasi, pemilu pada masa Orde Baru sering kali disorot karena terbatasnya ruang partisipasi politik dan dominasi partai tunggal. 

Pemilu pada masa Orde Baru juga mencerminkan kecenderungan kontrol penuh pemerintah terhadap jalannya proses demokrasi. Penekanan yang kuat pada stabilisasi politik dan keamanan nasional menjadi alasan utama dibalik pemilu yang diatur sedemikian rupa untuk memastikan hasil yang mendukung keberlanjutan rezim. Selain itu, pemilu pada masa Orde Baru tersebut juga diwarnai oleh berbagai tindakan represif terhadap partai politik oposisi dan kelompok masyarakat sipil yang dianggap mengancam stabilitas rezim.

Untuk informasi lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum sejarah pemilihan umum pada masa Orde Baru pada Jumat (12/1/2024).

Pemilu Pada Masa Orde Baru

pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Pemilihan umum (Pemilu) pada masa Orde Baru di Indonesia secara teknis diadakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sementara Presiden diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sistem pemilu yang digunakan konsisten dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Dalam sistem ini, seluruh kursi di setiap daerah pemilihan terbagi secara proporsional.

Namun dengan menerapkan metode penghitungan kursi menggunakan stembus accord. Stembus accord merupakan mekanisme penggabungan sisa suara yang tidak habis dibagi dengan Bilangan Pembagi Pemilih, berdasarkan kesepakatan antara partai-partai peserta pemilu. Hal ini memungkinkan penambahan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan dan mengurangi sisa suara yang tidak digunakan.

Selama enam kali penyelenggaraan pemilu pada periode Orde Baru, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, karakteristik pelaksanaannya tetap mengikuti pola yang telah ditetapkan. Pada pemilu 1971, terdapat sepuluh partai politik yang berpartisipasi, dan pada kesempatan ini, Golongan Karya berhasil meraih suara terbanyak. 

Seiring waktu, keanggotaan DPR di era Orde Baru juga mencerminkan kehadiran utusan golongan yang diangkat, terdiri dari 100 orang setiap pemilu, dengan sebagian besar diantaranya berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dengan demikian, Pemilu masa Orde Baru tidak hanya menjadi pesta demokrasi yang diatur, namun juga mencerminkan dominasi kekuasaan dan kontrol pemerintah dalam sistem politik Indonesia pada masa tersebut.

Pemilu 1971

Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)
Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)

Tiga tahun setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden melalui TAP MPR tahun 1968, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Jumlah peserta Pemilu pada tahun 1971 mengalami penyusutan signifikan dibandingkan dengan Pemilu 1955, hanya terdapat sembilan partai politik dan satu organisasi kemasyarakatan yang ikut serta, yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar, yang baru pertama kali ikut serta dalam Pemilu dan didirikan pada tahun 1964, muncul sebagai pemenang dengan meraih 236 kursi. Prestasinya melampaui partai-partai yang lebih mapan seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). 

PNI, yang merupakan partai yang dibentuk oleh mantan Presiden Sukarno dan sebelumnya meraih kesuksesan pada Pemilu sebelumnya, mengalami penurunan drastis dari 57 kursi menjadi 20 kursi. Demikian juga dengan Partai NU, yang turun dari 91 kursi pada Pemilu 1955 menjadi 58 kursi. Sementara itu, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang diharapkan menjadi penerus Partai Masyumi, hanya meraih 24 kursi.

 

Pemilu 1977

Pada Pemilu kedua di era Orde Baru, jumlah peserta Pemilu mengalami penurunan signifikan dari 10 peserta pada tahun 1971 menjadi hanya 3 partai pada Pemilu 1977. Perubahan ini disebabkan oleh penggabungan beberapa partai politik ke dalam dua entitas besar, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

Wacana penggabungan partai politik ini sebenarnya telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an dengan tujuan awal melibatkan Golongan Spiritualis, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya. Penggabungan akhirnya terwujud pada tahun 1973, di mana beberapa partai Islam seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) digabungkan menjadi PPP. 

Di sisi lain, PNI, IPKI, dan Partai Murba bergabung menjadi PDI. Parkindo dan Partai Katolik memilih bergabung dengan PDI karena enggan bersatu dengan Golkar dan pada saat yang sama tidak mungkin bergabung dengan PPP yang identitasnya lebih terkait dengan Islam. Meskipun terjadi penggabungan, PDI dan PPP tidak mampu menandingi dominasi Golkar pada Pemilu 1977. 

Pemilu 1982

Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Photo created by rawpixel.com on www.freepik.com)

Pada Pemilu 1982, isu utama yang mencuat adalah munculnya gerakan Golongan Putih (Golput). Yang membedakan Golput pada pemilu kali ini dengan pemilu sebelumnya adalah bahwa para pemilih Golput tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), namun memilih untuk tidak mencoblos surat suara. Dengan kata lain, Golput pada kali ini mengalami pergeseran karakteristik, di mana mereka tidak menggunakan hak pilihnya dan bahkan menganjurkan serta mempengaruhi orang lain untuk tidak ikut memilih atau tidak datang ke TPS.

Kondisi ini menarik perhatian pemerintah karena maraknya gerakan Golput yang diindikasikan dapat menguntungkan sisa-sisa pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai respons, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto melakukan perombakan struktur badan penyelenggara Pemilu. Salah satu langkah yang diambil adalah menunjuk Menteri Kehakiman sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum (LPU). 

Meskipun isu Golput semakin mencuat, kemenangan Golkar tetap tak terhindarkan pada Pemilu 1982. Data menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan signifikan dalam tingkat partisipasi pemilih, yang tetap tinggi mencapai 96,5 persen, sementara angka Golput sebesar 3,5 persen. Angka ini sejalan dengan hasil Pemilu 1977, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih tetap stabil di 96,5 persen, dan persentase Golput tetap sekitar 3,5 persen.

 

Pemilu 1987

Sebelum pelaksanaan Pemilu 1987, pemerintah Indonesia mengemukakan wacana untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi dan partai politik di negara tersebut. Pidato Presiden pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 1982 menjadi awal dari wacana ini. Puncaknya terwujud dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 yang mewajibkan partai-partai yang ikut serta dalam Pemilu harus memiliki dasar ideologi Pancasila. 

Dampak kebijakan ini terutama dirasakan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang pada Pemilu 1987 terpaksa melepaskan identitas keislamannya dengan mengganti lambangnya dari Ka'bah menjadi Bintang. Data menunjukkan bahwa Golkar kembali meraih suara tertinggi pada Pemilu 1987. Jumlah kursi yang diperoleh oleh Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat juga mengalami peningkatan signifikan, dari 242 kursi pada tahun 1982 menjadi 299 kursi pada pemilu tahun 1987. 

Sementara itu, PPP mengalami penurunan cukup besar dengan kehilangan 33 kursi dibandingkan dengan Pemilu 1982, sehingga hanya berhasil memperoleh 61 kursi. Di sisi lain, perolehan suara PDI mengalami peningkatan dari 24 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987. Meskipun demikian, PDI tetap berada di posisi paling bawah dalam hasil pemilu tahun 1987.

Pemilu 1992

Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Foto oleh Edmond Dantès: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-laki-laki-perempuan-kelompok-7103110/)

Pemilu 1992, seperti pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru, melibatkan tiga partai politik utama, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Dalam kemenangan yang menjadi yang kelima secara berturut-turut sejak 1971, Partai Golkar kembali memenangkan pemilu. Namun, terdapat penurunan suara Golkar dari 73,11 persen pada 1987 menjadi 68,10 persen pada 1992, yang menarik perhatian. 

Sementara itu, PPP dan PDI mengalami peningkatan perolehan suara. PPP meraih 17,01 persen, naik dari 15,96 persen pada pemilu sebelumnya, sedangkan PDI mencatat peningkatan yang signifikan dari 10,93 persen pada 1987 menjadi 14,89 persen pada 1992.

 

Pemilu 1997

Pemilu 1997 menjadi babak penutup dalam rangkaian Pemilu di masa Orde Baru, dengan tetap melibatkan tiga partai utama. Golkar tetap mempertahankan posisi unggulnya dengan meraih 68,10 persen suara, sementara PPP dan PDI secara berturut-turut memperoleh 17 persen dan 14,90 persen suara. Jika dilihat dari perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terjadi penurunan yang signifikan bagi PDI, yang mengalami penurunan dari 52 kursi pada 1992 menjadi 11 kursi pada 1997. 

Sementara itu, perolehan kursi Golkar dan PPP mengalami peningkatan, dengan Golkar naik dari 282 kursi pada 1992 menjadi 325 kursi pada 1997. PPP juga mengalami peningkatan kursi dari 62 menjadi 89. Penurunan perolehan suara PDI diyakini terkait dengan perpecahan internal yang terjadi pada tahun 1996. Pada tahun tersebut, kepengurusan PDI terbagi menjadi dua faksi, yaitu PDI versi Megawati Soekarnoputri dan PDI versi Suryadi. 

Akhir Orde Baru

Setelah Pemilu, Indonesia dihantam oleh krisis moneter yang merusak perekonomian dan membawa dampak serius pada masalah politik. Ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi semakin jelas, diwarnai oleh protes dan tuntutan reformasi yang muncul di tengah masyarakat. Meskipun sebagian besar anggota DPR berasal dari Golkar dan enggan merealisasikan tuntutan reformasi, upaya untuk mempertahankan kekuasaan Suharto mengalami kegagalan. Krisis ekonomi dan dinamika lainnya pada masa itu membuat ketidakpuasan semakin meluas.

Anggota DPR, terutama yang berasal dari Golkar, mencoba untuk melanjutkan kekuasaan Suharto, namun berbagai tekanan dari masyarakat dan dinamika politik yang berkembang membuat pendukungnya berbalik arah. Beberapa menteri dan tokoh militer reformis juga mulai menarik dukungannya terhadap Suharto. Dalam menghadapi tekanan yang semakin besar, Suharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada tanggal 20 Mei 1998. Kejadian ini menjadi titik awal dari periode sejarah reformasi di Indonesia, yang ditandai dengan perubahan signifikan dalam tatanan politik dan masyarakat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya