Wabah ASF Ancam Industri Peternakan Babi, Indonesia Tetapkan Status Darurat

Wabah ASF jadi ancaman serius untuk peternakan Babi di seluruh dunia.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 07 Jun 2024, 12:11 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2024, 11:15 WIB
Peternakan Babi. Dok Kementan
Peternakan Babi. Dok Kementan

Liputan6.com, Jakarta Wabah ASF atau African Swine Fever merupakan penyakit yang mengancam industri peternakan babi di Indonesia, maupun di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus ASFV (African Swine Fever Virus) dari famili Asfarviridae. Virus ini menyerang babi domestik dan liar, tetapi tidak menular pada manusia.

Wabah ASF ini memiliki tingkat kematian yang tinggi pada babi yang terinfeksi, bahkan dapat mencapai hingga 100%. Gejalanya termasuk demam tinggi, kehilangan nafsu makan, pembengkakan pada kelenjar getah bening, ruam kulit dan pendarahan di dalam tubuh. Penyebaran virus ASF dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan babi yang terinfeksi, termasuk melalui daging babi yang terkontaminasi.

Untuk mencegah penyebaran penyakit ASF, peternak babi perlu menjaga kebersihan di kandang, makanan dan air minum babi. Selain itu, pemantauan dan deteksi dini terhadap gejala ASF pada babi perlu dilakukan secara rutin. Jika ada kasus wabah ASF, maka peternak perlu melaporkannya ke otoritas terkait agar langkah-langkah karantina dan pemusnahan dapat segera dilakukan.

Pemerintah dan lembaga terkait juga memiliki peran penting dalam pencegahan penyebaran ASF. Upaya ini bisa dengan penyuluhan kepada peternak, pemberian vaksin kepada babi yang rentan terinfeksi, serta peningkatan pengawasan dan pengendalian di daerah-daerah terjadinya wabah ASF.

Berikut ini cara pencegahan wabah ASF yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (7/6/2024).

 

African Swine Fever dan Penyebarannya

Ilustrasi babi
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) tingkatkan respon penanganan kasus kematian babi di Kalimantan Barat.

African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit viral yang sangat menular dan mematikan bagi babi domestik maupun babi liar. Penyakit ini disebabkan oleh African Swine Fever Virus (ASFV) yang termasuk dalam keluarga Asfarviridae. Meskipun tidak menular ke manusia, dampaknya terhadap industri peternakan babi bisa sangat merugikan.

Penyakit ASF pertama kali diidentifikasi di Afrika pada awal abad ke-20, dan sejak itu telah menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Eropa, Asia dan sebagian Afrika. Virus ini memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga sulit untuk diatasi. ASF menyerang babi untuk segala usia, dan pada beberapa kasus, tingkat kematian bisa mencapai 100%. Di Asia, ASF pertama kali ditemukan di Iran pada tahun 2010, dan China melaporkan kasus pertamanya pada tahun 2018. Sejak itu, banyak negara di Asia Tenggara yang melaporkan kasus ASF, termasuk Indonesia. Kasus pertama ASF di Indonesia muncul pada tahun 2019 di beberapa kabupaten di Sumatera Utara.

Dampak ekonomi dari ASF bisa sangat signifikan bagi negara-negara yang memiliki populasi babi yang tinggi. Karena itu, pemerintah-pemerintah setempat sering kali harus mengambil langkah-langkah tegas untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini. Contohnya, Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Peternakan dan Perkebunan menetapkan status darurat wabah ASF, menyusul meningkatnya angka kematian pada ternak babi di beberapa wilayah.

Tak hanya di Papua, namun ASF juga telah menjadi masalah di wilayah lain di Indonesia. Dua sampel babi positif terinfeksi virus ASF telah dikonfirmasi di Lembata, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa penyebaran penyakit ini perlu segera ditangani dengan serius. Langkah-langkah pengendalian dan pencegahan yang efektif menjadi kunci dalam upaya memerangi ASF dan melindungi industri peternakan babi, serta keberlangsungan ekonomi masyarakat peternak.

Cara Penyebaran

Ilustrasi peternakan babi
Ilustrasi peternakan babi di Amerika Serikat. (Sumber Wikimedia/Environment Protection Agency (EPA) untuk ranah publik)

1. Kontak Langsung

ASF memiliki kemampuan untuk menyebar dengan cepat, melalui kontak langsung antara babi yang terinfeksi dan yang sehat. Ini dapat terjadi melalui berbagai medium, termasuk air liur, sekresi hidung, kotoran, atau darah yang terinfeksi. Bahkan, satu sentuhan atau kontak singkat pun sudah cukup untuk mentransfer virus ASF dari babi yang terinfeksi ke babi yang sehat. Hal ini menjadi salah satu cara penularan yang paling umum dan sulit untuk dihindari, terutama di peternakan dengan populasi babi yang padat.

2. Vektor

Selain kontak langsung, nyamuk atau lalat yang terinfeksi virus ASF juga dapat menjadi vektor penyebaran yang signifikan. Ketika nyamuk atau lalat menggigit babi yang terinfeksi dan kemudian beralih untuk menggigit babi yang sehat, mereka dapat membawa virus ASF dan menyebarkannya lebih jauh ke dalam populasi babi. Ini menjadi tantangan tambahan dalam upaya pengendalian penyakit, terutama di daerah dengan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan vektor tersebut.

3. Peralatan dan Pakaian

Virus ASF memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada permukaan peralatan, pakaian, dan sepatu yang terkontaminasi. Ini berarti jika peralatan atau pakaian yang tercemar digunakan pada babi yang sehat, virus ASF dapat dengan mudah ditularkan. Oleh karena itu, menjaga kebersihan dan sterilisasi peralatan dan pakaian yang digunakan dalam peternakan babi menjadi sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit.

4. Makanan dan Pakan

Makanan dan pakan juga merupakan jalur potensial untuk penyebaran virus ASF. Virus dapat bertahan dalam produk daging babi yang terinfeksi, sehingga jika produk tersebut dikonsumsi oleh babi yang sehat, virus ASF dapat dengan mudah menyebar. Ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat terhadap rantai pasokan pakan dan makanan, serta penerapan standar sanitasi yang ketat dalam pemrosesan dan penyimpanan produk-produk tersebut.

5. Manusia

Meskipun manusia tidak terpengaruh langsung oleh virus ASF, mereka tetap dapat berperan dalam penyebaran penyakit ini. Misalnya, jika limbah babi tidak dibuang dengan benar oleh manusia, hal ini dapat menyebabkan kontaminasi lingkungan yang memungkinkan virus ASF menyebar lebih lanjut. Selain itu, manusia juga dapat membawa virus ASF pada pakaian atau peralatan setelah berinteraksi dengan babi yang terinfeksi, yang kemudian dapat menyebabkan penularan lebih lanjut jika tidak dilakukan tindakan pencegahan yang tepat.

Pencegahan dan Penanganan Wabah ASF

Peternakan Babi. Dok Kementan
Peternakan Babi. Dok Kementan

1. Penerapan Biosekuriti yang Ketat

Pada tingkat paling dasar, penerapan biosekuriti yang ketat di peternakan menjadi landasan penting dalam upaya pencegahan ASF. Ini tidak hanya melibatkan pengelolaan akses ke fasilitas peternakan, tetapi juga mencakup praktik sanitasi yang ketat, termasuk desinfeksi rutin terhadap kendaraan, peralatan, serta fasilitas lainnya yang masuk ke dalam area peternakan. Selain itu, kebersihan dan keamanan pekerja peternakan juga menjadi fokus utama, dengan menerapkan protokol yang ketat terkait penggunaan pakaian pelindung dan langkah-langkah higienis lainnya. Tidak hanya itu, upaya biosekuriti juga mencakup pengelolaan lingkungan sekitar peternakan, seperti memastikan kebersihan lingkungan sekitar, mengelola limbah secara aman, dan mengontrol akses hewan liar atau hewan lain yang berpotensi membawa virus ASF ke dalam lingkungan peternakan.

2. Pengawasan dan Diagnostik yang Cepat

Pengawasan yang ketat terhadap kesehatan hewan, serta kemampuan untuk mendeteksi adanya ASF dengan cepat, merupakan langkah penting dalam menjaga kesehatan dan keamanan peternakan. Laboratorium diagnostik harus dilengkapi dengan peralatan dan teknologi yang memadai untuk mengidentifikasi virus ASF dengan cepat dan akurat. Hal ini memungkinkan tindakan pencegahan yang tepat waktu untuk dilakukan, seperti isolasi hewan yang terinfeksi dan mengurangi risiko penyebaran penyakit ke hewan lainnya.

3. Pengendalian Populasi Vektor

Selain babi, vektor seperti kutu dan lalat juga dapat berperan sebagai penyebar virus ASF antara populasi babi. Oleh karena itu, pengendalian populasi vektor ini menjadi penting dalam strategi pencegahan. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan insektisida yang efektif dan menjaga kebersihan lingkungan peternakan agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya vektor tersebut.

4. Edukasi dan Penyuluhan

Penting bagi para peternak dan pekerja peternakan untuk memiliki pemahaman yang baik tentang ASF dan cara-cara pencegahannya. Program edukasi dan penyuluhan yang efektif dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya deteksi dini dan tindakan pencegahan yang tepat. Hal ini meliputi pengetahuan tentang gejala ASF, protokol biosekuriti yang efektif, serta tindakan yang harus diambil dalam menghadapi situasi darurat terkait ASF.

5. Pengendalian Pergerakan

Kontrol ketat terhadap pergerakan babi dan produk babi dari daerah terkena wabah menjadi kunci, dalam mencegah penyebaran ASF ke wilayah lain. Pembatasan ini harus diterapkan dengan ketat dan disiplin untuk memastikan bahwa virus tidak dapat menyebar melalui transportasi hewan atau produk-produk babi yang berpotensi terinfeksi.

6. Penghancuran Hewan yang Terinfeksi

Meskipun langkah ini sering kali sulit dan menyakitkan, penghancuran hewan yang terinfeksi atau yang telah kontak dengan hewan yang terinfeksi merupakan langkah yang sangat penting dalam mengendalikan penyebaran ASF. Hal ini memastikan bahwa virus tidak dapat terus menyebar di dalam populasi hewan, dan membantu membatasi dampak wabah terhadap industri peternakan dan ekonomi secara keseluruhan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya