Mengenal Tes Skrining Down Syndrome Selama Kehamilan, Deteksi Sejak Dini

Menemukan tanda-tanda sindrom Down selama masa kehamilan dapat diungkap melalui tes yang dilakukan secara teratur.

oleh Mochamad Rizal Ahba Ohorella diperbarui 25 Jul 2024, 15:19 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2024, 15:19 WIB
Ibu Hamil
Gambaran yang memukau mengenai seorang ibu hamil (Gambar: Unsplash/Juan Encalada)

Liputan6.com, Jakarta Mendeteksi keberadaan janin dengan sindrom down atau tidak dapat dilakukan melalui tes rutin selama kehamilan. Salah satu pemeriksaan kehamilan yang bisa dilakukan adalah perawatan pranatal, yaitu kunjungan rutin ke dokter atau bidan bersertifikat untuk memeriksa kesehatan ibu dan bayi.

Terdapat dua jenis tes yang dapat dilakukan untuk memeriksa apakah terdapat masalah pada janin, yaitu tes skrining dan tes diagnostik. Tes skrining meliputi tes darah, tes DNA, dan pemeriksaan USG. Tes darah dilakukan untuk mencari "penanda" seperti protein, hormon, atau zat lain di luar kisaran normal yang dapat menjadi tanda sindrom down.

Tes DNA dapat mengetahui risiko bayi mengalami kelainan kromosom seperti sindrom down atau kondisi lainnya. Tes ini biasanya dilakukan pada usia kandungan 10 minggu dan lebih umum digunakan oleh wanita yang berisiko memiliki bayi dengan sindrom down.

Selain itu, pemeriksaan USG juga dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan down sindrom. Dokter akan mengamati cairan di area leher bayi yang disebut lipatan nuchal. Jika kadar cairan lebih tinggi dari normal, dapat menjadi indikasi adanya sindrom down. Dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (25/7/2024) dengan melakukan tes-tes skrining ini, diharapkan dapat mendeteksi adanya masalah pada janin dan memberikan perawatan yang tepat.

1.Tes Diagnostik

Layanan Tes NIPT Hadir dengan Lebih Terjangkau untuk Deteksi Jenis Kelamin dan Risiko Down Syndrome
Deteksi jenis kelamin hingga skrining down syndrome dengan tes NIPT yang lebih terjangkau (Bumame)

Tes diagnostik dapat membantu untuk mengetahui apakah bayi yang ada di dalam kandungan benar-benar mengalami down syndrome atau tidak. Tes ini umumnya dilakukan setelah hasil tes skrining menunjukkan hasil positif, karena ada risiko kecil terjadinya keguguran setelah menjalani tes tersebut. Ada beberapa jenis tes diagnostik yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Pengambilan sampel vilus korionik (CVS) Tes ini dapat dilakukan selama trimester pertama kehamilan dan melibatkan pengambilan sel dari plasenta. Namun, perlu diingat bahwa tes ini memiliki risiko sedikit lebih tinggi dalam menyebabkan keguguran atau masalah lainnya.

2. Amniosentesis Tes ini melibatkan pengambilan cairan dari kantung ketuban yang mengelilingi bayi. Biasanya dilakukan pada trimester kedua kehamilan. Meskipun risiko keguguran terkait dengan tes ini relatif kecil (sekitar 0,6%), risikonya tampaknya lebih tinggi sebelum usia kehamilan mencapai 15 minggu.

3. Pengambilan sampel darah tali pusat perkutan (PUBS) Tes ini juga dilakukan pada trimester kedua kehamilan dengan mengambil darah dari tali pusat. Prosedur ini memiliki risiko keguguran sekitar 1,4% hingga 1,9%, yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes diagnostik lainnya.

Penting untuk diingat bahwa tes diagnostik ini memiliki risiko keguguran yang kecil, tetapi dapat memberikan informasi yang penting tentang kondisi kesehatan bayi yang ada di dalam kandungan. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis yang berpengalaman sebelum memutuskan untuk menjalani tes ini.

2. Tes Skrining Trimester Pertama

Layanan Tes NIPT Hadir dengan Lebih Terjangkau untuk Deteksi Jenis Kelamin dan Risiko Down Syndrome
Deteksi jenis kelamin hingga skrining down syndrome dengan tes NIPT yang lebih terjangkau (Bumame)

Tes skrining trimester pertama umumnya dilakukan antara minggu ke-11 dan ke-14 kehamilan. Tes ini biasanya melibatkan dua komponen utama: tes darah dan USG.

Tes Darah: Tes darah pada trimester pertama mengukur kadar hormon tertentu dalam darah ibu, seperti hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dan protein plasma A (PAPP-A). Kadar hormon ini dapat memberikan indikasi awal mengenai kemungkinan risiko sindrom Down.

USG: Selain tes darah, pemeriksaan USG dilakukan untuk mengukur ketebalan nuchal translucency, yaitu area di belakang leher bayi yang mengandung cairan. Ketebalan yang lebih besar dari normal dapat menjadi indikator risiko lebih tinggi untuk sindrom Down.

Hasil dari tes darah dan USG akan dihitung untuk menentukan risiko relatif bahwa bayi mungkin memiliki sindrom Down. Tes ini tidak memberikan diagnosis definitif, tetapi memberikan perkiraan risiko berdasarkan data yang diperoleh.

3. Faktor Risiko Down Syndrome

Anak Down Syndrome
Down Syndrome (Foto: Unsplash/Pavol Stugel)

Selain sebagai langkah pencegahan, mengenali faktor-faktor risiko berikut ini juga akan membantu menghindari mitos-mitos tentang sindrom down yang masih banyak beredar. Berikut ini adalah hal-hal yang dapat meningkatkan risiko mengandung bayi dengan sindrom down, menurut Siloam Hospitals.

1. Usia: Semakin tua seorang wanita saat hamil, semakin tinggi risiko mengandung bayi dengan sindrom down. Ini karena semakin bertambahnya usia, semakin banyak kesalahan pada pembagian kromosom saat pembuahan.

2. Genetik: Sekitar 4% kasus sindrom down diwariskan dari salah satu gen orang tua. Risiko mewarisi sindrom down dari salah satu orang tua tergantung pada jenis kelamin pembawa kromosom 21 yang mengalami reorganisasi. Jika ayah adalah pembawa kromosom 21, maka risiko terjadinya sindrom down pada bayi sekitar 3%. Jika ibu adalah pembawa, maka risiko sindrom down pada bayi sekitar 10-15%.

3. Riwayat Melahirkan Bayi dengan Sindrom Down: Seorang wanita hamil yang pernah mengandung bayi dengan sindrom down memiliki peluang lebih tinggi untuk mengandung bayi dengan kondisi yang sama.

Dengan mengenali faktor-faktor risiko ini, kita dapat lebih memahami dan menghindari mitos-mitos yang beredar tentang sindrom down. Penting untuk mendapatkan informasi yang akurat dan mengikuti saran dari tenaga medis yang berkompeten dalam menghadapi kondisi ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya